Jumat, 03 Desember 2010

Efektivitas Operasi Pasar Beras

Oleh: Mochammad Maksum Machfoedz



Menjelang Agustus 2010 eskalasi harga beras kian menjadi dan tidak terselesaikan sepanjang Agustus-September.

Optimisme bahwa harga akan kembali normal secara alamiah selepas Ramadhan-Syawal tidak pernah menjadi kenyataan. Harga tetap saja bertengger tinggi bahkan hingga akhir November. Padahal, sejumlah terapi telah dilakukan, seperti operasi pasar (OP) dan rapelan raskin.

Pemerintah makin gagap menghadapi dampak inflasi tahunan atas kenaikan harga ini. Sayang, pemerintah justru memilih jalan pintas yang memicu kontroversi internal kabinet.

Jalan pintas

Beberapa kebijakan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) untuk mengantisipasi krisis perberasan nasional empat bulan terakhir cenderung reaktif, tidak mendasar dan bagai jalan pintas.

Jalan pintas pertama adalah keputusan impor 500.000 ton beras. Ironisnya, putusan terjadi di tengah koor pejabat tentang sukses swasembada dengan surplus 5,6 juta ton beras tahun 2010, sesuai prediksi Angka Ramalan (Aram)-II. Neraca ini diralat Aram-III dengan surplus tahun 2010 sekitar 3 juta ton beras.

Anehnya, meski surplusnya sangat menjanjikan menurut Aram-II dan III, andalan stabilitas ternyata bukan berasal dari perberasan internal, melainkan berbasis impor. Stabilitas berbasis impor bisa disebut sebagai jalan pintas kedua. Seharusnya, dalam kondisi surplus seperti ini, stabilitas dilakukan dengan basis kedaulatan petani internal.

Ketiga, pilihan menugaskan Bulog untuk menggelontor pasar dengan modal beras impor agar harga turun. Disebut jalan pintas karena solusi berbasis impor hanya efektif sementara. Itu pun kalau efektif.

Yang pasti, jalan pintas itu jelas amat merusak semangat usaha tani pada tingkat basis dan telah melupakan realitas lapangan yang menjadi penyebab kemandulan OP, meski sudah ditambah rapelan raskin.

Kemandulan OP

Nalar OP sungguh sangat sederhana. Harga barang tinggi apabila digelontor barang yang sama dalam jumlah sepadan dan berharga murah, akan menurunkan harga barang total.

Kisruh beras kali ini tidak lepas dari teori standar OP tersebut. Tidak ada alasan sama sekali untuk menafikan teori dasar manakala OP beras tidak efektif. Maka, mandulnya OP harus dianalis terkait dengan kualitas dan jumlah.

Pada posisi inilah KIB seharusnya berani menjawab dengan jujur apa yang sebenarnya telah terjadi dalam kemandulan OP.

Untuk kualitas, misalnya, rasionalisasi harapan KIB bahwa raskin akan membantu OP rasanya terlalu berlebihan mengingat banyak kritik kualitas terhadap raskin. Jikalau kritik ini benar, maka kita berbicara barang yang sungguh berbeda. Maka ibaratnya harga barang A naik, yang digelontorkan ke pasar adalah barang B yang tidak dipandang sebagai substitusi. Harga barang A pasti tak bergerak.

Dalam hal jumlah, yang mengundang pertanyaan adalah keterbatasan pengadaan dalam negeri, domestic procurement. Pemerintah beralasan, terbatasnya cadangan menyebabkan kekuatan pasar (market power) OP pas-pasan dan tidak efektif menerjang pasar. Itu pun kalau asumsinya kualitas cadangan OP adalah beras yang sama, yaitu kualitas medium.

Polemik dalam rapat koordinasi penentuan penggelontoran minggu ini yang masih seputar volume produksi riil, kualitas produk dan kuantitas pengadaan, seharusnya diperkaya dengan perlunya kaji ulang validitas Inpres 7/2009 tentang perberasan karena referensi legal ini boleh jadi memang sudah kedaluwarsa karena HPP terlalu rendah dan proporsi HPP tidak masuk akal.

Tanpa mencermati komprehensif realitas sebenarnya, keputusan yang reaktif akan membuahkan blunder OP terhadap keberlanjutan dan keberdaulatan perberasan.

Potensi OP

Dengan OP berbasis impor kali ini, jelas bahwa sistem perberasan nasional untuk ke sekian kalinya dikebiri beras impor dan merosot kedaulatannya. Pada gilirannya, proses pasar karena produk impor ini akan berpengaruh nyata terhadap rasa keadilan petani produsen yang akan merespons dengan kemerosotan semangat berproduksi padi. Terganggunya usaha tani adalah blunder pertama yang mengacaukan keberlanjutan.

Kedua, ketika prinsip FIFO, first-in first-out, diterapkan, hanya ada satu prasyarat, yaitu kompatibilitas kualitas cadangan barang OP dengan beras kualitas medium yang harganya mau diturunkan, agar OP efektif.

Ketiga, jikalau mengingkari FIFO dan OP sepenuhnya memakai beras impor, maka cadangan Bulog yang sudah waktunya dibongkar karena lewat tenggat (overdue) dan sudah susut mutu akan semakin merosot dalam penyimpanan. Pada gilirannya pemanfaatan untuk apa pun, terutama untuk raskin, makin merumitkan kondisi perberasan.

Sungguh perberasan nasional memerlukan pemikiran komprehensif agar tidak selalu jatuh-bangun. Apa boleh buat, beras masih menjadi kunci keberlanjutan dan kedaulatan pangan kita.

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/11/29/02480770/efektivitas.operasi.pasar.


Mochammad Maksum Machfoedz
Guru Besar Sosial Ekonomi Agroindustri, FTP-UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...