Oleh: Dwi Andreas Santosa Tanggal 14-18 Maret 2011 di Bali berlangsung pembahasan sumber daya genetik tanaman (The International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture). Hadir perwakilan 127 negara terkait dengan nasib petani di seluruh dunia. Ironisnya, pertemuan akbar yang dihadiri lebih dari 1.000 delegasi—yang seharusnya gegap gempita—justru sangat miskin liputan media. Semoga hal ini tidak menyiratkan bahwa segala hal yang bersentuhan dengan petani kurang menarik. Perjanjian/pakta internasional itu memfasilitasi akses terhadap sumber daya genetik di seluruh dunia dan menyediakannya secara gratis bagi para peneliti yang mau berbagi keuntungan dari hasil pengembangan tanaman itu. Pemilik asli sebagian besar sumber daya genetik itu adalah petani dan masyarakat lokal. Sejak 1960-an, petani kecil telah mengembangkan 1,9 juta varietas tanaman (ETC, 2009). Sebagian besar sumber daya genetik itu perlahan-lahan mengalir ke banyak bank benih internasional atau langsung kepada peneliti. Perusahaan-perusahaan benih internasional mengambil manfaat terbesar dari ”tersedianya secara gratis” sumber daya genetik tersebut dan mengembangkannya menjadi benih unggul, hibrida, ataupun transgenik yang bernilai jutaan dollar. Hingga saat ini para peneliti di industri benih telah mengembangkan 72.500 varietas baru tanaman atau sembilan kali lipat dari varietas baru yang dikembangkan lembaga-lembaga publik. Sayang, hal yang jelas dimandatkan oleh perjanjian/pakta tentang ”berbagi keuntungan” itu praktis tak ada wujudnya. Hak petani The International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture mengakui peran luar biasa petani kecil dalam konservasi dan pengembangan keragaman pangan—yang memberi pangan penduduk Bumi—sekaligus mendorong petani mengembangkan dan mengomersialisasikan varietas tanaman. Namun, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Saat perjanjian/pakta tersebut menjadi perjanjian yang mengikat pada 29 Juni 2004, perusahaan multinasional ”baru” menguasai benih dan perdagangan benih komersial sebesar 50 persen. Kini mereka menguasai 73 persen benih komersial di seluruh dunia serta hampir 100 persen benih transgenik. Dengan demikian, perjanjian/pakta tersebut tampaknya menjauh dari misi suci yang diembannya. Bab III artikel 9 perjanjian/pakta tersebut menyebut hak petani, yaitu pengakuan terhadap hak petani untuk menyimpan, menggunakan, menukarkan, dan menjual benih serta bahan perbanyakan tanaman yang lain. Negara wajib menjamin dan melindungi hak petani tersebut. Negara juga harus menjamin hak petani untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan di tingkat nasional. Tampaknya legislasi kita masih jauh dari bentuk ideal sebagaimana dikehendaki perjanjian/pakta tentang sumber daya genetik. Kriminalisasi petani-petani pengembang benih masih terus terjadi, yang diawali tahun 2004 ketika belasan petani pemulia jagung di Jawa Timur ditangkap. Peristiwa tersebut terus berulang hingga 2010. Di sidang pengadilan, tuntutan perusahaan, seperti pencurian benih induk ataupun pelanggaran paten oleh petani, tidak terbukti. Ironisnya, petani justru dipersalahkan karena melanggar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman dan UU No 29/2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman. Kedaulatan petani atas benih oleh sebagian peneliti, birokrat, dan pengusaha diartikan sebagai ancaman terhadap ketahanan pangan kita. Tahun 1980-an, kelompok industri benih mengampanyekan adopsi hak pemulia untuk memproteksi benih yang mereka kembangkan melalui sistem mirip paten, yang kemudian diadopsi juga oleh Pemerintah Indonesia melalui UU No 29/2000. Mereka mengeluarkan buku saku berjudul Feeding the 500 Million. Target tak tercapai Tiga puluh tahun kemudian, ternyata mereka lebih banyak mematenkan varietas bunga dibandingkan dengan tanaman pangan. Target mengatasi 500 juta orang yang kelaparan tidak tercapai dan malah bertambah jadi 1 miliar orang. Kampanye yang sama kini gencar dilakukan produsen benih transgenik lewat program Feed the World. Namun, itu ternyata bermakna meningkatkan keuntungan penjualan herbisida dan benih 21-54 persen saat dunia dilanda krisis pangan tahun 2008. Petani kecil memiliki peran besar, baik pada masa lalu, kini, dan mendatang. Petani kecil memberi makan paling sedikit 70 persen dari penduduk dunia. Ketika terjadi bencana kekeringan dan krisis pangan di Etiopia pada 2002-2003 dan berulang pada 2007-2008, rakyat Etiopia tertolong oleh benih-benih lokal yang dikembangkan petani kecil dan mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim, bukan oleh benih-benih komersial milik perusahaan multinasional. Dalam pertemuan petani dan jaringan masyarakat sipil internasional di Bali, petani anggota Ikatan Petani Pengendali Hama Terpadu Indonesia secara sederhana merumuskan hak mereka, yaitu hak untuk belajar, hak untuk memuliakan tanaman/hewan, hak untuk menyimpan benih, hak untuk menjual benih, dan hak untuk mendapat kembali benih dari bank benih. Pemerintah perlu menjamin dan mewujudkan hak itu melalui revisi UU agar lebih berpihak kepada petani. Selain itu, para ilmuwan ditantang untuk bekerja bersama dengan petani, mengenalkan teknologi terkini serta bioteknologi yang ramah petani dan lingkungan kepada mereka. Dwi Andreas Santosa Ketua Program S-2 Bioteknologi Tanah dan Lingkungan IPB Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2011/03/30/03133932/hak.petani
MEDIA KOMUNIKASI KOMUNITAS ALUMNI POLITEKNIK NEGERI LAMPUNG JURUSAN BUDIDAYA TANAMAN PERKEBUNAN.
Rabu, 30 Maret 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Lowongan Kepala Afdeling
Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...
-
INCASI RAYA Group Kami perusahaan swasta nasional dengan areal 250.000 ha dengan alamat kantor pusat di Jl. Raya By Pass Km 6 Lubuk Begalung...
-
PT. Kirana Megatara ( subsidiary company of Triputra Group ) yang lokasi head office -nya berada di kawasan Lingkar Mega Kuningan, Jakart...
-
DIBUTUHKAN SEGERA ASISTEN WATER MANAGEMENT SYSTEM (WMS) Kualifikasi: Pria, Usia Maks 35 thn untuk yang sudah berpengalaman,...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya