Oleh: Puti Guntur Soekarno
Olahraga dan politik, apa hubungannya? Sepintas tak ada kaitannya. Bahkan di negeri ini, olahraga--terutama sepak bola--pun sudah mulai jadi urusan politik hingga tercabik-cabik. Jika tidak, ya, mana mungkin pengurus Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) sampai dipanggil ke gedung parlemen pada Selasa, 1 Maret 2011. Kemiripan lainnya, olahraga dan politik saat ini sama-sama seperti menjadi ajang perebutan kekuasaan. Permasalahan yang terjadi di tubuh induk organisasi sepak bola nasional PSSI saat ini memperlihatkan hal itu kepada masyarakat.
Pertanyaannya, apakah kejadian ini memiliki manfaat buat masyarakat pencinta olahraga nasional secara langsung atau justru sebaliknya? Masyarakat sudah dewasa dan bisa menilai semuanya. Media memungkinkan apa yang terjadi saat ini bisa mereka saksikan langsung. Olahraga dan politik di Indonesia memang sering kali berdekatan. Namun berbeda waktu, berbeda pula caranya. Era Sukarno--Presiden RI yang pertama—sering kali banyak hal selalu dikaitkan dengan politik, tak terkecuali olahraga.
Tetapi, pertanyaannya, kedekatan yang seperti apa? Sukarno menjadikan olahraga untuk Indonesia bisa eksis dalam percaturan politik internasional. Kedekatan antara olahraga dan politik pada saat itu pun penuh dengan ide dan pemikiran kritisnya. Sukarno mencoba melakukan revolusi di bidang olahraga. Terbukti saat Sukarno melakukan langkah yang sangat berani untuk ukuran negara yang baru merdeka saat itu. Dia membuat perhelatan olahraga dunia yang terkenal dengan Games of The New Emerging Forces (Ganefo) untuk menandingi perhelatan olahraga negara-negara maju yang disebutnya kekuatan lama imperialis atau Old Establishment Forces atau Oldefo. Ganefo dibikin sebagai olahraga tandingan Olimpiade. Sukarno pada akhir 1962 menyebutkan bahwa olahraga tidak bisa dipisahkan dari politik. Olahraga dijadikan alat perjuangan negara dalam membela kepentingan negara-negara yang menentang praktek imperialisme kolonialisme.
Seperti pada saat Asian Games 1962, Indonesia melarang Israel dan Taiwan mengikuti Asian Games untuk simpatinya kepada RRC dan negara-negara Timur Tengah. Apa yang dilakukan ini menuai protes dari Komite Olimpiade Internasional (KOI), yang menyerang legitimasi Asian Games di Jakarta, karena Taiwan dan Israel adalah anggota resmi PBB. Indonesia pun diskors untuk mengikuti Olimpiade Tokyo 1964. Sukarno marah dan membuat Ganefo di Jakarta. Ganefo pun bisa menjadi cabang olahraga yang membangun solidaritas negara dunia ketiga.
Sejatinya, olahraga mampu menjadi ajang penguatan eksistensi nasional. Jangan sampai bangsa ini justru menjadi tidak sehat tanpa peningkatan olahraga yang baik. Prestasi olahraga pun perlu dirangsang dan direncanakan serius. Kita bisa mengambil contoh yang pernah dilakukan bangsa ini, yaitu saat menjadikan sepak bola sebagai kekuatan nasional dalam pembangunan karakter bangsa. Saat itu dibentuk Komando Gerakan Olahraga (Kogor), yang diketuai Maladi, mantan kiper tim nasional.
Persiapan menghadapi ajang olahraga ASEAN pun ditanggapi serius dengan pelatihan atlet dan membangun venue yang dilengkapi fasilitas untuk atlet yang didanai dari kredit lunak pinjaman dari Uni Soviet. Kini apa yang dibikin itu pun masih ada untuk bangsa ini, yaitu Istora atau Istana Olahraga di Senayan.
Sebagai presiden, Sukarno pun serius mengurusi olahraga hingga membuat Keppres Nomor 263/1963 tentang misi Indonesia masuk dalam 10 besar olahraga di dunia. Olahraga pun tidak lepas dari usaha membangun bangsa dan pembangkitan semangat masyarakat untuk berlomba mengukir prestasi guna mengharumkan nama bangsa.
Distorsi politik
Indonesia saat ini semestinya memiliki prestasi yang bisa mengharumkan nama bangsa Indonesia di kancah internasional. Kita semua tentu tidak ingin Indonesia terus terpuruk dalam prestasi olahraga di dunia. Dibutuhkan bukan saja good will atau iktikad baik dari pemerintah, namun juga perlu mekanisme yang sehat dan organisasi-organisasi yang sehat untuk mengurusi olahraga.
Konflik terus-menerus perlu ditanggapi secara kritis, apakah akan bisa mendukung prestasi olahraga atau justru hanya hanya akan memperlemah. Organisasi olahraga menjadi garda depan untuk memajukan cabang olahraga di Indonesia. Kita ambil contoh persoalan yang terjadi di tubuh PSSI sebagai induk organisasi sepak bola di Indonesia saat ini. PSSI kini seperti justru menjadi ajang pertarungan politik elite. Akibatnya, persepakbolaan nasional terus didera masalah. Setelah gagal dalam menjawab harapan publik pencinta sepak bola di kompetisi piala AFF Suzuki Cup 2010, kini kisruh justru terus melanda PSSI.
Komisi banding PSSI membuat keputusan untuk menawarkan solusi buat PSSI. Komite banding menolak seluruh permintaan banding yang diajukan dua bakal calon ketua umum PSSI yang tidak lolos verifikasi oleh Komite Pemilihan Eksekutif (Exco) PSSI. Komite banding juga menolak semua hasil keputusan yang telah diambil Komite Pemilihan. Termasuk pencalonan Nurdin Halid dan Nirwan Bakrie. Keputusan ini seyogianya ditanggapi sebagai buah usaha untuk mencari solusi yang memediasi perseteruan, terlepas dari kelebihan dan kekurangan dari keputusan tersebut. Sebab, memang tidak seyogianya konflik yang terjadi dibiarkan berlama-lama.
Kegeraman pencinta bola di Indonesia seakan semakin memuncak. Demonstrasi di berbagai daerah menolak kepemimpinan Nurdin Halid sebagai Ketua Umum PSSI terus berjalan. Saling tuding antartokoh pun terjadi, bahkan mengerucut antara Menpora dan Ketua Umum PSSI.
Tayangan demi tayangan pemberitaan ihwal kisruh PSSI kian santer. Seakan solusi bagi persoalan itu malah semakin terpendam hingga susah terurai akar masalahnya.
Tanpa mengecilkan kecintaan kita kepada sepak bola, alangkah lebih bermanfaat jika energi besar yang dimiliki tidak dihabis-habiskan untuk perseteruan kepentingan struktural semacam ini.
Olahraga memang bisa digunakan untuk politik. Tetapi kualitas politik seperti apa yang pantas menjamah wilayah olahraga tentu juga mesti dipertimbangkan. Jangan sampai olahraga didominasi politik yang tidak untuk kepentingan nasional. Kondisi demikian hanya akan mendistorsi makna olahraga dan politik itu sendiri dari elan vitalnya. Olahraga dan politik seharusnya dipakai untuk dapat menggelorakan semangat bangsa dengan mengukir prestasi. Prestasi untuk mengharumkan nama bangsa di dunia Internasional.
Tahun ini Indonesia menghadapi perhelatan SEA Games XXVI 2011 di Palembang dan Jakarta. Banyak persiapan yang belum matang. Cabang olahraga nasional yang lain juga tak kalah penting untuk diperhatikan agar dapat menyumbangkan emas untuk Indonesia. Prestasi olahraga perlu digenjot agar mampu menjawab apa yang menjadi harapan masyarakat yang telah lama menunggu bangkitnya prestasi olahraga nasional.
Olahraga hakikatnya selalu bertujuan positif. Terutama untuk membangun bangsa yang sehat dan bangsa yang berjiwa kuat. Ungkapan yang sudah sangat familiar di telinga masyarakat kita adalah “Men sana in corpore sano”, yang artinya di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Jangan sampai olahraga justru mempertontonkan peragaan yang tidak sehat dan konflik berkepanjangan yang menyesatkan masyarakat. Kalau kondisi yang demikian terus dibiarkan, yang terjadi justru seperti guyonan di masyarakat menanggapi kasus perseteruan di tubuh PSSI saat ini, yang mengatakan di dalam tubuh yang sehat malah terdapat jiwa yang sesat.
URL Source: http://korantempo.com/korantempo/koran/2011/03/04/Opini/krn.20110304.228830
Puti Guntur Soekarno
ANGGOTA KOMISI X DPR RI
Olahraga dan politik, apa hubungannya? Sepintas tak ada kaitannya. Bahkan di negeri ini, olahraga--terutama sepak bola--pun sudah mulai jadi urusan politik hingga tercabik-cabik. Jika tidak, ya, mana mungkin pengurus Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) sampai dipanggil ke gedung parlemen pada Selasa, 1 Maret 2011. Kemiripan lainnya, olahraga dan politik saat ini sama-sama seperti menjadi ajang perebutan kekuasaan. Permasalahan yang terjadi di tubuh induk organisasi sepak bola nasional PSSI saat ini memperlihatkan hal itu kepada masyarakat.
Pertanyaannya, apakah kejadian ini memiliki manfaat buat masyarakat pencinta olahraga nasional secara langsung atau justru sebaliknya? Masyarakat sudah dewasa dan bisa menilai semuanya. Media memungkinkan apa yang terjadi saat ini bisa mereka saksikan langsung. Olahraga dan politik di Indonesia memang sering kali berdekatan. Namun berbeda waktu, berbeda pula caranya. Era Sukarno--Presiden RI yang pertama—sering kali banyak hal selalu dikaitkan dengan politik, tak terkecuali olahraga.
Tetapi, pertanyaannya, kedekatan yang seperti apa? Sukarno menjadikan olahraga untuk Indonesia bisa eksis dalam percaturan politik internasional. Kedekatan antara olahraga dan politik pada saat itu pun penuh dengan ide dan pemikiran kritisnya. Sukarno mencoba melakukan revolusi di bidang olahraga. Terbukti saat Sukarno melakukan langkah yang sangat berani untuk ukuran negara yang baru merdeka saat itu. Dia membuat perhelatan olahraga dunia yang terkenal dengan Games of The New Emerging Forces (Ganefo) untuk menandingi perhelatan olahraga negara-negara maju yang disebutnya kekuatan lama imperialis atau Old Establishment Forces atau Oldefo. Ganefo dibikin sebagai olahraga tandingan Olimpiade. Sukarno pada akhir 1962 menyebutkan bahwa olahraga tidak bisa dipisahkan dari politik. Olahraga dijadikan alat perjuangan negara dalam membela kepentingan negara-negara yang menentang praktek imperialisme kolonialisme.
Seperti pada saat Asian Games 1962, Indonesia melarang Israel dan Taiwan mengikuti Asian Games untuk simpatinya kepada RRC dan negara-negara Timur Tengah. Apa yang dilakukan ini menuai protes dari Komite Olimpiade Internasional (KOI), yang menyerang legitimasi Asian Games di Jakarta, karena Taiwan dan Israel adalah anggota resmi PBB. Indonesia pun diskors untuk mengikuti Olimpiade Tokyo 1964. Sukarno marah dan membuat Ganefo di Jakarta. Ganefo pun bisa menjadi cabang olahraga yang membangun solidaritas negara dunia ketiga.
Sejatinya, olahraga mampu menjadi ajang penguatan eksistensi nasional. Jangan sampai bangsa ini justru menjadi tidak sehat tanpa peningkatan olahraga yang baik. Prestasi olahraga pun perlu dirangsang dan direncanakan serius. Kita bisa mengambil contoh yang pernah dilakukan bangsa ini, yaitu saat menjadikan sepak bola sebagai kekuatan nasional dalam pembangunan karakter bangsa. Saat itu dibentuk Komando Gerakan Olahraga (Kogor), yang diketuai Maladi, mantan kiper tim nasional.
Persiapan menghadapi ajang olahraga ASEAN pun ditanggapi serius dengan pelatihan atlet dan membangun venue yang dilengkapi fasilitas untuk atlet yang didanai dari kredit lunak pinjaman dari Uni Soviet. Kini apa yang dibikin itu pun masih ada untuk bangsa ini, yaitu Istora atau Istana Olahraga di Senayan.
Sebagai presiden, Sukarno pun serius mengurusi olahraga hingga membuat Keppres Nomor 263/1963 tentang misi Indonesia masuk dalam 10 besar olahraga di dunia. Olahraga pun tidak lepas dari usaha membangun bangsa dan pembangkitan semangat masyarakat untuk berlomba mengukir prestasi guna mengharumkan nama bangsa.
Distorsi politik
Indonesia saat ini semestinya memiliki prestasi yang bisa mengharumkan nama bangsa Indonesia di kancah internasional. Kita semua tentu tidak ingin Indonesia terus terpuruk dalam prestasi olahraga di dunia. Dibutuhkan bukan saja good will atau iktikad baik dari pemerintah, namun juga perlu mekanisme yang sehat dan organisasi-organisasi yang sehat untuk mengurusi olahraga.
Konflik terus-menerus perlu ditanggapi secara kritis, apakah akan bisa mendukung prestasi olahraga atau justru hanya hanya akan memperlemah. Organisasi olahraga menjadi garda depan untuk memajukan cabang olahraga di Indonesia. Kita ambil contoh persoalan yang terjadi di tubuh PSSI sebagai induk organisasi sepak bola di Indonesia saat ini. PSSI kini seperti justru menjadi ajang pertarungan politik elite. Akibatnya, persepakbolaan nasional terus didera masalah. Setelah gagal dalam menjawab harapan publik pencinta sepak bola di kompetisi piala AFF Suzuki Cup 2010, kini kisruh justru terus melanda PSSI.
Komisi banding PSSI membuat keputusan untuk menawarkan solusi buat PSSI. Komite banding menolak seluruh permintaan banding yang diajukan dua bakal calon ketua umum PSSI yang tidak lolos verifikasi oleh Komite Pemilihan Eksekutif (Exco) PSSI. Komite banding juga menolak semua hasil keputusan yang telah diambil Komite Pemilihan. Termasuk pencalonan Nurdin Halid dan Nirwan Bakrie. Keputusan ini seyogianya ditanggapi sebagai buah usaha untuk mencari solusi yang memediasi perseteruan, terlepas dari kelebihan dan kekurangan dari keputusan tersebut. Sebab, memang tidak seyogianya konflik yang terjadi dibiarkan berlama-lama.
Kegeraman pencinta bola di Indonesia seakan semakin memuncak. Demonstrasi di berbagai daerah menolak kepemimpinan Nurdin Halid sebagai Ketua Umum PSSI terus berjalan. Saling tuding antartokoh pun terjadi, bahkan mengerucut antara Menpora dan Ketua Umum PSSI.
Tayangan demi tayangan pemberitaan ihwal kisruh PSSI kian santer. Seakan solusi bagi persoalan itu malah semakin terpendam hingga susah terurai akar masalahnya.
Tanpa mengecilkan kecintaan kita kepada sepak bola, alangkah lebih bermanfaat jika energi besar yang dimiliki tidak dihabis-habiskan untuk perseteruan kepentingan struktural semacam ini.
Olahraga memang bisa digunakan untuk politik. Tetapi kualitas politik seperti apa yang pantas menjamah wilayah olahraga tentu juga mesti dipertimbangkan. Jangan sampai olahraga didominasi politik yang tidak untuk kepentingan nasional. Kondisi demikian hanya akan mendistorsi makna olahraga dan politik itu sendiri dari elan vitalnya. Olahraga dan politik seharusnya dipakai untuk dapat menggelorakan semangat bangsa dengan mengukir prestasi. Prestasi untuk mengharumkan nama bangsa di dunia Internasional.
Tahun ini Indonesia menghadapi perhelatan SEA Games XXVI 2011 di Palembang dan Jakarta. Banyak persiapan yang belum matang. Cabang olahraga nasional yang lain juga tak kalah penting untuk diperhatikan agar dapat menyumbangkan emas untuk Indonesia. Prestasi olahraga perlu digenjot agar mampu menjawab apa yang menjadi harapan masyarakat yang telah lama menunggu bangkitnya prestasi olahraga nasional.
Olahraga hakikatnya selalu bertujuan positif. Terutama untuk membangun bangsa yang sehat dan bangsa yang berjiwa kuat. Ungkapan yang sudah sangat familiar di telinga masyarakat kita adalah “Men sana in corpore sano”, yang artinya di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Jangan sampai olahraga justru mempertontonkan peragaan yang tidak sehat dan konflik berkepanjangan yang menyesatkan masyarakat. Kalau kondisi yang demikian terus dibiarkan, yang terjadi justru seperti guyonan di masyarakat menanggapi kasus perseteruan di tubuh PSSI saat ini, yang mengatakan di dalam tubuh yang sehat malah terdapat jiwa yang sesat.
URL Source: http://korantempo.com/korantempo/koran/2011/03/04/Opini/krn.20110304.228830
Puti Guntur Soekarno
ANGGOTA KOMISI X DPR RI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya