Senin, 06 Desember 2010

Global Warming dan Hancurnya Rantai Ekosistem

Oleh: Hadi S Alikodra



Badai, tornado, dan gelombang laut raksasa kini makin sering muncul di bumi.Penduduk kota-kota pantai di Amerika dan Eropa kini dilanda kecemasan. Indonesia juga tidak luput dari berbagai bencana alam yang muncul akibat adanya global warming tersebut.

Pesawat penumpang hancur diterjang badai, kapal laut tenggelam karena tak sanggup menghadapi ombak besar, dan orang di darat ketakutan karena banyaknya topan yang sering menghantam rumah–merupakan fenomena yang kini sering kita lihat di Indonesia. Semua fenomena itu merupakan reaksi alam atas terjadinya global warming (meningkatnya suhu bumi atau singkatnya pemanasan global).

Manusia di bumi kini harus mulai membiasakan diri menghadapi perubahan iklim yang ekstrem dan menghadapi berbagai bencana alam yang muncul dari atmosfer bumi. Hampir setiap tahun, wilayah-wilayah di berbagai sudut dunia mengalami perubahan ekstrem. Di kutub utara misalnya, perubahan panas suhu telah memengaruhi kebiasaan-kebiasaan beruang kutub. Naiknya suhu di kutub utara menyebabkan beruang kutub kehilangan orientasi (disorientasi).

Hal yang sama terjadi pada berbagai burung yang selama ini tinggal di daerah amat dingin tersebut. Mereka kehilangan orientasi sehingga migrasi alamiahnya terganggu. Di Indonesia, misalnya, sering terjadi burung-burung asal kutub itu terdampar di pantai utara Jawa. Mereka kebingungan mencari tempat yang cocok untuk mempertahankan kehidupannya. Semua peristiwa tragis itu penyebabnya global warming.Pemanasan suhu bumi yang makin besar ini— seperti kita ketahui—linier dengan makin besarnya konsentrasi gas rumah kaca (karbon dioksida atau CO2) di atmosfer.

Fenomena pemanasan global yang sempat menjadi isu yang diperdebatkan kebenarannya oleh para pakar klimatologi, kini dibantah. Bulan Juli tahun lalu, misalnya, sejumlah turis di Swiss menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana bongkahan es sebesar Empire State Building (sebuah gedung perkantoran dan pusat perdagangan amat besar berlantai 102 di New York, Amerika Serikat) jatuh dari sisi Gunung Eiger. Ribuan turis menyaksikan pemandangan alam yang indah,tapi mencemaskan.

Dua hari setelah itu, seorang pakar geologi dari Zurich University, Swiss, melaporkan bahwa area yang tertutup es di pegunungan Alpine telah menyusut 50% dalam 150 tahun terakhir. Mereka juga meramalkan jika temperatur bumi naik lima derajat Fahrenheit, 80% glacier (timbunan es yang bergerak) di puncak pegunungan Alpine akan habis pada tahun 2100. Hilangnya glacier tersebut berakibat fatal sebab ia adalah sumber mata air untuk sungai- sungai besar di Eropa.

Tak terbayangkan seandainya sumber mata air itu habis, Eropa akan jadi apa? Sungai yang menjadi urat nadi lalu lintas di sejumlah negara-negara Eropa akan kering. Irigasi tak ada lagi. Pertanian pun kelak hancur. Global warming yang makin lama makin dahsyat itu terpantau juga di Greenland—sebuah pulau yang tertutup es sepanjang tahun di Kutub Utara— pada tahun 2006. Berdasarkan sebuah studi 2003–2006, tercatat setiap tahun telah terjadi pencairan es sebesar 100 miliar ton.

Kecepatan pencairan es di Greenland tersebut saat ini (2007) tiga kali lebih cepat ketimbang lima tahun sebelumnya. Barangkali, faktor pencairan es di kutub utara inilah yang punya kontribusi besar terhadap kenaikan permukaan air laut belakangan ini. Berdasarkan berbagai studi menunjukkan bahwa dalam 20 tahun terakhir kenaikan permukaan air laut makin cepat. Jika tren kenaikan permukaan air laut itu terus berlangsung, maka sampai 2100 permukaan air laut akan naik 12 inci dibandingkan tahun 1990.

Lantas, haruskah kita cemas menghadapi fenomena ini? Michael Oppenheimer dari Princeton University, Amerika Serikat, menyatakan bahwa fenomena tersebut jelas mencemaskan kita semua. Sejumlah negara kecil di Pasifik dan Atlantik akan tenggelam. Ribuan kota pantai di Asia, Eropa, dan Amerika akan terendam air laut.Kondisi ini besar kemungkinan akan bersifat irreversible—tak akan bisa kembali seperti semula.

Hewan Langka Terancam

Naiknya suhu di kutub utara dalam satu dekade terakhir mengakibatkan hewanhewan khas di sana, seperti beruang kutub, anjing laut, dan burung penguin kini mengalami disorientasi. Mereka mengalami stres karena habitat alaminya berubah. Berbeda dengan manusia yang bisa merekayasa tempat tinggalnya dengan bantuan teknologi, hewan-hewan tersebut tak mampu menggunakan teknologi untuk mengadaptasi perubahan lingkungannya. Hukum survival of the fittest pun akan berlaku.

Spesies yang tak bisa bertahan akibat perubahan alam akan mati. Hal yang sama, misalnya, kini terjadi di kawasan tropis seperti Indonesia. Orangutan di hutan-hutan Kalimantan yang jumlahnya hanya ”ribuan ekor” mulai terancam karena global warming. Perubahan suhu menyebabkan siklus pertumbuhan tanaman tertentu dan munculnya buah-buahan yang menjadi makanan orangutan bergeser. Ini menyebabkan pola alamiah makanan orangutan pun berubah. Begitu juga dengan kenaikan suhu,menyebabkan kondisi habitat mereka berubah.

Kondisi tersebut mengancam kehidupan orangutan. Dampaknya, hutan yang kini sudah rusak akan makin rusak lagi. Ini terjadi karena orangutan adalah hewan yang amat penting sebagai penyebar benih tumbuh-tumbuhan di hutan melalui kotorannya. Hal yang hampir serupa terjadi pada harimau, beruang, badak, dan satwa-satwa langka lainnya di darat. Satwa langka di laut pun terancam. Ikan paus dan penyu kini populasinya makin berkurang.Mereka mengalami disorientasi dan akhirnya mati akibat perubahan suhu.

Fenomena terancamnya binatang langka (endangered species) tersebut mulai terasa dalam beberapa tahun terakhir, meski berbagai upaya dilakukan oleh organisasi pelestari lingkungan di dunia untuk menyelamatkan punahnya hewan penting dalam mata rantai ekosistem ini. Kita pun sebagai orang awam bisa memberikan sumbangan untuk menyelamatkan mereka—seperti memperkecil pemakaian bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara,misalnya) untuk mencegah global warming.

Menanam pohon di setiap jengkal tanah kosong untuk memperbesar penyerapan gas rumah kaca sekaligus menambah konsentrasi gas oksigen di atmosfer adalah langkah tepat, bijaksana, dan murah untuk memperkecil pengaruh global warming. Sesedikit, apa pun sumbangan Anda untuk mengurangi pengaruh global warming, tetap merupakan sumbangan amat berharga untuk kehidupan di bumi. (*)

URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/global-warming-dan-hancur


HADI S ALIKODRA
Guru Besar Satwa Liar Fakultas Kehutanan IPB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...