Oleh: Sjamsu Rahardja
Krisis harga pangan dunia seperti yang terjadi pada tahun 2008 tampaknya tidak akan terulang dalam waktu dekat.
Akan tetapi, harga dunia sejumlah pangan dan sejumlah komoditas pertanian sudah menunjukkan peningkatan tajam sejak pertengahan tahun 2010. Untungnya sejauh ini harga beras di pasar internasional terpantau lebih stabil.
Para pengamat memperkirakan permintaan dan persediaan beras dunia akan seimbang sepanjang triwulan pertama karena persediaan dari Thailand dan Vietnam cukup memadai, sementara permintaan dari Filipina diperkirakan akan menurun. Kendati demikian, kekhawatiran terhadap stabilitas pangan dunia membuat India terus membatasi ekspor beras dan berakibat pada tingginya harga yang harus dibayar Banglades untuk beras impor.
Tidak berlebihan jika kenaikan indeks harga produk pertanian internasional tersebut telah meningkatkan kekhawatiran akan terjadinya kenaikan harga beras di pasar internasional. Peningkatan tajam harga beras dapat memicu suatu krisis kemiskinan karena begitu banyak orang di Asia Timur yang menghabiskan pendapatan mereka untuk beras. Hal ini juga menjadi sangat relevan bagi Indonesia mengingat kerentanan masyarakat miskin dan hampir miskin di Indonesia terhadap gejolak harga beras.
Dalam sebuah penelitian yang baru-baru ini diterbitkan oleh Kantor Bank Dunia di Jakarta, banyak hal yang kiranya dapat kita pelajari dari peningkatan tajam harga beras internasional—sebanyak tiga kali lipat dalam kurun empat bulan menjelang Mei 2008. Hasil penelitian ini sangat penting bagi para pembuat kebijakan—tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara Asia lain—guna memahami faktor-faktor pendorong kenaikan harga beras dunia dan merespons gelembung (bubble) harga beras pada masa depan.
Tahun 2008, banyak pengamat berusaha menjelaskan kenaikan harga beras di pasar internasional dengan menggunakan faktor-faktor yang telah dikenal sebagai pendorong kenaikan harga dunia gandum.
Mereka menilai harga beras di pasar internasional naik akibat lemahnya dollar AS, meningkatnya harga energi, dan meningkatnya permintaan bahan bakar bio (biofuels). Sejumlah pengamat lain juga mengaitkan kenaikan harga beras di pasar internasional dengan berkurangnya produksi akibat gagal panen dan naiknya permintaan. Beberapa pengamat juga memperkirakan spekulasi finansial dalam futures market untuk beras sebagai salah satu penyebab.
Penimbunan dan spekulasi
Penelitian Bank Dunia mempelajari semua klaim tersebut dan menganalisis ciri-ciri spesifik pasar beras dunia guna mengidentifikasi penyebab utama kenaikan harga beras di pasar internasional pada tahun 2008. Penelitian ini menunjukkan, volume pasar beras internasional tergolong ”tipis”. Kurang dari 5 persen produksi beras dunia diperdagangkan di pasar internasional. Oleh karena itu, harga beras sangat rentan terhadap perubahan kecil permintaan atau produksi.
Selain itu, sebagian besar beras yang diekspor juga hanya berasal dari tiga negara: Thailand, India, dan Vietnam. Pada saat bersamaan, naiknya harga beras di pasar domestik secara politis mendorong pemerintah negara-negara di Asia mengontrol harga beras guna melindungi konstituennya. Hal ini menjadikan isu harga beras isu politik yang sangat sensitif.
Temuan paling penting dari penelitian tersebut adalah semua faktor yang diperkirakan para pengamat sebagai penyebab kenaikan harga beras di pasar internasional pada tahun 2008 ternyata salah. Penelitian tersebut mengungkap bahwa perubahan kebijakan pembatasan ekspor yang dilakukan negara-negara pengekspor beras yang dibarengi dengan upaya-upaya negara-negara pengimpor beras untuk memastikan ketersediaan beras dengan harga berapa pun menyebabkan terjadinya penimbunan dan spekulasi harga.
”Tipisnya” pasar beras internasional juga menyebabkan harga sangat rentan terhadap kebijakan-kebijakan perdagangan yang kurang bijaksana. Batasan untuk ekspor beras menimbulkan dampak yang berlawanan dari apa yang diharapkan untuk pasar lokal di negara-negara yang menerapkannya.
Yakni, harga beras meningkat tajam di India dan Vietnam dikarenakan pembelian yang dipicu kepanikan (panic buying) dan penimbunan. Ketika setiap negara secara terpisah menerapkan upaya-upaya untuk melindungi keamanan pangan, meski hal ini sepintas logis untuk dilakukan, dampak yang didapatkan oleh beberapa negara tersebut menjadi berlawanan dari apa yang diinginkan.
Implikasi utama dari kebijakan ini adalah makin tertutupnya perdagangan beras dan terciptanya gelembung harga yang memperparah kemiskinan di negara-negara Asia di mana beras adalah bahan pangan pokok.
Larangan ekspor
Peningkatan tajam harga beras tahun 2008 pada akhirnya mulai terhenti setelah Jepang mengumumkan akan mengeluarkan 300.000 ton beras dari persediaan mereka ke pasar internasional pada awal bulan Juni tahun itu. Komitmen itu ternyata memainkan peranan penting dalam menenangkan pasar dan langsung memperbaiki fundamental pasar beras internasional. Tak lama kemudian, Vietnam juga mencabut larangan ekspor beras. Pada gilirannya tuntutan akan impor menurun pesat bersamaan dengan peningkatan produksi beras oleh para petani Asia sebagai respons terhadap kenaikan harga.
Namun, temuan penelitian tersebut juga menjadi berita yang cukup baik. Ternyata tidak sulit untuk menghindarkan dunia dari krisis beras pada tahun 2008. Oleh karena itu, cara tersebut dapat diterapkan untuk mengatasi potensi krisis pada masa depan. Karena perdagangan beras dunia sangat terbatas, peningkatan permintaan di pasar internasional sebesar 1 juta ton saja akan berdampak besar terhadap harga.
Untuk itu, penting menggabungkan pelonggaran kendali ekspor beras, terutama oleh India, Vietnam, dan China, di saat harga meningkat dengan pelepasan cadangan beras oleh negara-negara yang memiliki persediaan beras yang besar, seperti Jepang, China, dan Thailand.
Dalam jangka waktu panjang, koordinasi kebijakan beras perlu dikembangkan untuk memfasilitasi munculnya pasar beras internasional yang lebih sehat, dan tidak terlalu terkungkung, yang pada akhirnya tidak terlalu ”tipis”. Hal pertama yang dapat dipelajari dari krisis beras selama ini, tidak ada satu negara pun yang sendirian mampu memecahkan permasalahan krisis pangan global. Respons kebijakan jangka panjang untuk mengatasi kenaikan harga beras secara mendadak sebaiknya melibatkan koordinasi regional yang lebih baik dan menurunkan distorsi perdagangan, terutama dalam kerangka kerja ASEAN+3.
Kedua, pengembangan instrumen kebijakan yang lebih efektif dalam penawaran umum pembelian beras, dan stabilisasi harga juga akan membantu menghilangkan masalah. Ketiga, pengembangan upaya-upaya untuk meningkatkan produktivitas pertanian, dan dalam kasus tertentu mengurangi tarif impor juga akan membantu membuat fungsi pasar beras domestik lebih efisien.
Sjamsu Rahardja Ekonom Senior di Kantor Bank Dunia Jakarta
Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2011/03/17/03070126/mencegah..krisis..beras.dunia.
Krisis harga pangan dunia seperti yang terjadi pada tahun 2008 tampaknya tidak akan terulang dalam waktu dekat.
Akan tetapi, harga dunia sejumlah pangan dan sejumlah komoditas pertanian sudah menunjukkan peningkatan tajam sejak pertengahan tahun 2010. Untungnya sejauh ini harga beras di pasar internasional terpantau lebih stabil.
Para pengamat memperkirakan permintaan dan persediaan beras dunia akan seimbang sepanjang triwulan pertama karena persediaan dari Thailand dan Vietnam cukup memadai, sementara permintaan dari Filipina diperkirakan akan menurun. Kendati demikian, kekhawatiran terhadap stabilitas pangan dunia membuat India terus membatasi ekspor beras dan berakibat pada tingginya harga yang harus dibayar Banglades untuk beras impor.
Tidak berlebihan jika kenaikan indeks harga produk pertanian internasional tersebut telah meningkatkan kekhawatiran akan terjadinya kenaikan harga beras di pasar internasional. Peningkatan tajam harga beras dapat memicu suatu krisis kemiskinan karena begitu banyak orang di Asia Timur yang menghabiskan pendapatan mereka untuk beras. Hal ini juga menjadi sangat relevan bagi Indonesia mengingat kerentanan masyarakat miskin dan hampir miskin di Indonesia terhadap gejolak harga beras.
Dalam sebuah penelitian yang baru-baru ini diterbitkan oleh Kantor Bank Dunia di Jakarta, banyak hal yang kiranya dapat kita pelajari dari peningkatan tajam harga beras internasional—sebanyak tiga kali lipat dalam kurun empat bulan menjelang Mei 2008. Hasil penelitian ini sangat penting bagi para pembuat kebijakan—tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara Asia lain—guna memahami faktor-faktor pendorong kenaikan harga beras dunia dan merespons gelembung (bubble) harga beras pada masa depan.
Tahun 2008, banyak pengamat berusaha menjelaskan kenaikan harga beras di pasar internasional dengan menggunakan faktor-faktor yang telah dikenal sebagai pendorong kenaikan harga dunia gandum.
Mereka menilai harga beras di pasar internasional naik akibat lemahnya dollar AS, meningkatnya harga energi, dan meningkatnya permintaan bahan bakar bio (biofuels). Sejumlah pengamat lain juga mengaitkan kenaikan harga beras di pasar internasional dengan berkurangnya produksi akibat gagal panen dan naiknya permintaan. Beberapa pengamat juga memperkirakan spekulasi finansial dalam futures market untuk beras sebagai salah satu penyebab.
Penimbunan dan spekulasi
Penelitian Bank Dunia mempelajari semua klaim tersebut dan menganalisis ciri-ciri spesifik pasar beras dunia guna mengidentifikasi penyebab utama kenaikan harga beras di pasar internasional pada tahun 2008. Penelitian ini menunjukkan, volume pasar beras internasional tergolong ”tipis”. Kurang dari 5 persen produksi beras dunia diperdagangkan di pasar internasional. Oleh karena itu, harga beras sangat rentan terhadap perubahan kecil permintaan atau produksi.
Selain itu, sebagian besar beras yang diekspor juga hanya berasal dari tiga negara: Thailand, India, dan Vietnam. Pada saat bersamaan, naiknya harga beras di pasar domestik secara politis mendorong pemerintah negara-negara di Asia mengontrol harga beras guna melindungi konstituennya. Hal ini menjadikan isu harga beras isu politik yang sangat sensitif.
Temuan paling penting dari penelitian tersebut adalah semua faktor yang diperkirakan para pengamat sebagai penyebab kenaikan harga beras di pasar internasional pada tahun 2008 ternyata salah. Penelitian tersebut mengungkap bahwa perubahan kebijakan pembatasan ekspor yang dilakukan negara-negara pengekspor beras yang dibarengi dengan upaya-upaya negara-negara pengimpor beras untuk memastikan ketersediaan beras dengan harga berapa pun menyebabkan terjadinya penimbunan dan spekulasi harga.
”Tipisnya” pasar beras internasional juga menyebabkan harga sangat rentan terhadap kebijakan-kebijakan perdagangan yang kurang bijaksana. Batasan untuk ekspor beras menimbulkan dampak yang berlawanan dari apa yang diharapkan untuk pasar lokal di negara-negara yang menerapkannya.
Yakni, harga beras meningkat tajam di India dan Vietnam dikarenakan pembelian yang dipicu kepanikan (panic buying) dan penimbunan. Ketika setiap negara secara terpisah menerapkan upaya-upaya untuk melindungi keamanan pangan, meski hal ini sepintas logis untuk dilakukan, dampak yang didapatkan oleh beberapa negara tersebut menjadi berlawanan dari apa yang diinginkan.
Implikasi utama dari kebijakan ini adalah makin tertutupnya perdagangan beras dan terciptanya gelembung harga yang memperparah kemiskinan di negara-negara Asia di mana beras adalah bahan pangan pokok.
Larangan ekspor
Peningkatan tajam harga beras tahun 2008 pada akhirnya mulai terhenti setelah Jepang mengumumkan akan mengeluarkan 300.000 ton beras dari persediaan mereka ke pasar internasional pada awal bulan Juni tahun itu. Komitmen itu ternyata memainkan peranan penting dalam menenangkan pasar dan langsung memperbaiki fundamental pasar beras internasional. Tak lama kemudian, Vietnam juga mencabut larangan ekspor beras. Pada gilirannya tuntutan akan impor menurun pesat bersamaan dengan peningkatan produksi beras oleh para petani Asia sebagai respons terhadap kenaikan harga.
Namun, temuan penelitian tersebut juga menjadi berita yang cukup baik. Ternyata tidak sulit untuk menghindarkan dunia dari krisis beras pada tahun 2008. Oleh karena itu, cara tersebut dapat diterapkan untuk mengatasi potensi krisis pada masa depan. Karena perdagangan beras dunia sangat terbatas, peningkatan permintaan di pasar internasional sebesar 1 juta ton saja akan berdampak besar terhadap harga.
Untuk itu, penting menggabungkan pelonggaran kendali ekspor beras, terutama oleh India, Vietnam, dan China, di saat harga meningkat dengan pelepasan cadangan beras oleh negara-negara yang memiliki persediaan beras yang besar, seperti Jepang, China, dan Thailand.
Dalam jangka waktu panjang, koordinasi kebijakan beras perlu dikembangkan untuk memfasilitasi munculnya pasar beras internasional yang lebih sehat, dan tidak terlalu terkungkung, yang pada akhirnya tidak terlalu ”tipis”. Hal pertama yang dapat dipelajari dari krisis beras selama ini, tidak ada satu negara pun yang sendirian mampu memecahkan permasalahan krisis pangan global. Respons kebijakan jangka panjang untuk mengatasi kenaikan harga beras secara mendadak sebaiknya melibatkan koordinasi regional yang lebih baik dan menurunkan distorsi perdagangan, terutama dalam kerangka kerja ASEAN+3.
Kedua, pengembangan instrumen kebijakan yang lebih efektif dalam penawaran umum pembelian beras, dan stabilisasi harga juga akan membantu menghilangkan masalah. Ketiga, pengembangan upaya-upaya untuk meningkatkan produktivitas pertanian, dan dalam kasus tertentu mengurangi tarif impor juga akan membantu membuat fungsi pasar beras domestik lebih efisien.
Sjamsu Rahardja Ekonom Senior di Kantor Bank Dunia Jakarta
Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2011/03/17/03070126/mencegah..krisis..beras.dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya