Oleh: Nengah Sudja
Hati tergelitik baca berita koran ini, 1 Maret lalu, tentang Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) yang menyiapkan Rp 159 miliar untuk studi kelayakan pembangunan PLTN di Provinsi Bangka Belitung.
Rencana itu patut diberi tanggapan terbuka. Beberapa teman bertanya: apa dasar membangun PLTN di pulau terpencil yang jauh dari pusat beban listrik di Jawa dan Sumatera? Beban listrik Babel 2010 hanya 90 megawatt (MW). Dengan prakiraan pertumbuhan 10 persen per tahun, dalam 20 tahun kebutuhan provinsi penghasil timah itu hanya 605 MW.
Berdasarkan standar yang dipakai di banyak negara, PLTN baru ekonomis dibangun dengan daya 1.000 MW atau 1 gigawatt (GW). Batan menjanjikan listrik murah bila PLTN berdiri di Babel. Kelebihan listrik bisa disalurkan ke Jawa dan Sumatera. Jika PLTN berdiri, Babel akan jadi lumbung listrik nasional.
Pembangunan PLTN di dunia dimulai pada 1954 disertai optimisme menghasilkan listrik amat murah. Kurun 1960-1989 PLTN tumbuh pesat: 424 reaktor dengan daya 322 GW. Selama 1990-2009 pertumbuhan turun.
Pada 2009 jumlah reaktor 436 unit dengan daya 370 GW. Pemilik terbesar PLTN adalah AS: 104 unit dengan daya 100,7 GW dan memenuhi 19,7 persen kebutuhan listrik. Sejak 1973 tak ada pesanan PLTN baru. Di Eropa, sejak 1991 tak ada pesanan baru. Pembangunan PLTN kembali dimulai di Finlandia (2005), dilanjutkan di Perancis (2006).
Kemunduran
Sebab utama kemunduran, antara lain, peningkatan biaya pembangunan, tak ada kepastian jadwal penyelesaian proyek, biaya penonaktifan pembangkit setelah masa operasi selesai, penyimpanan limbah, keselamatan reaktor, penyebaran senjata nuklir, dan penerimaan masyarakat. Austria, Belgia, Denmark, Jerman, dan Spanyol, misalnya, mulai menghentikan, bahkan melarang, pembangunan PLTN.
Sebaliknya, Malaysia, Vietnam, dan Turki mulai merencanakan pembangunannya. Biaya yang dikeluarkan cukup besar. Korsel mengeluarkan 20,4 miliar dollar AS untuk membangun empat PLTN, masing-masing 1.400 MW, belum termasuk biaya persiapan lokasi, pengawasan pembangunan, dan bunga selama pembangunan.
PLTN pertama Indonesia dirancang 1980-1990-an di Tanjung Muria, Jawa Tengah. Targetnya memenuhi kebutuhan listrik Jawa. Rancangan menghabiskan dana negara sampai 20 juta dollar AS. Muria dipilih karena tingkat gempa dan kepadatan penduduk relatif rendah. Namun, pemilihan Muria ditolak keras penduduk setempat. Setelah isu penolakan PLTN redup, tiba-tiba pilihan lokasi dialihkan ke Babel.
Pilihan tapak lokasi adalah salah satu syarat membangun PLTN selain aspek tak kalah penting: beban daya listrik. Dengan beban listrik di Babel yang rendah, muncul ide menyalurkan lebih banyak daya ke Sumatera dan Jawa. Dari segi biaya dan harga jual listrik, menyalurkan listrik dari PLTN di Babel ke Sumatera jelas tak ekonomis. Harga listrik dari PLTN Babel tak akan dapat bersaing dengan listrik hasil pembangkit listrik tenaga uap yang dibangun di mulut tambang batu bara di Sumatera. PLTU mulut tambang lebih mangkus karena lokasi lebih dekat ke pusat beban dan sistem jaringan tegangan tinggi PLN.
Penyaluran listrik dari Bangka ke Jawa sudah pasti jadi lebih mahal. Perlu dibangun jaringan kabel listrik bawah laut arus searah sejauh 250 kilometer dengan biaya 2 miliar dollar AS hingga 3 miliar dollar AS.
UU No 10/1997 tentang Ketenaganukliran membatasi tugas badan pelaksana (Batan) pada penelitian kesehatan, pertanian, industri, termasuk bahan bakar nuklir. Ihwal reaktor nuklir komersial, Pasal 13 Ayat (3), menyebutkan, pembangunan, pengoperasian, dan peniraktifan reaktor nuklir komersial dilaksanakan oleh BUMN, koperasi, dan atau badan swasta.
Pemilihan lokasi dan studi tapak untuk membangun PLTN dengan reaktor komersial bukan wewenang Batan, melainkan investor PLTN dengan perizinan dan pengawasan badan pengawas (Bapeten). Putusan pemberian dana Rp 159 miliar kepada Batan untuk studi kelayakan membangun PLTN tergolong pelanggaran UU.
Dana itu lebih pantas dialokasikan bagi kegiatan lebih mendesak: perluasan listrik desa, pengembangan sumber daya dalam negeri, atau biaya eksplorasi panas bumi. Banyak terobosan kebijakan lain di sektor kelistrikan yang lebih propertumbuhan dan prolingkungan ketimbang membangun PLTN yang mahal, berteknologi kompleks, dan sebagian besar dengan alat impor.
Nengah Sudja Mantan Sekretaris Komisi Persiapan Pembangunan PLTN
Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2011/03/15/03100983/batan.dan.logika.pltn
Hati tergelitik baca berita koran ini, 1 Maret lalu, tentang Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) yang menyiapkan Rp 159 miliar untuk studi kelayakan pembangunan PLTN di Provinsi Bangka Belitung.
Rencana itu patut diberi tanggapan terbuka. Beberapa teman bertanya: apa dasar membangun PLTN di pulau terpencil yang jauh dari pusat beban listrik di Jawa dan Sumatera? Beban listrik Babel 2010 hanya 90 megawatt (MW). Dengan prakiraan pertumbuhan 10 persen per tahun, dalam 20 tahun kebutuhan provinsi penghasil timah itu hanya 605 MW.
Berdasarkan standar yang dipakai di banyak negara, PLTN baru ekonomis dibangun dengan daya 1.000 MW atau 1 gigawatt (GW). Batan menjanjikan listrik murah bila PLTN berdiri di Babel. Kelebihan listrik bisa disalurkan ke Jawa dan Sumatera. Jika PLTN berdiri, Babel akan jadi lumbung listrik nasional.
Pembangunan PLTN di dunia dimulai pada 1954 disertai optimisme menghasilkan listrik amat murah. Kurun 1960-1989 PLTN tumbuh pesat: 424 reaktor dengan daya 322 GW. Selama 1990-2009 pertumbuhan turun.
Pada 2009 jumlah reaktor 436 unit dengan daya 370 GW. Pemilik terbesar PLTN adalah AS: 104 unit dengan daya 100,7 GW dan memenuhi 19,7 persen kebutuhan listrik. Sejak 1973 tak ada pesanan PLTN baru. Di Eropa, sejak 1991 tak ada pesanan baru. Pembangunan PLTN kembali dimulai di Finlandia (2005), dilanjutkan di Perancis (2006).
Kemunduran
Sebab utama kemunduran, antara lain, peningkatan biaya pembangunan, tak ada kepastian jadwal penyelesaian proyek, biaya penonaktifan pembangkit setelah masa operasi selesai, penyimpanan limbah, keselamatan reaktor, penyebaran senjata nuklir, dan penerimaan masyarakat. Austria, Belgia, Denmark, Jerman, dan Spanyol, misalnya, mulai menghentikan, bahkan melarang, pembangunan PLTN.
Sebaliknya, Malaysia, Vietnam, dan Turki mulai merencanakan pembangunannya. Biaya yang dikeluarkan cukup besar. Korsel mengeluarkan 20,4 miliar dollar AS untuk membangun empat PLTN, masing-masing 1.400 MW, belum termasuk biaya persiapan lokasi, pengawasan pembangunan, dan bunga selama pembangunan.
PLTN pertama Indonesia dirancang 1980-1990-an di Tanjung Muria, Jawa Tengah. Targetnya memenuhi kebutuhan listrik Jawa. Rancangan menghabiskan dana negara sampai 20 juta dollar AS. Muria dipilih karena tingkat gempa dan kepadatan penduduk relatif rendah. Namun, pemilihan Muria ditolak keras penduduk setempat. Setelah isu penolakan PLTN redup, tiba-tiba pilihan lokasi dialihkan ke Babel.
Pilihan tapak lokasi adalah salah satu syarat membangun PLTN selain aspek tak kalah penting: beban daya listrik. Dengan beban listrik di Babel yang rendah, muncul ide menyalurkan lebih banyak daya ke Sumatera dan Jawa. Dari segi biaya dan harga jual listrik, menyalurkan listrik dari PLTN di Babel ke Sumatera jelas tak ekonomis. Harga listrik dari PLTN Babel tak akan dapat bersaing dengan listrik hasil pembangkit listrik tenaga uap yang dibangun di mulut tambang batu bara di Sumatera. PLTU mulut tambang lebih mangkus karena lokasi lebih dekat ke pusat beban dan sistem jaringan tegangan tinggi PLN.
Penyaluran listrik dari Bangka ke Jawa sudah pasti jadi lebih mahal. Perlu dibangun jaringan kabel listrik bawah laut arus searah sejauh 250 kilometer dengan biaya 2 miliar dollar AS hingga 3 miliar dollar AS.
UU No 10/1997 tentang Ketenaganukliran membatasi tugas badan pelaksana (Batan) pada penelitian kesehatan, pertanian, industri, termasuk bahan bakar nuklir. Ihwal reaktor nuklir komersial, Pasal 13 Ayat (3), menyebutkan, pembangunan, pengoperasian, dan peniraktifan reaktor nuklir komersial dilaksanakan oleh BUMN, koperasi, dan atau badan swasta.
Pemilihan lokasi dan studi tapak untuk membangun PLTN dengan reaktor komersial bukan wewenang Batan, melainkan investor PLTN dengan perizinan dan pengawasan badan pengawas (Bapeten). Putusan pemberian dana Rp 159 miliar kepada Batan untuk studi kelayakan membangun PLTN tergolong pelanggaran UU.
Dana itu lebih pantas dialokasikan bagi kegiatan lebih mendesak: perluasan listrik desa, pengembangan sumber daya dalam negeri, atau biaya eksplorasi panas bumi. Banyak terobosan kebijakan lain di sektor kelistrikan yang lebih propertumbuhan dan prolingkungan ketimbang membangun PLTN yang mahal, berteknologi kompleks, dan sebagian besar dengan alat impor.
Nengah Sudja Mantan Sekretaris Komisi Persiapan Pembangunan PLTN
Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2011/03/15/03100983/batan.dan.logika.pltn
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya