Oleh: Dony Kleden
Ibu Teresa dari Kalkuta adalah sosok yang dikagumi, sosok yang disanjung di berbagai belahan dunia dan kalangan. Ia seorang pribadi ”pencinta cinta”. Sepanjang hidupnya, ia berusaha memenangkan cinta.
Demikian pula Mahatma Gandhi. Ia seorang pejuang cinta. Dalam perjuangan melawan kekerasan politik, ia pun berusaha memenangkan cinta. Suri teladan mereka telah menginspirasi banyak kalangan untuk juga hidup berdasarkan cinta.
Baik Ibu Teresa maupun Mahatma Gandhi adalah pribadi yang sungguh yakin bahwa daya cinta itu bisa mengatasi segala kepekatan hidup. Mereka pun sungguh yakin bahwa dunia ini sebenarnya adalah milik cinta. Karena itu, mereka terus mengajarkan dan memperagakan dalam hidup mereka bahwa cinta adalah inti terdalam dari hidup manusia.
Politik dan cinta
Politik dan cinta sering kali sulit diakurkan atau disandingkan dalam sebuah pembicaraan. Seolah-olah cinta dan politik itu lahir dari dunia yang berbeda. Oposisi biner sering kali dilekatkan pada keduanya dengan mengatakan bahwa politik itu jahat dan cinta itu kudus.
Sebuah oposisi yang sungguh menyesatkan dan menjebak manusia. Sejatinya politik itu lahir dari rahim cinta, rahim yang mau membangun dan menata hidup manusia sehingga segala kejahatan yang membawa derita dijauhkan dari hidup manusia. Buah cinta adalah kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan.
Pertanyaan bisa dilontarkan dalam konteks ini: sejauh mana politik menjangkarkan dirinya pada cinta? Sangat ironis kalau kita mengatakan bahwa kehidupan politik itu dipandu oleh cinta kendati memang seharusnya begitu. Ironisme ini muncul karena kita terlalu sering dihadapkan pada persoalan-persoalan politik yang mengapkir cinta dari dirinya. Bahkan sering kali politik merasa tabu untuk membicarakan cinta. Hal ini bisa dibuktikan lewat berbagai kasus korupsi dan segala kejahatan politik yang merebak seperti di negara kita ini.
Berbagai usaha untuk memenangkan cinta dalam dunia politik sering kali sama saja dengan menggedor-gedor pintu batu karang. Saya tidak sedang membangun pesimisme dalam hidup berpolitik, tetapi saya hanya mau mengatakan bahwa cinta sudah terlalu banyak kalah dalam dunia politik di Indonesia.
Pemahaman Erich Fromm tentang cinta kiranya jadi suluh bagi dunia politik. Bahwa, ”Cinta itu sebagai sebuah seni. Sebagai seni, cinta butuh pengetahuan dan latihan. Cinta adalah suatu kegiatan, bukan merupakan pengaruh yang pasif. Salah satu esensi dari cinta adalah adanya kreativitas dalam diri seseorang, terutama dalam aspek memberi, bukan hanya menerima.”
Agama dan hidup sosial
Berbeda dengan ”cinta dan politik” yang sering dioposisikan, ”cinta dan agama” selalu di- sandingkan. Asumsi dasarnya, agama tidak pernah melepaskan diri dari ajaran cinta. Pemahaman demikian sangat benar, tetapi harus dipahami juga bahwa cinta bukan hanya milik agama.
Ibu Teresa dan Mahatma Gandhi mengakarkan cinta mereka dalam tradisi agama masing-masing. Mereka mementingkan pencarian kebenaran serta secara sungguh-sungguh menghormati kehidupan dan berusaha memenangkan cinta dalam segala pencarian itu. Mereka meredam segala dorongan hawa nafsu yang picik dan egois yang mengor- bankan orang lain dengan segala kepentingannya. Justru sebaliknya, mereka bersedia mengor- bankan segala-galanya untuk memenangkan cinta.
Berger (1976) dalam refleksi religiusnya mengatakan, agama hendaknya membentuk kognisi masyarakat dan menjadi pedoman yang memberi arah bagi pola tingkah laku dan corak sosial. Berger sebenarnya mau membidik bagaimana agama itu memijakkan dirinya pada realitas sosial, pada realitas untuk menggapai kehidupan yang akan datang. Dengan demikian, agama tak mungkin melepaskan diri dari tanggung jawab sosial.
Agama dalam praktiknya selalu meniscayakan adanya tanggung jawab sosial. Sebab, kalau tidak, ia akan jatuh pada praktik pemujaan (cult) semata. Kalau agama tanpa tanggung jawab sosial, lalu apa arti dan sumbangan agama bagi peradaban sosial? Kalau agama menafikan tanggung jawab sosial, lalu untuk apa manusia beragama? Agama tidak cukup hanya menyibukkan diri dengan kekhusyukannya dengan orientasi pada keselamatan yang akan datang. Hakikat agama pada dirinya sendiri berdimensi humanis dan ilahi.
Mahatma Gandhi pada akhir sebuah ceramah politiknya mengatakan, ”Bagi saya, Tuhan dan kebenaran cinta merupakan istilah yang dapat digantikan satu dengan yang lain. Jika ada yang mengatakan bahwa Tuhan adalah Tuhan yang tidak cinta atau tidak benar atau yang menyiksa, saya tidak akan sudi mengabdi kepada-Nya. Oleh sebab itu, dalam politik, kita juga harus membangun kerajaan surgawi.”
Ini adalah kata-kata Mahatma Gandhi yang pada pokoknya mau memenangkan cinta dalam hidup manusia. Kita diajak oleh Mahatma Gandhi dan Ibu Teresa untuk berjuang memenangkan cinta dalam hidup kita.
Dony Kleden Rohaniwan
Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2011/03/04/04504889/memenangkan.cinta
Ibu Teresa dari Kalkuta adalah sosok yang dikagumi, sosok yang disanjung di berbagai belahan dunia dan kalangan. Ia seorang pribadi ”pencinta cinta”. Sepanjang hidupnya, ia berusaha memenangkan cinta.
Demikian pula Mahatma Gandhi. Ia seorang pejuang cinta. Dalam perjuangan melawan kekerasan politik, ia pun berusaha memenangkan cinta. Suri teladan mereka telah menginspirasi banyak kalangan untuk juga hidup berdasarkan cinta.
Baik Ibu Teresa maupun Mahatma Gandhi adalah pribadi yang sungguh yakin bahwa daya cinta itu bisa mengatasi segala kepekatan hidup. Mereka pun sungguh yakin bahwa dunia ini sebenarnya adalah milik cinta. Karena itu, mereka terus mengajarkan dan memperagakan dalam hidup mereka bahwa cinta adalah inti terdalam dari hidup manusia.
Politik dan cinta
Politik dan cinta sering kali sulit diakurkan atau disandingkan dalam sebuah pembicaraan. Seolah-olah cinta dan politik itu lahir dari dunia yang berbeda. Oposisi biner sering kali dilekatkan pada keduanya dengan mengatakan bahwa politik itu jahat dan cinta itu kudus.
Sebuah oposisi yang sungguh menyesatkan dan menjebak manusia. Sejatinya politik itu lahir dari rahim cinta, rahim yang mau membangun dan menata hidup manusia sehingga segala kejahatan yang membawa derita dijauhkan dari hidup manusia. Buah cinta adalah kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan.
Pertanyaan bisa dilontarkan dalam konteks ini: sejauh mana politik menjangkarkan dirinya pada cinta? Sangat ironis kalau kita mengatakan bahwa kehidupan politik itu dipandu oleh cinta kendati memang seharusnya begitu. Ironisme ini muncul karena kita terlalu sering dihadapkan pada persoalan-persoalan politik yang mengapkir cinta dari dirinya. Bahkan sering kali politik merasa tabu untuk membicarakan cinta. Hal ini bisa dibuktikan lewat berbagai kasus korupsi dan segala kejahatan politik yang merebak seperti di negara kita ini.
Berbagai usaha untuk memenangkan cinta dalam dunia politik sering kali sama saja dengan menggedor-gedor pintu batu karang. Saya tidak sedang membangun pesimisme dalam hidup berpolitik, tetapi saya hanya mau mengatakan bahwa cinta sudah terlalu banyak kalah dalam dunia politik di Indonesia.
Pemahaman Erich Fromm tentang cinta kiranya jadi suluh bagi dunia politik. Bahwa, ”Cinta itu sebagai sebuah seni. Sebagai seni, cinta butuh pengetahuan dan latihan. Cinta adalah suatu kegiatan, bukan merupakan pengaruh yang pasif. Salah satu esensi dari cinta adalah adanya kreativitas dalam diri seseorang, terutama dalam aspek memberi, bukan hanya menerima.”
Agama dan hidup sosial
Berbeda dengan ”cinta dan politik” yang sering dioposisikan, ”cinta dan agama” selalu di- sandingkan. Asumsi dasarnya, agama tidak pernah melepaskan diri dari ajaran cinta. Pemahaman demikian sangat benar, tetapi harus dipahami juga bahwa cinta bukan hanya milik agama.
Ibu Teresa dan Mahatma Gandhi mengakarkan cinta mereka dalam tradisi agama masing-masing. Mereka mementingkan pencarian kebenaran serta secara sungguh-sungguh menghormati kehidupan dan berusaha memenangkan cinta dalam segala pencarian itu. Mereka meredam segala dorongan hawa nafsu yang picik dan egois yang mengor- bankan orang lain dengan segala kepentingannya. Justru sebaliknya, mereka bersedia mengor- bankan segala-galanya untuk memenangkan cinta.
Berger (1976) dalam refleksi religiusnya mengatakan, agama hendaknya membentuk kognisi masyarakat dan menjadi pedoman yang memberi arah bagi pola tingkah laku dan corak sosial. Berger sebenarnya mau membidik bagaimana agama itu memijakkan dirinya pada realitas sosial, pada realitas untuk menggapai kehidupan yang akan datang. Dengan demikian, agama tak mungkin melepaskan diri dari tanggung jawab sosial.
Agama dalam praktiknya selalu meniscayakan adanya tanggung jawab sosial. Sebab, kalau tidak, ia akan jatuh pada praktik pemujaan (cult) semata. Kalau agama tanpa tanggung jawab sosial, lalu apa arti dan sumbangan agama bagi peradaban sosial? Kalau agama menafikan tanggung jawab sosial, lalu untuk apa manusia beragama? Agama tidak cukup hanya menyibukkan diri dengan kekhusyukannya dengan orientasi pada keselamatan yang akan datang. Hakikat agama pada dirinya sendiri berdimensi humanis dan ilahi.
Mahatma Gandhi pada akhir sebuah ceramah politiknya mengatakan, ”Bagi saya, Tuhan dan kebenaran cinta merupakan istilah yang dapat digantikan satu dengan yang lain. Jika ada yang mengatakan bahwa Tuhan adalah Tuhan yang tidak cinta atau tidak benar atau yang menyiksa, saya tidak akan sudi mengabdi kepada-Nya. Oleh sebab itu, dalam politik, kita juga harus membangun kerajaan surgawi.”
Ini adalah kata-kata Mahatma Gandhi yang pada pokoknya mau memenangkan cinta dalam hidup manusia. Kita diajak oleh Mahatma Gandhi dan Ibu Teresa untuk berjuang memenangkan cinta dalam hidup kita.
Dony Kleden Rohaniwan
Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2011/03/04/04504889/memenangkan.cinta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya