Oleh: Syamsuddin Haris
Hiruk-pikuk tuntutan para petinggi Partai Demokrat agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghukum Partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera berakhir sudah. SBY tampaknya lebih memilih mempertahankan Golkar dan PKS tetap berada dalam pangkuan koalisi ketimbang memenuhi tuntutan itu. Mengapa?
Sinyal terakhir Presiden SBY yang disampaikan dalam rapat kabinet terbatas, pekan lalu, mengisyaratkan hal itu. Presiden menegaskan, tidak ada perombakan kabinet dalam waktu dekat.
Itu artinya, tidak ada perubahan formasi Sekretariat Gabungan Parpol Koalisi Pendukung Pemerintah seperti dikehendaki para petinggi PD. Kendati diwarnai riak-riak konflik akibat ”kenakalan” Golkar dan PKS, Presiden SBY memilih mempertahankan pasangan lama ketimbang mencari mitra politik baru yang ”kesetiaannya” belum teruji pula.
Pengalaman Kabinet Indonesia Bersatu I (2004-2009) memperlihatkan, betapapun Presiden SBY hampir selalu diganggu oleh manuver Golkar dan PKS melalui hak interpelasi dan hak angket, hal itu tidak mengurangi komitmen dua parpol tersebut untuk mendukung SBY menyelesaikan masa baktinya.
Menjelang Pemilu 2009, Golkar yang mencalonkan pasangan Jusuf Kalla-Wiranto memang sempat ”patah arang” dengan PD dan SBY, tetapi kemudian bergabung kembali ke dalam koalisi parpol pendukung SBY. Di sisi lain, meski sempat kecewa karena kadernya belum dipercaya sebagai calon wakil presiden oleh SBY, relasi PKS-SBY kembali harmonis ketika PKS memperoleh empat kursi menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu II (2009-2014).
Problem Demokrat
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kemarahan para petinggi PD terkait ulah Golkar dan PKS yang mengambil sikap berlawanan dengan Setgab Koalisi dalam pengajuan hak angket pajak di DPR. Apalagi, ini merupakan perlawanan kedua Golkar dan PKS di DPR setelah angket skandal Bank Century pada awal 2010.
Karena itu, wajar saja jika mereka meminta Presiden SBY mengeluarkan kedua parpol itu dari koalisi sekaligus mencopot para menteri dari Golkar dan PKS.
Meski demikian, para petinggi PD yang marah, kecewa, dan geram itu melupakan tiga hal. Pertama, kontrak koalisi berlangsung antara pimpinan parpol dan SBY sebagai presiden terpilih Pemilu 2009. Dalam kaitan ini, meskipun PD merupakan basis politik SBY, ia berkedudukan setara dengan lima parpol lain yang akhirnya tergabung dalam Setgab Koalisi. Konsekuensi logisnya, SBY lebih ”berhak” menilai komitmen dan loyalitas parpol anggota koalisi daripada para petinggi PD lain.
Kedua, sulit dimungkiri bahwa SBY yang meraih sekitar 60,8 persen suara dalam Pemilu Presiden 2009 memiliki legitimasi politik yang jauh lebih besar dibandingkan dengan PD yang hanya meraih sekitar 26,5 persen kursi DPR. Apalagi, faktor penting kemenangan PD dalam pemilu legislatif yang lalu lebih karena popularitas SBY sebagai figur sentral partai ini ketimbang, misalnya, kemampuan mesin partai dalam memobilisasi dukungan. Itu artinya, sikap politik petinggi PD belum tentu merupakan representasi sikap politik SBY. Sebaliknya, sikap politik SBY hampir pasti menjadi sikap politik PD.
Ketiga, Presiden SBY sangat sadar akan posisinya sebagai figur sentral partai sekaligus pemimpin koalisi. Kesadaran itulah yang menjelaskan mengapa SBY harus tampak ”marah besar” terhadap mitra koalisi kendati itu tidak berarti SBY hendak memenuhi tuntutan politik para petinggi PD lain. Strategi ini diperlukan SBY agar tidak tampak didikte secara internal sekaligus untuk memberi ruang bagi dirinya untuk bernegosiasi kembali dengan parpol mitra koalisi secara eksternal.
Politik SBY
Bagi Presiden SBY, membangun kemitraan baru dengan parpol calon anggota koalisi yang baru tidaklah sesederhana yang dibayangkan para petinggi PD yang lain. Bisa saja SBY, baik secara langsung maupun melalui para utusannya, terus menjalin kontak dengan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri dan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo.
Namun, belum tentu ada ”setrum politik” di balik komunikasi yang dikatakan sering terjalin tersebut. Tidak ada jaminan PDI-P dan Gerindra lebih setia dalam mengamankan SBY hingga Pemilu 2014.
Penjajakan atas mitra baru koalisi tampaknya diperlukan SBY untuk menguji komitmen dan loyalitas mitra lama, Golkar dan PKS, apakah benar-benar hendak keluar dan meninggalkan koalisi atau ingin bertahan di dalamnya.
Ketika para petinggi Golkar dan PKS secara publik menyatakan ingin bertahan dalam Setgab Koalisi, betapapun dilakukan penataan ulang atasnya, SBY tentu memilih untuk mempertahankan dua parpol ”nakal” tersebut ketimbang mencoba mitra baru, yang memerlukan negosiasi baru dan komitmen baru pula.
Tampaknya cara berpikir seperti inilah yang tidak diperhitungkan para petinggi PD sehingga kini mereka bungkam seribu bahasa ketika Presiden SBY menegaskan tidak ada perombakan kabinet dalam waktu dekat. Artinya, tidak ada perubahan formasi koalisi seperti diinginkan para ”dayang” SBY di internal PD.
Jadi, problem terbesar PD saat ini adalah fakta bahwa parpol ini lebih merupakan personifikasi sosok SBY daripada persekutuan ide tentang perubahan bagi bangsa kita, seperti sering didengungkan selama ini. Para petinggi PD boleh saja marah, kecewa, dan geram atas perilaku Golkar dan PKS, tetapi dua parpol bandel ini tetap diperlukan SBY untuk mengamankan pemerintahannya hingga 2014.
Semua ini tak hanya menggarisbawahi begitu lebarnya kesenjangan kepemimpinan internal PD. Lebih jauh lagi, hal ini menggambarkan dominannya kepemimpinan personal di tengah kebutuhan bangsa kita akan melembaganya kepemimpinan institusional. Soalnya, kegagalan parpol dan negara lazimnya bermula ketika kepemimpinan dan kekuasaan politik semakin personal.
Syamsuddin Haris Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI
Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2011/03/16/03081752/partai.demokrat.dan.politik.sby
Hiruk-pikuk tuntutan para petinggi Partai Demokrat agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghukum Partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera berakhir sudah. SBY tampaknya lebih memilih mempertahankan Golkar dan PKS tetap berada dalam pangkuan koalisi ketimbang memenuhi tuntutan itu. Mengapa?
Sinyal terakhir Presiden SBY yang disampaikan dalam rapat kabinet terbatas, pekan lalu, mengisyaratkan hal itu. Presiden menegaskan, tidak ada perombakan kabinet dalam waktu dekat.
Itu artinya, tidak ada perubahan formasi Sekretariat Gabungan Parpol Koalisi Pendukung Pemerintah seperti dikehendaki para petinggi PD. Kendati diwarnai riak-riak konflik akibat ”kenakalan” Golkar dan PKS, Presiden SBY memilih mempertahankan pasangan lama ketimbang mencari mitra politik baru yang ”kesetiaannya” belum teruji pula.
Pengalaman Kabinet Indonesia Bersatu I (2004-2009) memperlihatkan, betapapun Presiden SBY hampir selalu diganggu oleh manuver Golkar dan PKS melalui hak interpelasi dan hak angket, hal itu tidak mengurangi komitmen dua parpol tersebut untuk mendukung SBY menyelesaikan masa baktinya.
Menjelang Pemilu 2009, Golkar yang mencalonkan pasangan Jusuf Kalla-Wiranto memang sempat ”patah arang” dengan PD dan SBY, tetapi kemudian bergabung kembali ke dalam koalisi parpol pendukung SBY. Di sisi lain, meski sempat kecewa karena kadernya belum dipercaya sebagai calon wakil presiden oleh SBY, relasi PKS-SBY kembali harmonis ketika PKS memperoleh empat kursi menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu II (2009-2014).
Problem Demokrat
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kemarahan para petinggi PD terkait ulah Golkar dan PKS yang mengambil sikap berlawanan dengan Setgab Koalisi dalam pengajuan hak angket pajak di DPR. Apalagi, ini merupakan perlawanan kedua Golkar dan PKS di DPR setelah angket skandal Bank Century pada awal 2010.
Karena itu, wajar saja jika mereka meminta Presiden SBY mengeluarkan kedua parpol itu dari koalisi sekaligus mencopot para menteri dari Golkar dan PKS.
Meski demikian, para petinggi PD yang marah, kecewa, dan geram itu melupakan tiga hal. Pertama, kontrak koalisi berlangsung antara pimpinan parpol dan SBY sebagai presiden terpilih Pemilu 2009. Dalam kaitan ini, meskipun PD merupakan basis politik SBY, ia berkedudukan setara dengan lima parpol lain yang akhirnya tergabung dalam Setgab Koalisi. Konsekuensi logisnya, SBY lebih ”berhak” menilai komitmen dan loyalitas parpol anggota koalisi daripada para petinggi PD lain.
Kedua, sulit dimungkiri bahwa SBY yang meraih sekitar 60,8 persen suara dalam Pemilu Presiden 2009 memiliki legitimasi politik yang jauh lebih besar dibandingkan dengan PD yang hanya meraih sekitar 26,5 persen kursi DPR. Apalagi, faktor penting kemenangan PD dalam pemilu legislatif yang lalu lebih karena popularitas SBY sebagai figur sentral partai ini ketimbang, misalnya, kemampuan mesin partai dalam memobilisasi dukungan. Itu artinya, sikap politik petinggi PD belum tentu merupakan representasi sikap politik SBY. Sebaliknya, sikap politik SBY hampir pasti menjadi sikap politik PD.
Ketiga, Presiden SBY sangat sadar akan posisinya sebagai figur sentral partai sekaligus pemimpin koalisi. Kesadaran itulah yang menjelaskan mengapa SBY harus tampak ”marah besar” terhadap mitra koalisi kendati itu tidak berarti SBY hendak memenuhi tuntutan politik para petinggi PD lain. Strategi ini diperlukan SBY agar tidak tampak didikte secara internal sekaligus untuk memberi ruang bagi dirinya untuk bernegosiasi kembali dengan parpol mitra koalisi secara eksternal.
Politik SBY
Bagi Presiden SBY, membangun kemitraan baru dengan parpol calon anggota koalisi yang baru tidaklah sesederhana yang dibayangkan para petinggi PD yang lain. Bisa saja SBY, baik secara langsung maupun melalui para utusannya, terus menjalin kontak dengan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri dan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo.
Namun, belum tentu ada ”setrum politik” di balik komunikasi yang dikatakan sering terjalin tersebut. Tidak ada jaminan PDI-P dan Gerindra lebih setia dalam mengamankan SBY hingga Pemilu 2014.
Penjajakan atas mitra baru koalisi tampaknya diperlukan SBY untuk menguji komitmen dan loyalitas mitra lama, Golkar dan PKS, apakah benar-benar hendak keluar dan meninggalkan koalisi atau ingin bertahan di dalamnya.
Ketika para petinggi Golkar dan PKS secara publik menyatakan ingin bertahan dalam Setgab Koalisi, betapapun dilakukan penataan ulang atasnya, SBY tentu memilih untuk mempertahankan dua parpol ”nakal” tersebut ketimbang mencoba mitra baru, yang memerlukan negosiasi baru dan komitmen baru pula.
Tampaknya cara berpikir seperti inilah yang tidak diperhitungkan para petinggi PD sehingga kini mereka bungkam seribu bahasa ketika Presiden SBY menegaskan tidak ada perombakan kabinet dalam waktu dekat. Artinya, tidak ada perubahan formasi koalisi seperti diinginkan para ”dayang” SBY di internal PD.
Jadi, problem terbesar PD saat ini adalah fakta bahwa parpol ini lebih merupakan personifikasi sosok SBY daripada persekutuan ide tentang perubahan bagi bangsa kita, seperti sering didengungkan selama ini. Para petinggi PD boleh saja marah, kecewa, dan geram atas perilaku Golkar dan PKS, tetapi dua parpol bandel ini tetap diperlukan SBY untuk mengamankan pemerintahannya hingga 2014.
Semua ini tak hanya menggarisbawahi begitu lebarnya kesenjangan kepemimpinan internal PD. Lebih jauh lagi, hal ini menggambarkan dominannya kepemimpinan personal di tengah kebutuhan bangsa kita akan melembaganya kepemimpinan institusional. Soalnya, kegagalan parpol dan negara lazimnya bermula ketika kepemimpinan dan kekuasaan politik semakin personal.
Syamsuddin Haris Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI
Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2011/03/16/03081752/partai.demokrat.dan.politik.sby
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya