Oleh: Jusuf Wanandi
Ketidakpastian melanda perkembangan global. Perkembangan ekonomi Amerika Serikat masih lemah, yang bila dikaitkan dengan kemacetan penyusunan anggaran belanja dan kebijakan fiskal, tidak terlalu memberikan harapan baik.
Uni Eropa masih kesulitan menyelesaikan berbagai masalah tentang euro dan utang anggotanya. Perbedaan usul-usul Jerman tentang jaminan untuk pinjaman yang akan datang dengan anggota Uni Eropa lain juga belum dapat diselesaikan.
Jepang menghadapi perpecahan dalam tubuh kedua partai besarnya dan kenyataan pemerintahan yang lemah sehingga tidak mudah mengubah kebijakan defisit negara dan pinjaman yang sangat membengkak.
Di negara-negara Afrika Utara dan Timur Tengah, revolusi terjadi karena rakyat mendambakan perubahan radikal di bidang politik, ekonomi, serta diakhirinya kediktatoran yang tidak pernah peka pada tuntutan rakyat atas hak dan kebutuhan mereka. Meskipun tidak semua negara di kawasan itu setuju dengan demokrasi Barat, kalau rakyat ditindas sistem otokrasi yang penuh KKN selama 30-an tahun, ditambah dengan 30 persen angkatan di bawah 35 tahun yang tidak bekerja, sudah pasti akan terjadi ledakan-ledakan sosial.
Negara-negara di kedua wilayah itu berbeda satu dengan yang lain karena sejarah dan sistem nilainya. Maka, jawaban mereka atas tantangan itu juga berbeda-beda. Yang pasti, sistem otokrasi tidak lagi bisa bertahan pada era globalisasi karena kaum muda yang menguasai teknologi informasi dapat mengetahui kemajuan dan kebebasan di bagian lain dunia.
Perkembangan pascarevolusi di kawasan itu masih akan maju-mundur dan tersendat, seperti kontrarevolusi di Libya kini. Landasan ekonomi kedua wilayah juga berbeda, misalnya ada yang mempunyai sumber minyak, ada yang harus berjuang untuk menyejahterakan rakyatnya. Oleh karena itu, diperkirakan konsolidasi di sana akan berlangsung hingga dua dekade. Ini seperti Indonesia yang menurunkan Soeharto tahun 1998, tetapi pada 2011 belum juga berkembang maksimal, baik di bidang ekonomi maupun politik.
Asia Timur lebih mujur dari Timur Tengah karena mengalami perubahan terlebih dahulu dan kini mempunyai lembaga-lembaga yang lebih mantap. Namun, seyogianya Asia Timur tidak menganggap enteng revolusi di Timur Tengah karena masih dapat terimbas. Di Asia Timur pun masih bisa terjadi perubahan fundamental karena permasalahan yang dihadapi sama: penganggur berpendidikan, korupsi yang merajalela, perbedaan pendapatan yang mencolok, serta sistem politik yang tidak fleksibel dan terbuka.
Pembangunan ekonomi merupakan legitimasi utama rezim di Asia Timur. Bila krisis ekonomi dunia terjadi lagi, banyak dampak yang bisa terjadi, seperti protes massal untuk mendobrak pemerintahan, baik dengan jalan damai maupun konflik dan revolusi. Tanpa kecuali, hal serupa dapat terjadi di Indonesia.
Kondisi Indonesia
Ada dua gambaran tentang Indonesia. Pertama, akhir 2010 Indonesia tampak berkembang cepat, seperti China dan India, dengan pertumbuhan ekonomi 6 persen karena kebijakan makroekonomi yang positif, seperti inflasi, fiskal, dan moneter stabil, rezim investasi terbuka, dan situasi politik juga stabil. Namun, berbagai hambatan lama masih ada dan tidak ditangani tuntas, seperti korupsi, lembaga pelaksana hukum (polisi, jaksa, pengadilan) yang tidak berfungsi, infrastruktur yang terbelakang, dan pemerintahan yang lemah.
Gambaran kedua muncul pada awal 2011. Korupsi makin meruyak karena munculnya perkara Gayus Tambunan dan anggota DPR yang terlibat perkara cek pelawat dalam kasus pengangkatan wakil gubernur senior bank sentral. Infrastruktur tetap buruk dan inflasi mulai meningkat dengan kenaikan harga minyak dan makanan. Kestabilan politik mulai rapuh dengan adanya perusakan gereja di berbagai wilayah, penganiayaan dan pembunuhan jemaah Ahmadiyah, serta insiden-insiden lain yang menghantam kelompok minoritas. Hal itu menimbulkan kesan bahwa Indonesia yang plural dan demokratis ternyata tidak benar.
Negara Bhinneka Tunggal Ika seperti yang dicita-citakan para pendiri Republik Indonesia mulai terancam. Apalagi, pemerintah, terutama Presiden SBY, tampak tidak berdaya atau tidak memedulikan masalah-masalah inkonstitusional yang merusak kesatuan bangsa dan kriminal itu.
Posisi SBY makin lemah karena perpecahan dalam koalisi. Anggota kabinetnya, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan, secara terbuka menentang perintah dan tidak pernah ditertibkan. Gambaran kedua tentang Indonesia ini mulai dimengerti, tidak hanya oleh media asing, tetapi juga pihak pemerintah dan sektor swasta asing.
Wibawa Presiden SBY menurun cepat. Karena itu, dia harus bekerja lebih keras dan terbuka untuk memperbaikinya, tidak hanya dengan pidato-pidato yang tidak menyelesaikan masalah. Di kalangan kelas menengah Indonesia, dia sudah kehilangan banyak dukungan, terutama setelah pernyataan para pemimpin agama bahwa dia melakukan kebohongan terhadap publik. Pernyataan ini didukung sejumlah rektor universitas. Para pemimpin spiritual dan pendidikan ini bertindak murni, tidak didasari kepentingan politik apa pun dan tidak pula untuk kepentingan diri atau kelompoknya.
Dampak revolusi di Afrika Utara dan Timur Tengah telah dirasakan di banyak tempat sehingga tidak mustahil berdampak di Indonesia juga.
Jusuf Wanandi Wakil Ketua Dewan Penyantun Yayasan CSIS
Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2011/03/16/03093024/perkembangan.global.dan..indonesia
Ketidakpastian melanda perkembangan global. Perkembangan ekonomi Amerika Serikat masih lemah, yang bila dikaitkan dengan kemacetan penyusunan anggaran belanja dan kebijakan fiskal, tidak terlalu memberikan harapan baik.
Uni Eropa masih kesulitan menyelesaikan berbagai masalah tentang euro dan utang anggotanya. Perbedaan usul-usul Jerman tentang jaminan untuk pinjaman yang akan datang dengan anggota Uni Eropa lain juga belum dapat diselesaikan.
Jepang menghadapi perpecahan dalam tubuh kedua partai besarnya dan kenyataan pemerintahan yang lemah sehingga tidak mudah mengubah kebijakan defisit negara dan pinjaman yang sangat membengkak.
Di negara-negara Afrika Utara dan Timur Tengah, revolusi terjadi karena rakyat mendambakan perubahan radikal di bidang politik, ekonomi, serta diakhirinya kediktatoran yang tidak pernah peka pada tuntutan rakyat atas hak dan kebutuhan mereka. Meskipun tidak semua negara di kawasan itu setuju dengan demokrasi Barat, kalau rakyat ditindas sistem otokrasi yang penuh KKN selama 30-an tahun, ditambah dengan 30 persen angkatan di bawah 35 tahun yang tidak bekerja, sudah pasti akan terjadi ledakan-ledakan sosial.
Negara-negara di kedua wilayah itu berbeda satu dengan yang lain karena sejarah dan sistem nilainya. Maka, jawaban mereka atas tantangan itu juga berbeda-beda. Yang pasti, sistem otokrasi tidak lagi bisa bertahan pada era globalisasi karena kaum muda yang menguasai teknologi informasi dapat mengetahui kemajuan dan kebebasan di bagian lain dunia.
Perkembangan pascarevolusi di kawasan itu masih akan maju-mundur dan tersendat, seperti kontrarevolusi di Libya kini. Landasan ekonomi kedua wilayah juga berbeda, misalnya ada yang mempunyai sumber minyak, ada yang harus berjuang untuk menyejahterakan rakyatnya. Oleh karena itu, diperkirakan konsolidasi di sana akan berlangsung hingga dua dekade. Ini seperti Indonesia yang menurunkan Soeharto tahun 1998, tetapi pada 2011 belum juga berkembang maksimal, baik di bidang ekonomi maupun politik.
Asia Timur lebih mujur dari Timur Tengah karena mengalami perubahan terlebih dahulu dan kini mempunyai lembaga-lembaga yang lebih mantap. Namun, seyogianya Asia Timur tidak menganggap enteng revolusi di Timur Tengah karena masih dapat terimbas. Di Asia Timur pun masih bisa terjadi perubahan fundamental karena permasalahan yang dihadapi sama: penganggur berpendidikan, korupsi yang merajalela, perbedaan pendapatan yang mencolok, serta sistem politik yang tidak fleksibel dan terbuka.
Pembangunan ekonomi merupakan legitimasi utama rezim di Asia Timur. Bila krisis ekonomi dunia terjadi lagi, banyak dampak yang bisa terjadi, seperti protes massal untuk mendobrak pemerintahan, baik dengan jalan damai maupun konflik dan revolusi. Tanpa kecuali, hal serupa dapat terjadi di Indonesia.
Kondisi Indonesia
Ada dua gambaran tentang Indonesia. Pertama, akhir 2010 Indonesia tampak berkembang cepat, seperti China dan India, dengan pertumbuhan ekonomi 6 persen karena kebijakan makroekonomi yang positif, seperti inflasi, fiskal, dan moneter stabil, rezim investasi terbuka, dan situasi politik juga stabil. Namun, berbagai hambatan lama masih ada dan tidak ditangani tuntas, seperti korupsi, lembaga pelaksana hukum (polisi, jaksa, pengadilan) yang tidak berfungsi, infrastruktur yang terbelakang, dan pemerintahan yang lemah.
Gambaran kedua muncul pada awal 2011. Korupsi makin meruyak karena munculnya perkara Gayus Tambunan dan anggota DPR yang terlibat perkara cek pelawat dalam kasus pengangkatan wakil gubernur senior bank sentral. Infrastruktur tetap buruk dan inflasi mulai meningkat dengan kenaikan harga minyak dan makanan. Kestabilan politik mulai rapuh dengan adanya perusakan gereja di berbagai wilayah, penganiayaan dan pembunuhan jemaah Ahmadiyah, serta insiden-insiden lain yang menghantam kelompok minoritas. Hal itu menimbulkan kesan bahwa Indonesia yang plural dan demokratis ternyata tidak benar.
Negara Bhinneka Tunggal Ika seperti yang dicita-citakan para pendiri Republik Indonesia mulai terancam. Apalagi, pemerintah, terutama Presiden SBY, tampak tidak berdaya atau tidak memedulikan masalah-masalah inkonstitusional yang merusak kesatuan bangsa dan kriminal itu.
Posisi SBY makin lemah karena perpecahan dalam koalisi. Anggota kabinetnya, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan, secara terbuka menentang perintah dan tidak pernah ditertibkan. Gambaran kedua tentang Indonesia ini mulai dimengerti, tidak hanya oleh media asing, tetapi juga pihak pemerintah dan sektor swasta asing.
Wibawa Presiden SBY menurun cepat. Karena itu, dia harus bekerja lebih keras dan terbuka untuk memperbaikinya, tidak hanya dengan pidato-pidato yang tidak menyelesaikan masalah. Di kalangan kelas menengah Indonesia, dia sudah kehilangan banyak dukungan, terutama setelah pernyataan para pemimpin agama bahwa dia melakukan kebohongan terhadap publik. Pernyataan ini didukung sejumlah rektor universitas. Para pemimpin spiritual dan pendidikan ini bertindak murni, tidak didasari kepentingan politik apa pun dan tidak pula untuk kepentingan diri atau kelompoknya.
Dampak revolusi di Afrika Utara dan Timur Tengah telah dirasakan di banyak tempat sehingga tidak mustahil berdampak di Indonesia juga.
Jusuf Wanandi Wakil Ketua Dewan Penyantun Yayasan CSIS
Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2011/03/16/03093024/perkembangan.global.dan..indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya