Minggu, 05 Desember 2010

Opera Sepatu Koruptor

Oleh: Abdul Munir Sara
Sepatu koruptor bukan barang impor. Juga bukan sepatu biasa. Sekali melompat dengan sepatu
ini 'bisa langsung menghilang'. Konon sepatu koruptor ini pernah digunakan Edi Tansil setelah mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang.

Koruptor kelas kakap itu sekali menghilang tak berjejak hingga hari ini. Mungkin sepatu yang sama dengan merek berbeda digunakan Gayus Tambunan untuk meloncat dan menghilang sesaat ke Bali dari berlapis penjagaan ketat di tahanan Brimob Kelapa Dua Depok.

Meski dengan sepatu yang berbeda merek kedua koruptor begal ini sama-sama pernah menghilang. Edi Tansil menghilang untuk selamanya. Sementara Gayus mencoba menghilang ke Singapura dan tertangkap. Kemudian menghilang lagi ke Bali bersama anak dan isterinya lalu keberadaannya di Bali terkuak di media.

Singkat kata kaburnya Gayus ke Singapura sebelum terungkapnya kasus korupsi di Dirjen Pajak, dan kabur ke Bali setelah dalam proses peradilan, adalah upaya percobaan kabur dengan sepatu ajaib spesial koruptor. Belum kabur yang sesungguhnya.

Tentu kita bertanya, seperti apa sepatu yang digunakan Edi Tansil dan Gayus? Dari bahan apa? Dan siapa yang membuat, dan siapa pula yang menyediakannya? Yang kita tahu, ada pihak yang terlibat dalam opera sepatu sakti itu, yakni orang-orang atau oknum penegak hukum.

Edi Tansil dan Gayus hanya menjadi pembeli sepatu sakti itu. Dengan harga berapa pun. Bagi Gayus, yang terpenting ia bisa kabur dan menghilang. Tidak peduli siapa yang menyediakan sepatu misterius itu.

Bahkan, dengan sepatu itu Gayus bisa melenggang bebas tak berbeban. Seperti lagak tak berdosa yang tertangkap lewat hasil jepretan kameraman sebuah harian nasional. Gayus sebegitu percaya diri karena sepatu ajaib yang digunakannya. Ia bisa mengelabui, melangkahi, dan menginjak sesiapa pun. Termasuk menginjak-injak hukum dan aparat penegaknya.

Mencoba-coba

Selihai apa pun Gayus dengan sepatu saktinya ia tetap tertangkap juga. Namun, siapa sangka yang digunakan Gayus itu baru sepatu serep (cadangan). Atau Gayus hanya 'mencoba' mengukur-ukur sepatu spesial untuk menghilang dari bui. Gayus belum menggunakan sepatu sebenarnya. Seperti yang digunakan Edi Tansil ketika kabur dari LP Cipinang.

Karena sulit mencari perbendaharaan kata yang layak untuk para mafia hukum maka sebaiknya kata 'sepatu' ini kita gunakan. Karena, sepatu berada di bagian bawah kaki, dan fungsinya menginjak apa saja, baik yang bernajis atau pun tidak.

Orang bejat yang menjual hukum dan aturan demi uang, atau yang disebut mafia hukum derajatnya rendah. Berada di bawah telapak kaki dan diinjak-injak sendiri. Otaknya bukan di dalam kepala tetapi di bawah alas sepatu. Pun, nuraninya tidak di dalam dada tapi di bawah telapak kaki. Rendah dan terinak-injak. Sebegitu rendahnya mereka.

Maka mafia hukum dan istilah sejenisnya yang doyan melacuri hukum adalah bagian tunggal dari analogi sepatu sakti di atas. Perilaku dan derajat kemanusiaanya rendah dan hina dina. Kong-kalikong para mafia hukum dan koruptor inilah yang menyebabkan koruptor kakap kerap lolos dari jeratan hukum.

Tidak sedikit yang kabur dan menghilangkan barang bukti. Penjara tak mampu membatasi perilaku begal yang telah mendarah daging dalam watak dan laku mereka. Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) selama lima tahun terakhir terdapat lebih dari 45 pelaku korupsi yang telah melarikan diri ke luar maupun dalam negeri.

Dengan Cara Apa?

Berada di balik bui membuat para koruptor ini tak takut dan kikuk. Apalagi jera? Mereka masih bisa menarik nafas bebas seperti berada di luar bui. Apalagi dengan sepatu khusus yang disediakan petugas lapas dan aparat hukum terkait untuk kabur.

Buktinya, meski di balik bui ada juga koruptor yang bisa kabur. Atau menyulap bui menjadi hotel berbintang lima yang dilumuri fasilitas mewah. Nampaknya pemerintah dan khususnya aparat penegak hukum yang masih punya sisa idealisme mulai hilang akal dan gagap. Memikirkan laku koruptor yang kian nekat.

Korupsi di Indonesia kian endemik. Telah menyumbat di setiap sudut birokrasi dan lembaga hukum. Hukum dan penegakannya mulai lesu. Lalu dengan cara apa kita memberangus budaya korupsi?

Kita tak mungkin melakukan revolusi sistemik. Karena, membutuhkan cost social dan birokrasi yang besar. Yang bisa kita lakukan saat ini adalah 'menyumbat paksa' celah-celah yang memberikan ruang niat bagi orang berkorupsi. Yang bisa kita lakukan adalah menghambat siklus pasar gelap yang menyediakan 'sepatu menghilang' untuk para koruptor.

Korupsi tak pernah akan hilang di ranah birokrasi dan hukum kita. Selama potensi untuk berkorupsi masih terawat subur. Birokrasi yang panjang dan berbelit-belit juga menjadi penyebab menganganya mulut rakus para koruptor.

Reformasi birokrasi dimaksud adalah berparadigmakan clean government. Untuk meminimalisasi laku koruptif. Bukan orientasi formal birokrasi an sich. Karena mewirausahakan birokrasi dengan sistim yang ramping saat ini tak lain malah mengkapitalisasikan birokrasi belaka. Korupsi lebih sering terjadi di tengah-tengah gagasan ini.

Pemangkasan rantai birokrasi yang panjang dilakukan pada segmen-segmen yang rentan terjadi korupsi. Hal ini mesti didorong oleh sistim informasi yang tranparantif. Didukung oleh perangkat teknologi informatika yang memadai dan terpublikasi luas ke publik. Supremasi hukum secara kelembagaan diperkuat dan masyarakat menjadi pengontrol yang kritis.

Dengan pola-pola ini, saya yakin, perilaku korupsi bisa terminimalisir. Supremasi hukum tercipta dengan baik. Tidak ada lagi opera sepatu koruptor yang bertebaran di mana-mana. Semoga.

*) Abdul Munir Sara adalah ahasiswa Pasca Sarjana UNJ Program Manajemen Pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...