Oleh: Idham Arsyad
Saat ini RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan tengah dibahas panitia khusus DPR. RUU ini merupakan inisiasi pemerintah dan telah lama disiapkan untuk mengatasi kendala perolehan tanah untuk pembangunan.
Selama ini pengadaan tanah untuk pembangunan diatur dalam Peraturan Presiden No 36/2005 juncto PP No 56/2006 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum. Juga ada UU No 20/1961 tentang Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda di Atasnya.
Penulis tak melihat urgensi dan relevansi RUU ini. Patutlah dicurigai RUU Pengadaan Tanah ini sebagai regulasi pesanan. Melihat substansinya, RUU ini lebih menguntungkan pengusaha daripada rakyat, khususnya yang terkena obyek pembangunan.
Substansi RUU ini juga menunjukkan sesat pikir dalam mengatasi problem pengadaan tanah bagi proyek pembangunan. Pertama, RUU ini tak menyebutkan pengertian dan kriteria kepentingan umum. Pengertian dan kriteria tegas akan melindungi pemilik tanah dari penafsiran sepihak penguasa mengenai makna kepentingan umum.
Dua kriteria
Wiradi (2009) mengemukakan, setidaknya ada dua kriteria kepentingan umum dalam pembangunan. Pertama, manfaat obyek pembangunan dapat diakses rakyat secara merata dan lintas batas segmen sosial. Kedua, obyek pembangunan bukan untuk komersial bisnis semata.
Namun, dalam Pasal 13 RUU, beberapa obyek yang disebut sebagai kepentingan umum tak tergolong dalam kriteria kepentingan umum karena aktornya bukan sepenuhnya pemerintah dan dikomersialkan, seperti jalan tol serta infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi.
Kedua, melegitimasi penggusuran tanah rakyat tanpa mekanisme perlindungan korban. RUU ini mensyaratkan kepemilikan dengan bukti sertifikat yang menjadi dasar ganti rugi. Padahal, sebagian besar tanah rakyat tak dilengkapi dengan dokumen hukum yang lengkap.
Bayangkan, sampai 2008 baru sekitar 39 juta dari 85 juta bidang tanah yang bersertifikat. Data ini belum termasuk tanah di kawasan hutan yang dikuasai masyarakat adat. Artinya, bila RUU diberlakukan, 60 persen rakyat akan digusur tanpa ganti rugi.
Ketiga, RUU ini menciptakan ketakadilan pemilikan dan kian tajamnya penguasaan tanah. Kepala Badan Pertanahan Nasional mengemukakan data, hanya 0,2 penduduk negeri ini yang menguasai 56 persen aset nasional yang 87 persen dalam bentuk tanah. Hasil survei Badan Pusat Statistik (2003) menyebutkan, 85 persen petani di Indonesia ialah petani gurem dan petani tak bertanah.
Gambaran semakin menyempitnya lahan bagi petani berbanding terbalik dengan lahan yang dikuasai pengusaha. Saat ini sekitar 29 juta hektar untuk usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, 7 juta hektar untuk pengusaha hutan tanaman industri, 2,4 juta hektar dikuasai Perhutani, dan 6 juta hektar dikuasai pengusaha perkebunan sawit. Jurang ketimpangan akan makin dalam karena RUU ini juga memfasilitasi pengusaha untuk memperoleh tanah dalam berbagai proyek pembangunan.
Keempat, RUU ini bakal hadir di tengah ketiadaan peta perencanaan penggunaan tanah nasional. Ketiadaan peta itu akan menyuburkan kompetisi dan konflik penggunaan ruang dengan tanah sebagai basis utamanya, baik untuk penggunaan ekonomi, politik, maupun pemerintahan, ekologi, cadangan strategis, dan bahkan pertahanan keamanan. Turunan dari persoalan ini mengakibatkan meledaknya konflik perampasan dan penggusuran tanah.
Struktur agraria
Diakui, kita menghadapi kompleksitas persoalan agraria. Dari segi kebijakan, tumpang tindih perundang-undangan dan sektoralisme pengurusan masalah tanah dan sumber daya alam antarsektor masih terjadi. Padahal, konsensus politik mengakhiri sektoralisme ini telah dicapai pada 2001 melalui TAP MPR No IX tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Kompleksitas persoalan agraria lain adalah sulitnya mewujudkan keadilan agraria bagi rakyat Indonesia, seperti dimandatkan Pasal 33 UUD 1945. Keadilan ini sulit mewujud karena kita mewarisi struktur agraria yang sangat timpang dari masa kolonial sampai pemerintahan Orde Baru. Namun, memasuki era reformasi, kita juga tidak melakukan perombakan mendasar.
Tugas sejarah kita adalah menata struktur agraria yang timpang melalui pelaksanaan reforma agraria, tidak justru membuat aturan yang menambah ruwet persoalan pertanahan dan menjauhkan negara memenuhi kewajiban konstitusionalnya.
Maka, pembahasan RUU ini sebaiknya ditunda sampai penataan struktur agraria dilakukan dengan mendorong pelaksanaan reforma agraria.
Idham Arsyad Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2011/03/18/03012199/sesat.pikir.ruu.pengadaan.tanah.
Saat ini RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan tengah dibahas panitia khusus DPR. RUU ini merupakan inisiasi pemerintah dan telah lama disiapkan untuk mengatasi kendala perolehan tanah untuk pembangunan.
Selama ini pengadaan tanah untuk pembangunan diatur dalam Peraturan Presiden No 36/2005 juncto PP No 56/2006 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum. Juga ada UU No 20/1961 tentang Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda di Atasnya.
Penulis tak melihat urgensi dan relevansi RUU ini. Patutlah dicurigai RUU Pengadaan Tanah ini sebagai regulasi pesanan. Melihat substansinya, RUU ini lebih menguntungkan pengusaha daripada rakyat, khususnya yang terkena obyek pembangunan.
Substansi RUU ini juga menunjukkan sesat pikir dalam mengatasi problem pengadaan tanah bagi proyek pembangunan. Pertama, RUU ini tak menyebutkan pengertian dan kriteria kepentingan umum. Pengertian dan kriteria tegas akan melindungi pemilik tanah dari penafsiran sepihak penguasa mengenai makna kepentingan umum.
Dua kriteria
Wiradi (2009) mengemukakan, setidaknya ada dua kriteria kepentingan umum dalam pembangunan. Pertama, manfaat obyek pembangunan dapat diakses rakyat secara merata dan lintas batas segmen sosial. Kedua, obyek pembangunan bukan untuk komersial bisnis semata.
Namun, dalam Pasal 13 RUU, beberapa obyek yang disebut sebagai kepentingan umum tak tergolong dalam kriteria kepentingan umum karena aktornya bukan sepenuhnya pemerintah dan dikomersialkan, seperti jalan tol serta infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi.
Kedua, melegitimasi penggusuran tanah rakyat tanpa mekanisme perlindungan korban. RUU ini mensyaratkan kepemilikan dengan bukti sertifikat yang menjadi dasar ganti rugi. Padahal, sebagian besar tanah rakyat tak dilengkapi dengan dokumen hukum yang lengkap.
Bayangkan, sampai 2008 baru sekitar 39 juta dari 85 juta bidang tanah yang bersertifikat. Data ini belum termasuk tanah di kawasan hutan yang dikuasai masyarakat adat. Artinya, bila RUU diberlakukan, 60 persen rakyat akan digusur tanpa ganti rugi.
Ketiga, RUU ini menciptakan ketakadilan pemilikan dan kian tajamnya penguasaan tanah. Kepala Badan Pertanahan Nasional mengemukakan data, hanya 0,2 penduduk negeri ini yang menguasai 56 persen aset nasional yang 87 persen dalam bentuk tanah. Hasil survei Badan Pusat Statistik (2003) menyebutkan, 85 persen petani di Indonesia ialah petani gurem dan petani tak bertanah.
Gambaran semakin menyempitnya lahan bagi petani berbanding terbalik dengan lahan yang dikuasai pengusaha. Saat ini sekitar 29 juta hektar untuk usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, 7 juta hektar untuk pengusaha hutan tanaman industri, 2,4 juta hektar dikuasai Perhutani, dan 6 juta hektar dikuasai pengusaha perkebunan sawit. Jurang ketimpangan akan makin dalam karena RUU ini juga memfasilitasi pengusaha untuk memperoleh tanah dalam berbagai proyek pembangunan.
Keempat, RUU ini bakal hadir di tengah ketiadaan peta perencanaan penggunaan tanah nasional. Ketiadaan peta itu akan menyuburkan kompetisi dan konflik penggunaan ruang dengan tanah sebagai basis utamanya, baik untuk penggunaan ekonomi, politik, maupun pemerintahan, ekologi, cadangan strategis, dan bahkan pertahanan keamanan. Turunan dari persoalan ini mengakibatkan meledaknya konflik perampasan dan penggusuran tanah.
Struktur agraria
Diakui, kita menghadapi kompleksitas persoalan agraria. Dari segi kebijakan, tumpang tindih perundang-undangan dan sektoralisme pengurusan masalah tanah dan sumber daya alam antarsektor masih terjadi. Padahal, konsensus politik mengakhiri sektoralisme ini telah dicapai pada 2001 melalui TAP MPR No IX tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Kompleksitas persoalan agraria lain adalah sulitnya mewujudkan keadilan agraria bagi rakyat Indonesia, seperti dimandatkan Pasal 33 UUD 1945. Keadilan ini sulit mewujud karena kita mewarisi struktur agraria yang sangat timpang dari masa kolonial sampai pemerintahan Orde Baru. Namun, memasuki era reformasi, kita juga tidak melakukan perombakan mendasar.
Tugas sejarah kita adalah menata struktur agraria yang timpang melalui pelaksanaan reforma agraria, tidak justru membuat aturan yang menambah ruwet persoalan pertanahan dan menjauhkan negara memenuhi kewajiban konstitusionalnya.
Maka, pembahasan RUU ini sebaiknya ditunda sampai penataan struktur agraria dilakukan dengan mendorong pelaksanaan reforma agraria.
Idham Arsyad Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2011/03/18/03012199/sesat.pikir.ruu.pengadaan.tanah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya