Oleh: Muhidin M Dahlan
Kasus dicabutnya perlahan-lahan infus hidup Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin bukan soal mengagetkan bagi rezim tunasejarah.
Jangankan berharap mereka mendirikan pusat dokumentasi seideal yang dikerjakan manusia tekun seperti HB Jassin sepanjang hayat, yang sudah ada pun akan mereka jadikan bubur kertas.
Tak banyak pusat dokumentasi sekhusus PDS HB Jassin di Jakarta. Di dunia sinema ada Sinematek, yang hidupnya makin hari makin rudin. Sementara itu, di bidang seni rupa, pemerintah sama sekali tidak hadir.
Di bidang pers, pemerintah hadir di Solo. Jangan bayangkan pusat dokumentasi ini mirip Newseum di Washington DC, Amerika Serikat, yang jadi salah satu wisata dokumentasi pers dunia. Di Solo, melihat dokumentasi dan penataan arsip pers Indonesia yang usianya sudah seabad lebih, peneliti yang tekun sekalipun akan mempertimbangkan berkali-kali untuk hadir kali kedua di gedung itu.
Ciri-ciri rezim tunasejarah, antara lain, lekas lupa, tak memiliki lembaga arsip yang dinamis dengan pengelolaan yang kreatif, dan mereka yang bergiat di dunia dokumentasi menjadi anak tiri dalam semua profesi.
Ciri lekas lupa mudah kita lacak ketika sekelompok pemuka agama mengajukan 18 arsip lisan tentang kebohongan rezim tunasejarah ini dalam tiga tahun belakangan. Responsnya? Kalang kabut. Lupa. Ketimbang membuka dokumen ucapan-ucapan mereka sendiri (maaf, tak ada Pusat Dokumentasi Presiden Indonesia), mereka malah menyerang balik mirip orang mabuk.
Bagi rezim tunasejarah, lebih istimewa mendirikan pusat-pusat kesenangan—mal dan industri hiburan—ketimbang pusat pembelajaran sejarah yang kreatif. Memang ada ”taman pintar” di mana-mana, tetapi itu hanya proyek citrawi rezim. Itu pun dananya disumbang Jepang.
Alergi terhadap dunia arsip tampak dalam canda serius para amtenar rezim tunasejarah. Jika seorang amtenar ”diarsipkan”, dipekerjakan di kantor arsip seperti Arsip Nasional Republik Indonesia, berarti karier kepegawaiannya mentok. Mengapa demikian? Djoko Utomo, sang kepala ANRI (2008), mengatakan bahwa koleganya pada rezim tunasejarah itu masih menganggap arsip seolah-olah barang rongsokan, berupa kertas usang.
Pantas kemudian dunia arsip kita tak mengikuti gerak zaman. Jangan bayangkan pusat dokumentasi yang dikelola rezim tunasejarah ini mengarsipkan dengan serius catatan blog, status Facebook, atau kicauan yang muncul di Twitter sebagaimana dilakukan Library of Congress sejak 2000. Gudang arsip digital LOC telah menampung data sebesar 167 terabita.
Berpikir historis
Rezim yang berpikir historis akan memahami arsip sebagai memori kolektif, tempat berlaku kesepakatan institusional yang saling berkait antara ruang/geografi dan waktu/sejarah. Lantaran itu, arsip bukan benda mati.
Arsip bagian dari kehidupan dengan cara terus-menerus dirawat melalui tafsiran untuk kehidupan yang akan datang, bersandar pada kepentingan-kepentingan masa kini dengan tolok ukur peristiwa yang sudah-sudah.
Bagaimana menghidupkan sebuah arsip sebagai bagian organis bagi kenyataan? Rahzen (2010) menghadirkan sosok Dang Hyang Nirartha, pedanda (pendeta) yang berasal dari Kerajaan Daha dan pendiri Pura Uluwatu di Desa Pecatu, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Bali.
Tokoh ini memiliki pandangan unik yang bisa kita rujuk untuk melihat bagaimana arsip sebagai organisme yang hidup. Dang Hyang Nirartha memiliki trikonsep: masa, yasa, basa. Ketiganya mata rantai yang tak bisa dipisahkan satu dan lainnya.
Masa atau waktu, zaman, dan kurun adalah sejarah yang berlangsung setiap waktu. Untuk mengikat dan menandai kurun dalam pergerakan sejarah, kehidupan membutuhkan ruang. Ruang itu dinamakan yasa, yang mewujud dalam bentuk monumen, patung, arsip.
Bagaimana menghidupkan dan mengontekstualisasikan jalannya masa dan konstruk material yasa itu? Kehidupan membutuhkan apa yang disebut basa atau bahasa. Basa adalah medium menafsirkan mengalirnya masa dalam tonggak-tonggak yasa. Di sini basa bisa kita sebut sebagai paradigma.
Sebagai paradigma, arsip kemudian bisa jadi gerakan bersama yang memungkinkan berdiri dan kukuhnya sebuah bangsa. Karena itu, pengarang Ceko, Milan Kundera, dengan yakin mengatakan, ”Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa, mudah saja. Hancurkan arsipnya!”
Apa yang dilakukan sekelompok anak muda di Twitter dan Facebook saat ini untuk menyelamatkan PDS HB Jassin kita sebut saja ”Gerakan Nirartha”. Gerakan ini menolak bala penghancuran nalar dan manipulasi sejarah (literasi), khususnya kontinuitas hidup sastra Indonesia modern, yang dilakukan rezim tunasejarah.
Muhidin M Dahlan Kerani di Indonesia Buku (Iboekoe), Tinggal di Yogyakarta
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2011/03/23/04432835/gerakan.melawan.rezim.tunasejarah
Kasus dicabutnya perlahan-lahan infus hidup Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin bukan soal mengagetkan bagi rezim tunasejarah.
Jangankan berharap mereka mendirikan pusat dokumentasi seideal yang dikerjakan manusia tekun seperti HB Jassin sepanjang hayat, yang sudah ada pun akan mereka jadikan bubur kertas.
Tak banyak pusat dokumentasi sekhusus PDS HB Jassin di Jakarta. Di dunia sinema ada Sinematek, yang hidupnya makin hari makin rudin. Sementara itu, di bidang seni rupa, pemerintah sama sekali tidak hadir.
Di bidang pers, pemerintah hadir di Solo. Jangan bayangkan pusat dokumentasi ini mirip Newseum di Washington DC, Amerika Serikat, yang jadi salah satu wisata dokumentasi pers dunia. Di Solo, melihat dokumentasi dan penataan arsip pers Indonesia yang usianya sudah seabad lebih, peneliti yang tekun sekalipun akan mempertimbangkan berkali-kali untuk hadir kali kedua di gedung itu.
Ciri-ciri rezim tunasejarah, antara lain, lekas lupa, tak memiliki lembaga arsip yang dinamis dengan pengelolaan yang kreatif, dan mereka yang bergiat di dunia dokumentasi menjadi anak tiri dalam semua profesi.
Ciri lekas lupa mudah kita lacak ketika sekelompok pemuka agama mengajukan 18 arsip lisan tentang kebohongan rezim tunasejarah ini dalam tiga tahun belakangan. Responsnya? Kalang kabut. Lupa. Ketimbang membuka dokumen ucapan-ucapan mereka sendiri (maaf, tak ada Pusat Dokumentasi Presiden Indonesia), mereka malah menyerang balik mirip orang mabuk.
Bagi rezim tunasejarah, lebih istimewa mendirikan pusat-pusat kesenangan—mal dan industri hiburan—ketimbang pusat pembelajaran sejarah yang kreatif. Memang ada ”taman pintar” di mana-mana, tetapi itu hanya proyek citrawi rezim. Itu pun dananya disumbang Jepang.
Alergi terhadap dunia arsip tampak dalam canda serius para amtenar rezim tunasejarah. Jika seorang amtenar ”diarsipkan”, dipekerjakan di kantor arsip seperti Arsip Nasional Republik Indonesia, berarti karier kepegawaiannya mentok. Mengapa demikian? Djoko Utomo, sang kepala ANRI (2008), mengatakan bahwa koleganya pada rezim tunasejarah itu masih menganggap arsip seolah-olah barang rongsokan, berupa kertas usang.
Pantas kemudian dunia arsip kita tak mengikuti gerak zaman. Jangan bayangkan pusat dokumentasi yang dikelola rezim tunasejarah ini mengarsipkan dengan serius catatan blog, status Facebook, atau kicauan yang muncul di Twitter sebagaimana dilakukan Library of Congress sejak 2000. Gudang arsip digital LOC telah menampung data sebesar 167 terabita.
Berpikir historis
Rezim yang berpikir historis akan memahami arsip sebagai memori kolektif, tempat berlaku kesepakatan institusional yang saling berkait antara ruang/geografi dan waktu/sejarah. Lantaran itu, arsip bukan benda mati.
Arsip bagian dari kehidupan dengan cara terus-menerus dirawat melalui tafsiran untuk kehidupan yang akan datang, bersandar pada kepentingan-kepentingan masa kini dengan tolok ukur peristiwa yang sudah-sudah.
Bagaimana menghidupkan sebuah arsip sebagai bagian organis bagi kenyataan? Rahzen (2010) menghadirkan sosok Dang Hyang Nirartha, pedanda (pendeta) yang berasal dari Kerajaan Daha dan pendiri Pura Uluwatu di Desa Pecatu, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Bali.
Tokoh ini memiliki pandangan unik yang bisa kita rujuk untuk melihat bagaimana arsip sebagai organisme yang hidup. Dang Hyang Nirartha memiliki trikonsep: masa, yasa, basa. Ketiganya mata rantai yang tak bisa dipisahkan satu dan lainnya.
Masa atau waktu, zaman, dan kurun adalah sejarah yang berlangsung setiap waktu. Untuk mengikat dan menandai kurun dalam pergerakan sejarah, kehidupan membutuhkan ruang. Ruang itu dinamakan yasa, yang mewujud dalam bentuk monumen, patung, arsip.
Bagaimana menghidupkan dan mengontekstualisasikan jalannya masa dan konstruk material yasa itu? Kehidupan membutuhkan apa yang disebut basa atau bahasa. Basa adalah medium menafsirkan mengalirnya masa dalam tonggak-tonggak yasa. Di sini basa bisa kita sebut sebagai paradigma.
Sebagai paradigma, arsip kemudian bisa jadi gerakan bersama yang memungkinkan berdiri dan kukuhnya sebuah bangsa. Karena itu, pengarang Ceko, Milan Kundera, dengan yakin mengatakan, ”Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa, mudah saja. Hancurkan arsipnya!”
Apa yang dilakukan sekelompok anak muda di Twitter dan Facebook saat ini untuk menyelamatkan PDS HB Jassin kita sebut saja ”Gerakan Nirartha”. Gerakan ini menolak bala penghancuran nalar dan manipulasi sejarah (literasi), khususnya kontinuitas hidup sastra Indonesia modern, yang dilakukan rezim tunasejarah.
Muhidin M Dahlan Kerani di Indonesia Buku (Iboekoe), Tinggal di Yogyakarta
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2011/03/23/04432835/gerakan.melawan.rezim.tunasejarah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya