Oleh: Abdul Hakim Garuda Nusantara
Amandemen kedua UUD 1945 mencantumkan suatu daftar panjang hak asasi manusia. Sejak itu HAM tidak lagi semata-mata hak yang dituntut atas dasar moral atau undang-undang, tetapi juga merupakan hak konstitusional yang wajib dihormati oleh otoritas negara: pemerintah, DPR, dan badan peradilan.
Otoritas negara diwajibkan pula memenuhi kewajibannya di bawah berbagai kovenan internasional yang diratifikasi oleh DPR, antara lain kovenan internasional hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, serta kovenan internasional hak-hak sipil dan politik. Selain itu, otoritas negara diwajibkan pula memajukan dan melindungi HAM sebagaimana tertuang dalam UU HAM.
Semua produk hukum HAM itu merupakan legitimasi hukum dan politik bagi bekerjanya sistem pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Hukum HAM mewajibkan otoritas negara melindungi hak dan kebebasan dasar tersebut. Pertanyaannya, apakah kewajiban itu bersifat mutlak atau relatif?
Kewajiban mutlak berarti tak ada ruang bagi otoritas negara untuk menawar kecuali menjalankan kewajiban melindungi HAM. Kewajiban relatif berarti (atas pertimbangan politik, sosial, ekonomi, budaya, khususnya kesejahteraan publik), otoritas negara punya diskresi mengatur pelaksanaan HAM yang dapat berakibat pada pembatasan, bahkan pelanggaran HAM. Dalam konteks kewajiban relatif otoritas negara untuk melindungi HAM itulah, kita membahas doktrin margin apresiasi HAM.
Kasus di Eropa
Ajaran margin apresiasi ditemukan dalam yurisprudensi hukum administrasi Conseil d’etat di Perancis, marge d’appreciation, yang kemudian diadopsi oleh Pengadilan HAM Eropa di Strasbourg. Doktrin margin apresiasi sesungguhnya didasarkan pada suatu paham bahwa setiap masyarakat berhak atas suatu ruang gerak untuk menyeimbangkan hak-hak individu dan kepentingan nasionalnya, serta menyelesaikan perselisihan yang muncul sebagai akibat adanya keyakinan moral yang berbeda (Onder Bakircioglu, 2007: 712).
Dalam hal itu, ajaran margin apresiasi serupa dengan konsep diskresi yudisial: hakim dihadapkan pada keterbatasan undang-undang, preseden, atau kebiasaan untuk dapat memutuskan suatu perkara dalam jajaran solusi yang mungkin. Di situ peran diskresi sangat diperlukan tidak hanya untuk menjembatani jurang antara hukum dan perubahan realitas sosial, tetapi juga menjawab masalah khusus perkara yang sedang diperiksa sehubungan dengan tiadanya preseden atau UU yang memadai.
Untuk kali pertama istilah ”margin apresiasi” dijelaskan oleh Pengadilan HAM Eropa dalam kasus Irlandia versus Kerajaan Inggris. Pengadilan menyatakan otoritas nasional berada dalam posisi lebih baik daripada hakim internasional untuk menetapkan dua hal: adanya darurat publik yang mengancam kehidupan bangsa, dan sifat serta cakupan pengesampingan HAM yang diperlukan untuk mengatasinya.
Dalam kasus Hertzberg et al versus Finlandia, ketika pemerintah melarang acara televisi yang berkaitan dengan homoseksualitas, atas alasan untuk melindungi moral publik, Komite HAM PBB menyatakan bahwa pertama, moral publik sangat beragam. Tidak ada standar bersama yang bisa secara universal diterapkan. Akibatnya, berkaitan dengan perkara ini, suatu margin diskresi tertentu harus diberikan kepada otoritas nasional yang berwenang (Mashood A Baderin, 2007: 240).
Dengan demikian, dalam perspektif HAM internasional, margin apresiasi HAM merupakan garis batas di mana pengawasan internasional harus mengalah kepada pertimbangan negara-pihak dalam merancang atau menegakkan hukumnya. Dalam konteks domestik, margin apresiasi merupakan batas legitimasi bagi otoritas negara membuat kebijakan yang membawa akibat mengurangi atau membatasi HAM.
Kalau begitu, apa kriteria yang menentukan cakupan margin apresiasi HAM? Dalam situasi seperti apa negara diberikan margin apresiasi luas atau margin apresiasi sempit? Memang tidak mudah menetapkan cakupan aplikasi margin apresiasi HAM?
Pengalaman Pengadilan HAM Eropa menunjukkan bahwa dalam kasus tidak ditemukan adanya standar bersama berkenaan dengan masalah tertentu, misalnya konsep moral publik di antara negara-pihak, negara akan diberikan margin apresiasi yang lebih besar untuk membatasi HAM.
Namun, dalam kasus negara-negara pihak mempunyai standar bersama, misalnya perlindungan hak atas kebebasan berekspresi sebagai sesuatu yang vital bagi demokrasi, negara akan diberikan margin apresiasi yang sempit untuk membatasi hak tersebut.
Penerapan di Indonesia
UUD 1945 secara implisit menganut ajaran margin apresiasi HAM. Pasal 28 J (2) UUD 1945 menyatakan, ”Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan UU dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Pasal ini membawa konsekuensi diterapkannya margin apresiasi HAM: demi kepentingan umum, otoritas negara diberikan diskresi untuk mengesampingkan atau membatasi HAM.
Berdasarkan UUD 1945, untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, margin apresiasi HAM harus dijalankan dalam koridor konstitusi, yaitu (i) pembatasan HAM harus ditetapkan dengan UU, (ii) semata-mata guna menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, (iii) dengan mempertimbangkan moral, nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis, dan (iv) tidak mengesampingkan HAM yang bersifat non-derogable sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28 I (1) UUD 1945.
Pihak-pihak yang menduga adanya penyalahgunaan margin apresiasi HAM oleh otoritas negara, misalnya dalam kasus adanya pasal dalam undang-undang yang mengandung pembatasan atau pelanggaran HAM, dapat mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi. Penerapan margin apresiasi HAM dalam peraturan perundang-undangan dapat dimintakan suatu peninjauan oleh pihak yang dirugikan kepada Mahkamah Agung.
Di sinilah pentingnya Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung serta masyarakat luas untuk mengawasi aplikasi margin apresiasi oleh otoritas negara sehingga penyalahgunaannya dapat dihindarkan.
Abdul Hakim Garuda Nusantara Ketua Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia Kurun 2002-2007
Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2011/03/08/04052481/margin.apresiasi.ham
Amandemen kedua UUD 1945 mencantumkan suatu daftar panjang hak asasi manusia. Sejak itu HAM tidak lagi semata-mata hak yang dituntut atas dasar moral atau undang-undang, tetapi juga merupakan hak konstitusional yang wajib dihormati oleh otoritas negara: pemerintah, DPR, dan badan peradilan.
Otoritas negara diwajibkan pula memenuhi kewajibannya di bawah berbagai kovenan internasional yang diratifikasi oleh DPR, antara lain kovenan internasional hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, serta kovenan internasional hak-hak sipil dan politik. Selain itu, otoritas negara diwajibkan pula memajukan dan melindungi HAM sebagaimana tertuang dalam UU HAM.
Semua produk hukum HAM itu merupakan legitimasi hukum dan politik bagi bekerjanya sistem pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Hukum HAM mewajibkan otoritas negara melindungi hak dan kebebasan dasar tersebut. Pertanyaannya, apakah kewajiban itu bersifat mutlak atau relatif?
Kewajiban mutlak berarti tak ada ruang bagi otoritas negara untuk menawar kecuali menjalankan kewajiban melindungi HAM. Kewajiban relatif berarti (atas pertimbangan politik, sosial, ekonomi, budaya, khususnya kesejahteraan publik), otoritas negara punya diskresi mengatur pelaksanaan HAM yang dapat berakibat pada pembatasan, bahkan pelanggaran HAM. Dalam konteks kewajiban relatif otoritas negara untuk melindungi HAM itulah, kita membahas doktrin margin apresiasi HAM.
Kasus di Eropa
Ajaran margin apresiasi ditemukan dalam yurisprudensi hukum administrasi Conseil d’etat di Perancis, marge d’appreciation, yang kemudian diadopsi oleh Pengadilan HAM Eropa di Strasbourg. Doktrin margin apresiasi sesungguhnya didasarkan pada suatu paham bahwa setiap masyarakat berhak atas suatu ruang gerak untuk menyeimbangkan hak-hak individu dan kepentingan nasionalnya, serta menyelesaikan perselisihan yang muncul sebagai akibat adanya keyakinan moral yang berbeda (Onder Bakircioglu, 2007: 712).
Dalam hal itu, ajaran margin apresiasi serupa dengan konsep diskresi yudisial: hakim dihadapkan pada keterbatasan undang-undang, preseden, atau kebiasaan untuk dapat memutuskan suatu perkara dalam jajaran solusi yang mungkin. Di situ peran diskresi sangat diperlukan tidak hanya untuk menjembatani jurang antara hukum dan perubahan realitas sosial, tetapi juga menjawab masalah khusus perkara yang sedang diperiksa sehubungan dengan tiadanya preseden atau UU yang memadai.
Untuk kali pertama istilah ”margin apresiasi” dijelaskan oleh Pengadilan HAM Eropa dalam kasus Irlandia versus Kerajaan Inggris. Pengadilan menyatakan otoritas nasional berada dalam posisi lebih baik daripada hakim internasional untuk menetapkan dua hal: adanya darurat publik yang mengancam kehidupan bangsa, dan sifat serta cakupan pengesampingan HAM yang diperlukan untuk mengatasinya.
Dalam kasus Hertzberg et al versus Finlandia, ketika pemerintah melarang acara televisi yang berkaitan dengan homoseksualitas, atas alasan untuk melindungi moral publik, Komite HAM PBB menyatakan bahwa pertama, moral publik sangat beragam. Tidak ada standar bersama yang bisa secara universal diterapkan. Akibatnya, berkaitan dengan perkara ini, suatu margin diskresi tertentu harus diberikan kepada otoritas nasional yang berwenang (Mashood A Baderin, 2007: 240).
Dengan demikian, dalam perspektif HAM internasional, margin apresiasi HAM merupakan garis batas di mana pengawasan internasional harus mengalah kepada pertimbangan negara-pihak dalam merancang atau menegakkan hukumnya. Dalam konteks domestik, margin apresiasi merupakan batas legitimasi bagi otoritas negara membuat kebijakan yang membawa akibat mengurangi atau membatasi HAM.
Kalau begitu, apa kriteria yang menentukan cakupan margin apresiasi HAM? Dalam situasi seperti apa negara diberikan margin apresiasi luas atau margin apresiasi sempit? Memang tidak mudah menetapkan cakupan aplikasi margin apresiasi HAM?
Pengalaman Pengadilan HAM Eropa menunjukkan bahwa dalam kasus tidak ditemukan adanya standar bersama berkenaan dengan masalah tertentu, misalnya konsep moral publik di antara negara-pihak, negara akan diberikan margin apresiasi yang lebih besar untuk membatasi HAM.
Namun, dalam kasus negara-negara pihak mempunyai standar bersama, misalnya perlindungan hak atas kebebasan berekspresi sebagai sesuatu yang vital bagi demokrasi, negara akan diberikan margin apresiasi yang sempit untuk membatasi hak tersebut.
Penerapan di Indonesia
UUD 1945 secara implisit menganut ajaran margin apresiasi HAM. Pasal 28 J (2) UUD 1945 menyatakan, ”Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan UU dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Pasal ini membawa konsekuensi diterapkannya margin apresiasi HAM: demi kepentingan umum, otoritas negara diberikan diskresi untuk mengesampingkan atau membatasi HAM.
Berdasarkan UUD 1945, untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, margin apresiasi HAM harus dijalankan dalam koridor konstitusi, yaitu (i) pembatasan HAM harus ditetapkan dengan UU, (ii) semata-mata guna menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, (iii) dengan mempertimbangkan moral, nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis, dan (iv) tidak mengesampingkan HAM yang bersifat non-derogable sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28 I (1) UUD 1945.
Pihak-pihak yang menduga adanya penyalahgunaan margin apresiasi HAM oleh otoritas negara, misalnya dalam kasus adanya pasal dalam undang-undang yang mengandung pembatasan atau pelanggaran HAM, dapat mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi. Penerapan margin apresiasi HAM dalam peraturan perundang-undangan dapat dimintakan suatu peninjauan oleh pihak yang dirugikan kepada Mahkamah Agung.
Di sinilah pentingnya Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung serta masyarakat luas untuk mengawasi aplikasi margin apresiasi oleh otoritas negara sehingga penyalahgunaannya dapat dihindarkan.
Abdul Hakim Garuda Nusantara Ketua Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia Kurun 2002-2007
Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2011/03/08/04052481/margin.apresiasi.ham
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya