Oleh: Bambang Susantono
Gagasan koridor ekonomi yang tengah digodok pemerintah sekarang ini sebenarnya bukanlah pendekatan yang sama sekali baru. KE menggabungkan pendekatan pembangunan infrastruktur yang terintegrasi dalam suatu struktur ruang spasial atau kewilayahan.
Pengembangan KE dimaksudkan untuk mendapatkan tatanan praktis penggabungan pola pembangunan yang bersifat kewilayahan (regional) dengan pola pembangunan sektoral.
Karena itu, suatu rencana induk KE akan berlaku sebagai pedoman dalam merencanakan pengembangan investasi di satu wilayah. Melalui rencana induk KE, akan diperlihatkan potensi pengembangan komoditas, rencana pengembangan kawasan, serta rencana pengembangan infrastruktur di satu wilayah.
Sederhananya dicontohkan bahwa untuk meningkatkan keunggulan dari batubara dan mineral sebagai komoditas andalan di Kalimantan, perlu dikembangkan kawasan-kawasan terkait yang didukung keandalan infrastruktur, seperti jaringan jalan, jalan kereta api, pelabuhan, bandara, listrik, dan telekomunikasi.
Di dalam KE terdapat sejumlah pusat kegiatan dan pertumbuhan perekonomian berupa hubs dan nodes. Hubs biasanya merupakan pusat akumulasi finansial, sedangkan nodes umumnya berupa pusat pengembangan komoditas, seperti perkebunan, kawasan industri, dan kawasan pertambangan. Sebuah nodes juga dapat berupa kawasan industri, atau kawasan ekonomi khusus. Antara hubs dan nodes ini dihubungkan oleh jejaring infrastruktur.
Enam koridor
Terkait dengan hal ini, Pemerintah Indonesia tengah menyelesaikan rencana induk (master plan) bagi enam koridor ekonomi di Indonesia, yang meliputi (1) koridor timur Sumatera dan utara Jawa Barat, (2) koridor pantai utara (pantura) Jawa, (3) koridor Kalimantan, (4) koridor Sulawesi, (5) koridor Papua, serta (6) koridor timur Jawa-Bali-Nusa Tenggara. Dalam merancang rencana induk KE ini, dilakukan sejumlah analisis yang diawali dengan kajian tata ruang dan rencana pengembangan wilayah. Dalam hal ini Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional merupakan acuan awal dalam rangka mengidentifikasi potensi pengembangan suatu wilayah.
Di samping itu, jenis komoditas yang menjadi kekayaan suatu daerah juga dianalisis dengan mengkaji perkembangan kondisi pasar, termasuk kondisi permintaan (demand) serta kecenderungan (trend) dari komoditas tersebut di pasar internasional.
Hasil analisis tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan analisis potensi Indonesia untuk mengisi segmen pasar tertentu, termasuk perencanaan terhadap infrastruktur yang perlu disediakan untuk meningkatkan kemampuan daya saingnya. Rangkaian analisis ini dikembangkan lebih lanjut dengan melihat kemungkinan pembentukan suatu kawasan ekonomi yang bersifat khusus pada suatu wilayah.
Sebagai tahap awal pembangunan KE di Indonesia akan dikembangkan koridor timur Sumatera utara Jawa Barat (TSUJB) dan koridor pantai utara Jawa (pantura) sebagai percontohan. Dalam mengembangkan koridor TSUJB, akan disusun sejumlah simpul-simpul logistik sesuai rencana pemanfaatan dari komoditas andalan utama pada koridor ini, yang meliputi kelapa sawit, karet, dan batu bara.
Akses ke kawasan komoditas akan dibangun melalui pembangunan sejumlah proyek infrastruktur pelabuhan, jalan, dan jalur kereta api. Dengan demikian, pusat-pusat ekonomi akan saling terhubung dan dapat bersinergi dengan daerah sekitar.
Simpul jalur logistik
Pengembangan kawasan komoditas di koridor harus didukung simpul-simpul jalur logistik yang tentunya diharapkan menghasilkan sejumlah spill over effect dan kemudian dimaksimalkan dampaknya dengan konektivitas dari jalur-jalur logistik tersebut.
Sejumlah proyek infrastruktur yang menyambungkan simpul-simpul logistik yang teridentifikasi pada koridor ini antara lain meliputi pelabuhan-pelabuhan di Medan, Dumai, dan Palembang, pembangunan jalur KA trans-Sumatera dan jalur KA batu bara di Sumatera Selatan.
Perkiraan awal menunjukkan, dengan mengembangkan koridor ini, akan terdapat potensi peningkatan produk domestik regional bruto (PDRB) dari kawasan tersebut, dari semula 74 miliar dollar AS tahun 2008 menjadi lebih dari dua kali lipat, yaitu 154 miliar dollar AS tahun 2020, dan bahkan 273 miliar dollar AS tahun 2030.
Untuk pengembangan koridor TSUJB, idealnya diperlukan 44 proyek infrastruktur dengan prakiraan nilai 52,9 miliar dollar AS dengan rincian kebutuhan antara lain pengembangan jalan KA 17,1 miliar dollar AS, jalan tol 18,1 miliar dollar AS, infrastruktur transportasi mencakup bandara, pelabuhan, dan fasilitas logistik darat 4,3 miliar dollar AS, serta infrastruktur pendukung lain.
Sedikit berbeda dengan pengembangan koridor di TSUJB, untuk pengembangan koridor pantura, fokus pengembangan simpul logistik akan menitikberatkan pada pembangunan pelabuhan, jaringan jalan bebas hambatan, dan jalur KA double track. Hal ini mengingat komoditas andalan utama pada koridor ini meliputi hasil berbagai industri antara lain peralatan dan mesin. Koridor pantura akan terhubungkan empat hub utama dengan tingkat aglomerasi paling tinggi, yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya.
Dengan pertimbangan tersebut, simpul-simpul jalur logistik yang akan dikembangkan akan meliputi pengembangan pelabuhan-pelabuhan di Tanjung Priok dan Surabaya, pembangunan jalur jalan bebas hambatan trans-Jawa, serta pembangunan jalur KA trans-Jawa.
Simpul-simpul ini akan didukung pembangunan infrastruktur utama lain seperti pembangkit listrik di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Rencana induk koridor pantura memperlihatkan bahwa idealnya dibutuhkan 65 proyek infrastruktur senilai 36,2 miliar dollar AS. Diharapkan dengan koridor ini, akan dapat dilipatgandakan PDRB kawasan ini hingga empat kali lipat dalam 20 tahun ke depan, dari 178 miliar dollar AS tahun 2008 menjadi 770 miliar dollar AS pada tahun 2030.
Dengan kebutuhan pengembangan infrastruktur yang sedemikian besar untuk kedua koridor (90 miliar dollar AS), dan belum lagi kebutuhan untuk empat koridor lain, perlu dicari terobosan untuk memperbesar peran swasta dalam membangun infrastruktur. Saat ini memang telah tersedia berbagai instrumen fiskal, seperti infrastructure fund dan guarantee fund untuk mempermudah skema pembiayaan infrastruktur.
Namun, pengalaman menunjukkan, diperlukan penyiapan proyek yang memenuhi standar keuangan yang berlaku (bankable), agar kepastian (certainty) dan kejelasan (clarity) dari semua aspek yang memengaruhi risiko proyek bagi swasta dapat dikelola dengan baik.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/11/29/02484656/koridor.ekonomi
Bambang Susantono
Wakil Menteri Perhubungan
Gagasan koridor ekonomi yang tengah digodok pemerintah sekarang ini sebenarnya bukanlah pendekatan yang sama sekali baru. KE menggabungkan pendekatan pembangunan infrastruktur yang terintegrasi dalam suatu struktur ruang spasial atau kewilayahan.
Pengembangan KE dimaksudkan untuk mendapatkan tatanan praktis penggabungan pola pembangunan yang bersifat kewilayahan (regional) dengan pola pembangunan sektoral.
Karena itu, suatu rencana induk KE akan berlaku sebagai pedoman dalam merencanakan pengembangan investasi di satu wilayah. Melalui rencana induk KE, akan diperlihatkan potensi pengembangan komoditas, rencana pengembangan kawasan, serta rencana pengembangan infrastruktur di satu wilayah.
Sederhananya dicontohkan bahwa untuk meningkatkan keunggulan dari batubara dan mineral sebagai komoditas andalan di Kalimantan, perlu dikembangkan kawasan-kawasan terkait yang didukung keandalan infrastruktur, seperti jaringan jalan, jalan kereta api, pelabuhan, bandara, listrik, dan telekomunikasi.
Di dalam KE terdapat sejumlah pusat kegiatan dan pertumbuhan perekonomian berupa hubs dan nodes. Hubs biasanya merupakan pusat akumulasi finansial, sedangkan nodes umumnya berupa pusat pengembangan komoditas, seperti perkebunan, kawasan industri, dan kawasan pertambangan. Sebuah nodes juga dapat berupa kawasan industri, atau kawasan ekonomi khusus. Antara hubs dan nodes ini dihubungkan oleh jejaring infrastruktur.
Enam koridor
Terkait dengan hal ini, Pemerintah Indonesia tengah menyelesaikan rencana induk (master plan) bagi enam koridor ekonomi di Indonesia, yang meliputi (1) koridor timur Sumatera dan utara Jawa Barat, (2) koridor pantai utara (pantura) Jawa, (3) koridor Kalimantan, (4) koridor Sulawesi, (5) koridor Papua, serta (6) koridor timur Jawa-Bali-Nusa Tenggara. Dalam merancang rencana induk KE ini, dilakukan sejumlah analisis yang diawali dengan kajian tata ruang dan rencana pengembangan wilayah. Dalam hal ini Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional merupakan acuan awal dalam rangka mengidentifikasi potensi pengembangan suatu wilayah.
Di samping itu, jenis komoditas yang menjadi kekayaan suatu daerah juga dianalisis dengan mengkaji perkembangan kondisi pasar, termasuk kondisi permintaan (demand) serta kecenderungan (trend) dari komoditas tersebut di pasar internasional.
Hasil analisis tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan analisis potensi Indonesia untuk mengisi segmen pasar tertentu, termasuk perencanaan terhadap infrastruktur yang perlu disediakan untuk meningkatkan kemampuan daya saingnya. Rangkaian analisis ini dikembangkan lebih lanjut dengan melihat kemungkinan pembentukan suatu kawasan ekonomi yang bersifat khusus pada suatu wilayah.
Sebagai tahap awal pembangunan KE di Indonesia akan dikembangkan koridor timur Sumatera utara Jawa Barat (TSUJB) dan koridor pantai utara Jawa (pantura) sebagai percontohan. Dalam mengembangkan koridor TSUJB, akan disusun sejumlah simpul-simpul logistik sesuai rencana pemanfaatan dari komoditas andalan utama pada koridor ini, yang meliputi kelapa sawit, karet, dan batu bara.
Akses ke kawasan komoditas akan dibangun melalui pembangunan sejumlah proyek infrastruktur pelabuhan, jalan, dan jalur kereta api. Dengan demikian, pusat-pusat ekonomi akan saling terhubung dan dapat bersinergi dengan daerah sekitar.
Simpul jalur logistik
Pengembangan kawasan komoditas di koridor harus didukung simpul-simpul jalur logistik yang tentunya diharapkan menghasilkan sejumlah spill over effect dan kemudian dimaksimalkan dampaknya dengan konektivitas dari jalur-jalur logistik tersebut.
Sejumlah proyek infrastruktur yang menyambungkan simpul-simpul logistik yang teridentifikasi pada koridor ini antara lain meliputi pelabuhan-pelabuhan di Medan, Dumai, dan Palembang, pembangunan jalur KA trans-Sumatera dan jalur KA batu bara di Sumatera Selatan.
Perkiraan awal menunjukkan, dengan mengembangkan koridor ini, akan terdapat potensi peningkatan produk domestik regional bruto (PDRB) dari kawasan tersebut, dari semula 74 miliar dollar AS tahun 2008 menjadi lebih dari dua kali lipat, yaitu 154 miliar dollar AS tahun 2020, dan bahkan 273 miliar dollar AS tahun 2030.
Untuk pengembangan koridor TSUJB, idealnya diperlukan 44 proyek infrastruktur dengan prakiraan nilai 52,9 miliar dollar AS dengan rincian kebutuhan antara lain pengembangan jalan KA 17,1 miliar dollar AS, jalan tol 18,1 miliar dollar AS, infrastruktur transportasi mencakup bandara, pelabuhan, dan fasilitas logistik darat 4,3 miliar dollar AS, serta infrastruktur pendukung lain.
Sedikit berbeda dengan pengembangan koridor di TSUJB, untuk pengembangan koridor pantura, fokus pengembangan simpul logistik akan menitikberatkan pada pembangunan pelabuhan, jaringan jalan bebas hambatan, dan jalur KA double track. Hal ini mengingat komoditas andalan utama pada koridor ini meliputi hasil berbagai industri antara lain peralatan dan mesin. Koridor pantura akan terhubungkan empat hub utama dengan tingkat aglomerasi paling tinggi, yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya.
Dengan pertimbangan tersebut, simpul-simpul jalur logistik yang akan dikembangkan akan meliputi pengembangan pelabuhan-pelabuhan di Tanjung Priok dan Surabaya, pembangunan jalur jalan bebas hambatan trans-Jawa, serta pembangunan jalur KA trans-Jawa.
Simpul-simpul ini akan didukung pembangunan infrastruktur utama lain seperti pembangkit listrik di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Rencana induk koridor pantura memperlihatkan bahwa idealnya dibutuhkan 65 proyek infrastruktur senilai 36,2 miliar dollar AS. Diharapkan dengan koridor ini, akan dapat dilipatgandakan PDRB kawasan ini hingga empat kali lipat dalam 20 tahun ke depan, dari 178 miliar dollar AS tahun 2008 menjadi 770 miliar dollar AS pada tahun 2030.
Dengan kebutuhan pengembangan infrastruktur yang sedemikian besar untuk kedua koridor (90 miliar dollar AS), dan belum lagi kebutuhan untuk empat koridor lain, perlu dicari terobosan untuk memperbesar peran swasta dalam membangun infrastruktur. Saat ini memang telah tersedia berbagai instrumen fiskal, seperti infrastructure fund dan guarantee fund untuk mempermudah skema pembiayaan infrastruktur.
Namun, pengalaman menunjukkan, diperlukan penyiapan proyek yang memenuhi standar keuangan yang berlaku (bankable), agar kepastian (certainty) dan kejelasan (clarity) dari semua aspek yang memengaruhi risiko proyek bagi swasta dapat dikelola dengan baik.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/2010/11/29/02484656/koridor.ekonomi
Bambang Susantono
Wakil Menteri Perhubungan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya