Oleh: Noprizal Erhan
Betapa berat beban yang dipikul tenaga kerja Indonesia saat ini. Siksaan bertubi dan sadistis menghiasi hari-hari mereka. Tercatat oleh Migrant Care, lebih dari 22 ribu TKI mengalami kasus di luar negeri. Bibir digunting, kepala retak dipukul hingga dioperasi di rumah sakit seperti yang dialami Sumiati, TKI di Arab Saudi. Sedangkan seorang tenaga kerja wanita asal Surabaya yang bekerja di Yordania disiksa oleh majikannya selama tiga tahun berturut dan tak pernah pulang. Melapor ke Konjen malah diminta kembali ke majikan, jika tidak, akan didenda peraturan senilai US$ 300! (Trans TV, 22 November 2010).
Kita gemas, betapa persoalan-persoalan TKI selalu mencuat dan dalam bentuk penyiksaan yang mengenaskan. Kenapa pemerintah dan pihak terkait tampak tak berdaya dan kedodoran dalam hal satu ini? Sistem apa yang tidak bekerja? Kebijakan apa yang belum dibuat? Perhatian apa yang kurang?
Kita gemas atas segala ketidaksigapan berbagai pihak, seperti pemerintah, perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI), pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta (PPTKIS), pihak dari keluarga TKI, dan TKI yang bersangkutan. Kenapa semua seperti impoten dan gagal menjadi agen perubahan bagi perbaikan persoalan TKI ini dari periode ke periode?
Persoalan TKI tidak terlepas dari keempat stakeholder ini: pemerintah, pelaku jasa/pengurus tenaga kerja (PJTKI/PPTKIS), keluarga TKI, dan TKI yang bersangkutan.
Pemerintah
Pemerintah kelihatan sangat lamban dalam membuat kebijakan perlindungan terhadap TKI bahkan hingga hari ini. Baru bergerak setelah hal itu menjadi berita utama di media. Itu pun memunculkan ide-ide solusi yang tidak mengatasi inti (core) masalah. Apa yang bisa diharapkan dari memberi ponsel kepada TKI? Apakah itu menyelesaikan inti masalah?
Ada kultur dan asumsi di negara-negara tertentu (penerima TKI), TKI masih diperlakukan sebagai budak, yakni bisa dihardik, diperlakukan kasar, bahkan dianiaya, walau mereka mengatakan sebagai bentuk hukuman, jika didapati kesalahan dalam bekerja dan berlaku. Pemerintah seharusnya mampu membuat perjanjian bilateral yang saling menghormati atas dasar kemanusiaan dan profesionalitas dalam perlindungan hak-hak TKI, bukan membiarkan mereka diasumsikan sebagai budak, suruhan yang bisa dikasari. Perlu sekali pembentukan lembaga perwakilan di tiap negara penerima TKI, lengkap dengan staf advokasi (pengacara), tenaga kesehatan, dan tenaga konsultasi pekerjaan.
Pemerintah seharusnya mampu memberi asuransi perlindungan kepada TKI yang bekerja di luar negeri dengan memastikan kondisi perusahaan asuransi perlindungan sehat sehingga memberikan pelayanan yang optimal kepada TKI. Wakil Ketua Komisi Ketenagakerjaan DPR Irgan Chaerul pernah menjelaskan, dari sebaran anggaran dana di beberapa kementerian terkait dengan TKI, justru tidak memudahkan penyelesaian masalah TKI. Dari Rp 8 triliun yang tersebar ke beberapa kementerian, seperti Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Keuangan, itu menunjukkan kita tidak terfokus. Jadi penanganan persoalan-persoalan TKI masih banyak tumpang-tindih dan tidak terfokus pada satu institusi yang khusus menangani persoalan TKI. Irgan menginginkan sebaiknya Kementerian Tenaga Kerja terpisah dari Kementerian Transmigrasi (Tempo, 29 April 2010).
PJTKI dan PPTKIS
Pemerintah mesti membuat aturan main yang tegas terhadap PJTKI, yakni memastikan TKI yang dikirim PJTKI bukan tenaga kerja seadanya yang berpotensi mengalami penganiayaan dan kekesalan majikan. Menurut Ketua Himpunan Pengusaha Jasa Tenaga Kerja Indonesia Yunus M. Yamani, ada kecenderungan yang tidak sehat karena Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia tidak pernah membina pelaku usaha penempatan, tapi sebaliknya, menganggapnya sebagai kriminal, bahkan pemerintah tidak melakukan pencegahan dan pembinaan terhadap PPTKIS, tetapi selalu menempatkan pelaku usaha sebagai yang bersalah. Seharusnya, jika PPTKIS bersalah, ada sanksi yang tegas, bukan hanya bicara skorsing tapi mereka tetap beroperasi menempatkan TKI. Demikian juga, jika bersalah, aparat harus dihukum (R. Fitriana dalam Bisnis Indonesia, 8 November 2010).
Penyadaran
Analis Kebijakan Publik Migran Care, Wahyu Susilo, menilai peran pihak keluarga sangat penting dalam pencegahan dan pengurangan jumlah TKI yang tidak siap bekerja atau dipaksa bekerja di luar negeri. Wahyu dalam Satudunia.net (2 November) menilai terkadang pihak keluarga menempatkan anak perempuan sebagai aset, kurang awas, serta membiarkannya bekerja di daerah-daerah rentan, seperti perkebunan, karaoke, dan prostitusi. Hal ini tak tertutup kemungkinan karena dipicu oleh kondisi ekonomi keluarga yang mengenaskan, dan pemahaman akan gambaran bekerja di luar negeri yang selalu dianggap indah serta selalu membawa berkah finansial, sedangkan kenyataannya, tak sedikit TKI tidak bisa pulang bertahun-tahun, dan disiksa majikan.
Penting sekali bagi para TKI memahami benar realitas bekerja di luar negeri. Gambaran dari cerita orang-orang tertentu bahwa menjadi TKI selalu indah ternyata tidak selalu dialami TKI. Hal ini bervariasi mengacu kepada majikan tempat TKI bekerja, dan mengacu kepada PJTKI mana si TKI berhubungan. Jangan-jangan jasa tenaga kerja yang menyalurkannya adalah bersifat dadakan alias penyalur TKI gelap.
TKI mesti sadar benar kesiapan fisik dan mentalnya sebelum bekerja di negeri orang yang memiliki budaya (kultur), tata cara kerja, serta tata krama berbeda dan lain-lain. RRI-Voice of Indonesia (22 September) melaporkan, kerap TKI di luar negeri mengalami permasalahan, seperti kekerasan fisik, tidak diberi tiket kembali ke Indonesia, paspor ditahan majikan/agen, gaji tidak dibayar, kesulitan komunikasi dan penyesuaian dengan budaya setempat, jam kerja berlebihan, pelecehan seksual, serta fasilitas istirahat dan makan-minum yang kurang memadai.
Nah, dengan kejadian-kejadian ini, seharusnya para TKI mesti lebih cermat dan berpikir sekian kali jika hendak bekerja sebagai TKI di luar negeri. Jangan mudah menerima bujukan, sekalipun dari keluarga sendiri, sedangkan ia tidak tahu apa pun realitas bekerja di luar negeri, bekerja dengan majikan yang bagaimana, disalurkan oleh siapa, apa jaminan hidup dan keamanan di sana. Hal-hal ini seharusnya disosialisasi oleh Kementerian Tenaga Kerja dan pihak-pihak terkait sebagai pelaku jasa penyalur tenaga kerja, bukan sekadar menjual pepesan kosong kepada TKI yang bersangkutan dan menambah derita hidupnya, dari miskin menjadi bertambah miskin dan tersiksa!
URL Source: http://korantempo.com/korantempo/koran/2010/12/03/Opini/krn.20101203.219928
Noprizal Erhan
Peneliti Independen Center for Strategic Development Studies (CSDS)
Betapa berat beban yang dipikul tenaga kerja Indonesia saat ini. Siksaan bertubi dan sadistis menghiasi hari-hari mereka. Tercatat oleh Migrant Care, lebih dari 22 ribu TKI mengalami kasus di luar negeri. Bibir digunting, kepala retak dipukul hingga dioperasi di rumah sakit seperti yang dialami Sumiati, TKI di Arab Saudi. Sedangkan seorang tenaga kerja wanita asal Surabaya yang bekerja di Yordania disiksa oleh majikannya selama tiga tahun berturut dan tak pernah pulang. Melapor ke Konjen malah diminta kembali ke majikan, jika tidak, akan didenda peraturan senilai US$ 300! (Trans TV, 22 November 2010).
Kita gemas, betapa persoalan-persoalan TKI selalu mencuat dan dalam bentuk penyiksaan yang mengenaskan. Kenapa pemerintah dan pihak terkait tampak tak berdaya dan kedodoran dalam hal satu ini? Sistem apa yang tidak bekerja? Kebijakan apa yang belum dibuat? Perhatian apa yang kurang?
Kita gemas atas segala ketidaksigapan berbagai pihak, seperti pemerintah, perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI), pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta (PPTKIS), pihak dari keluarga TKI, dan TKI yang bersangkutan. Kenapa semua seperti impoten dan gagal menjadi agen perubahan bagi perbaikan persoalan TKI ini dari periode ke periode?
Persoalan TKI tidak terlepas dari keempat stakeholder ini: pemerintah, pelaku jasa/pengurus tenaga kerja (PJTKI/PPTKIS), keluarga TKI, dan TKI yang bersangkutan.
Pemerintah
Pemerintah kelihatan sangat lamban dalam membuat kebijakan perlindungan terhadap TKI bahkan hingga hari ini. Baru bergerak setelah hal itu menjadi berita utama di media. Itu pun memunculkan ide-ide solusi yang tidak mengatasi inti (core) masalah. Apa yang bisa diharapkan dari memberi ponsel kepada TKI? Apakah itu menyelesaikan inti masalah?
Ada kultur dan asumsi di negara-negara tertentu (penerima TKI), TKI masih diperlakukan sebagai budak, yakni bisa dihardik, diperlakukan kasar, bahkan dianiaya, walau mereka mengatakan sebagai bentuk hukuman, jika didapati kesalahan dalam bekerja dan berlaku. Pemerintah seharusnya mampu membuat perjanjian bilateral yang saling menghormati atas dasar kemanusiaan dan profesionalitas dalam perlindungan hak-hak TKI, bukan membiarkan mereka diasumsikan sebagai budak, suruhan yang bisa dikasari. Perlu sekali pembentukan lembaga perwakilan di tiap negara penerima TKI, lengkap dengan staf advokasi (pengacara), tenaga kesehatan, dan tenaga konsultasi pekerjaan.
Pemerintah seharusnya mampu memberi asuransi perlindungan kepada TKI yang bekerja di luar negeri dengan memastikan kondisi perusahaan asuransi perlindungan sehat sehingga memberikan pelayanan yang optimal kepada TKI. Wakil Ketua Komisi Ketenagakerjaan DPR Irgan Chaerul pernah menjelaskan, dari sebaran anggaran dana di beberapa kementerian terkait dengan TKI, justru tidak memudahkan penyelesaian masalah TKI. Dari Rp 8 triliun yang tersebar ke beberapa kementerian, seperti Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Keuangan, itu menunjukkan kita tidak terfokus. Jadi penanganan persoalan-persoalan TKI masih banyak tumpang-tindih dan tidak terfokus pada satu institusi yang khusus menangani persoalan TKI. Irgan menginginkan sebaiknya Kementerian Tenaga Kerja terpisah dari Kementerian Transmigrasi (Tempo, 29 April 2010).
PJTKI dan PPTKIS
Pemerintah mesti membuat aturan main yang tegas terhadap PJTKI, yakni memastikan TKI yang dikirim PJTKI bukan tenaga kerja seadanya yang berpotensi mengalami penganiayaan dan kekesalan majikan. Menurut Ketua Himpunan Pengusaha Jasa Tenaga Kerja Indonesia Yunus M. Yamani, ada kecenderungan yang tidak sehat karena Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia tidak pernah membina pelaku usaha penempatan, tapi sebaliknya, menganggapnya sebagai kriminal, bahkan pemerintah tidak melakukan pencegahan dan pembinaan terhadap PPTKIS, tetapi selalu menempatkan pelaku usaha sebagai yang bersalah. Seharusnya, jika PPTKIS bersalah, ada sanksi yang tegas, bukan hanya bicara skorsing tapi mereka tetap beroperasi menempatkan TKI. Demikian juga, jika bersalah, aparat harus dihukum (R. Fitriana dalam Bisnis Indonesia, 8 November 2010).
Penyadaran
Analis Kebijakan Publik Migran Care, Wahyu Susilo, menilai peran pihak keluarga sangat penting dalam pencegahan dan pengurangan jumlah TKI yang tidak siap bekerja atau dipaksa bekerja di luar negeri. Wahyu dalam Satudunia.net (2 November) menilai terkadang pihak keluarga menempatkan anak perempuan sebagai aset, kurang awas, serta membiarkannya bekerja di daerah-daerah rentan, seperti perkebunan, karaoke, dan prostitusi. Hal ini tak tertutup kemungkinan karena dipicu oleh kondisi ekonomi keluarga yang mengenaskan, dan pemahaman akan gambaran bekerja di luar negeri yang selalu dianggap indah serta selalu membawa berkah finansial, sedangkan kenyataannya, tak sedikit TKI tidak bisa pulang bertahun-tahun, dan disiksa majikan.
Penting sekali bagi para TKI memahami benar realitas bekerja di luar negeri. Gambaran dari cerita orang-orang tertentu bahwa menjadi TKI selalu indah ternyata tidak selalu dialami TKI. Hal ini bervariasi mengacu kepada majikan tempat TKI bekerja, dan mengacu kepada PJTKI mana si TKI berhubungan. Jangan-jangan jasa tenaga kerja yang menyalurkannya adalah bersifat dadakan alias penyalur TKI gelap.
TKI mesti sadar benar kesiapan fisik dan mentalnya sebelum bekerja di negeri orang yang memiliki budaya (kultur), tata cara kerja, serta tata krama berbeda dan lain-lain. RRI-Voice of Indonesia (22 September) melaporkan, kerap TKI di luar negeri mengalami permasalahan, seperti kekerasan fisik, tidak diberi tiket kembali ke Indonesia, paspor ditahan majikan/agen, gaji tidak dibayar, kesulitan komunikasi dan penyesuaian dengan budaya setempat, jam kerja berlebihan, pelecehan seksual, serta fasilitas istirahat dan makan-minum yang kurang memadai.
Nah, dengan kejadian-kejadian ini, seharusnya para TKI mesti lebih cermat dan berpikir sekian kali jika hendak bekerja sebagai TKI di luar negeri. Jangan mudah menerima bujukan, sekalipun dari keluarga sendiri, sedangkan ia tidak tahu apa pun realitas bekerja di luar negeri, bekerja dengan majikan yang bagaimana, disalurkan oleh siapa, apa jaminan hidup dan keamanan di sana. Hal-hal ini seharusnya disosialisasi oleh Kementerian Tenaga Kerja dan pihak-pihak terkait sebagai pelaku jasa penyalur tenaga kerja, bukan sekadar menjual pepesan kosong kepada TKI yang bersangkutan dan menambah derita hidupnya, dari miskin menjadi bertambah miskin dan tersiksa!
URL Source: http://korantempo.com/korantempo/koran/2010/12/03/Opini/krn.20101203.219928
Noprizal Erhan
Peneliti Independen Center for Strategic Development Studies (CSDS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya