Oleh: A Prasetyantoko
Berbagai berita bagus terus menyelimuti perekonomian kita. Baru saja Fitch Ratings menaikkan peringkat outlook sovereign Indonesia dari BB (stabil) menjadi BB+ (positif).
Sebulan sebelumnya, Moodys Investor Service juga menaikkan peringkat utang domestik dan luar negeri Indonesia menjadi Ba1 dari sebelumnya Ba2. Dua lembaga pemeringkat ini menempatkan Indonesia pada satu level di bawah level investasi (investment grade).
Banyak pengamat menilai, tak lama lagi Indonesia akan memperolehnya, seperti India dan Brasil yang sudah terlebih dahulu mencapainya. Dengan begitu, lengkaplah mitos tentang lima kekuatan ekonomi dunia BRIIC (Brasil, Rusia, India, Indonesia, China). Seberapa solidkah skenario yang pernah dilontarkan Morgan Stanley ini?
Pertengahan tahun lalu, Japan Credit Rating Agency Ltd bahkan sudah menempatkan Indonesia pada level investasi (BBB-). Bagi para investor pasar finansial, tentu ini berita bagus. Modal asing jangka pendek (portofolio) akan terus mengalir ke pasar keuangan kita, baik di pasar uang, modal, maupun utang. Nilai tukar rupiah juga terus menguat pada kisaran Rp 8.850 per dollar AS.
Paradoksnya, daya saing produk ekspor—terutama komoditas primer—turun karena rupiah terlalu kuat. Cadangan devisa terus bertambah, sementara premi risiko investasi akan menurun. Akhir tahun ini diperkirakan cadangan devisa 120 miliar dollar AS. Perbaikan peringkat juga berpotensi menurunkan suku bunga penerbitan surat utang negara yang sekarang masih 10–12 persen untuk jangka menengah. Dengan demikian, peningkatan peringkat akan menambah amunisi moneter sekaligus menekan biaya fiskal. Apa yang merisaukan?
Perkembangan perekonomian kita tentu perlu disyukuri. Kenaikan peringkat utang akan membuat biaya untuk mendapatkan dana (cost of capital) lebih murah. Maka, logikanya, likuiditas untuk menggerakkan perekonomian, terutama sektor riil, juga akan semakin mudah. Benarkah?
Empat paradoks
Tampaknya hubungan antara sektor riil dan sektor keuangan tidak selalu positif. Ada transmisi dan pola hubungan rumit di antara keduanya, yang berakhir pada berbagai cerita paradoks.
Pertama, paradoks pertumbuhan. Pada 2010 pertumbuhan mencapai 6,1 persen, kuartal II mencapai 6,6 persen. Ekonomi yang tumbuh memberi ruang bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun, benarkah kesejahteraan meningkat?
Dilihat dari pendapatan per kapita, itu mungkin terjadi, tetapi kesenjangan juga semakin lebar. Indeks Gini yang mengukur tingkat distribusi pendapatan cenderung meningkat, sementara indeks pembangunan manusia tidak menunjukkan perbaikan berarti (peringkat ke-108 pada 2010). Maka, pertumbuhan ekonomi di satu sisi menimbulkan kesenjangan di sisi lain. Secara sektoral, telekomunikasi, jasa, perdagangan, dan keuangan tumbuh pesat, tetapi manufaktur, pertambangan, dan pertanian justru semakin menyusut.
Kedua, paradoks daya saing. Meskipun kaya sumber daya alam dan manusia, daya saing Indonesia tidak meningkat sig- nifikan. Menurut survei indeks daya saing dunia, peringkat kita memang meningkat ke posisi ke-44 tahun 2010, tetapi sejatinya tak ada perubahan mendasar untuk menjalankan usaha di Indonesia.
Indeks iklim usaha (doing business index) 2011 justru merosot ke posisi ke-121 dari posisi ke-115 tahun sebelumnya. Banyak lembaga investasi menyatakan Indonesia memiliki keuntungan demografi (demographic dividend) sehingga tahun 2025 bisa menjadi salah satu negara dengan tingkat produktivitas tertinggi di dunia. Ini karena rasio orang usia produktif terhadap orang yang tidak bekerja cukup tinggi. Pertanyaannya, sudahkah kita menyiapkan sumber daya manusia agar keuntungan demografi itu menjadi kenyataan?
Belum lagi soal sumber daya alam yang hancur karena pilihan strategi ekspor komoditas primer yang tidak tepat. Bagaimana mungkin pabrik yang berdiri di Kalimantan kekurangan listrik? Bagaimana mungkin anggaran Indonesia yang kaya minyak ini babak belur karena harga minyak di pasar dunia naik mendekati 120 dollar AS per barrel?
Ketiga, paradoks sektor usaha. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang definisi usaha mikro, kecil, dan menengah, hanya ada 0,01 unit usaha besar di Indonesia. Namun, mereka menyumbang 41,83 persen produk domestik bruto (PDB) dan 82,98 persen ekspor. Meski kecil, perannya sangat besar dalam perekonomian kita. Sementara 98,88 persen unit usaha yang bersifat mikro kesulitan mencari sumber dana.
Sektor usaha menengah di Indonesia sangat kecil, hanya sekitar 0,08 persen. Padahal, perekonomian yang kuat dan kompetitif umumnya ditopang oleh usaha menengah yang kokoh.
Keempat, paradoks likuiditas. Meskipun likuiditas melimpah, perekonomian Indonesia mengalami disintermediasi. Dunia usaha kesulitan mendapatkan pinjaman bank dengan bunga 12–14 persen, sementara instrumen pendanaan lain belum populer. Jadi, ada persoalan pendalaman sektor keuangan (financial deepening) dan inklusi finansial (financial inclusion).
Rasio deposito perbankan terhadap PDB pada 2009 hanya sekitar 0,33 persen, padahal di Vietnam sudah 0,93 persen dan Thailand 0,79 persen. Diukur dari tingkat pinjaman sektor swasta dari bank umum terhadap PDB, rasionya juga masih relatif kecil, yaitu sekitar 0,23 persen. Bandingkan dengan Vietnam yang sudah 1,10 persen dan Thailand 0,73 persen.
Jawaban politik
Berbagai paradoks yang mengemuka tentu bisa menimbulkan persoalan moral, termasuk apakah pemerintah bisa dikatakan bohong. Secara teknis paradoks tersebut akan menyulitkan kalkulasi untuk meningkatkan peringkat Indonesia pada investment grade.
Perekonomian Indonesia memang penuh potensi, tetapi juga penuh paradoks. Maka, bagi lembaga pemeringkat, salah satu pertanyaan kuncinya adalah apakah berbagai indikator makro—pertumbuhan, inflasi, suku bunga, cadangan devisa, nilai tukar, dan rasio utang—membuat iklim dunia usaha di Indonesia membaik? Jika begitu, rasio pajak terhadap PDB akan meningkat. Kenyataannya, rasio pajak kita tidak pernah naik.
Untuk mengatasi berbagai paradoks perekonomian tersebut diperlukan konsensus politik berupa perencanaan ekonomi yang konsisten dijalankan. Tanpa keberanian politik, perekonomian kita akan tetap di persimpangan jalan. Mulai dari pembangunan infrastruktur, ketersediaan sumber daya energi, perbaikan transmisi kebijakan keuangan, hingga soal pemerataan ekonomi, semua membutuhkan kekuatan politik untuk menjawabnya.
Jangan-jangan berbagai paradoks perekonomian berakar pada paradoks politik. Meski mendapat dukungan mayoritas pemilih, pemerintah justru membiarkan diri terkatung-katung dalam koalisi yang tidak jelas!
A Prasetyantoko Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Unika Atma Jaya, Jakarta
Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2011/03/03/05054146/paradoks.perekonomian.kita
Berbagai berita bagus terus menyelimuti perekonomian kita. Baru saja Fitch Ratings menaikkan peringkat outlook sovereign Indonesia dari BB (stabil) menjadi BB+ (positif).
Sebulan sebelumnya, Moodys Investor Service juga menaikkan peringkat utang domestik dan luar negeri Indonesia menjadi Ba1 dari sebelumnya Ba2. Dua lembaga pemeringkat ini menempatkan Indonesia pada satu level di bawah level investasi (investment grade).
Banyak pengamat menilai, tak lama lagi Indonesia akan memperolehnya, seperti India dan Brasil yang sudah terlebih dahulu mencapainya. Dengan begitu, lengkaplah mitos tentang lima kekuatan ekonomi dunia BRIIC (Brasil, Rusia, India, Indonesia, China). Seberapa solidkah skenario yang pernah dilontarkan Morgan Stanley ini?
Pertengahan tahun lalu, Japan Credit Rating Agency Ltd bahkan sudah menempatkan Indonesia pada level investasi (BBB-). Bagi para investor pasar finansial, tentu ini berita bagus. Modal asing jangka pendek (portofolio) akan terus mengalir ke pasar keuangan kita, baik di pasar uang, modal, maupun utang. Nilai tukar rupiah juga terus menguat pada kisaran Rp 8.850 per dollar AS.
Paradoksnya, daya saing produk ekspor—terutama komoditas primer—turun karena rupiah terlalu kuat. Cadangan devisa terus bertambah, sementara premi risiko investasi akan menurun. Akhir tahun ini diperkirakan cadangan devisa 120 miliar dollar AS. Perbaikan peringkat juga berpotensi menurunkan suku bunga penerbitan surat utang negara yang sekarang masih 10–12 persen untuk jangka menengah. Dengan demikian, peningkatan peringkat akan menambah amunisi moneter sekaligus menekan biaya fiskal. Apa yang merisaukan?
Perkembangan perekonomian kita tentu perlu disyukuri. Kenaikan peringkat utang akan membuat biaya untuk mendapatkan dana (cost of capital) lebih murah. Maka, logikanya, likuiditas untuk menggerakkan perekonomian, terutama sektor riil, juga akan semakin mudah. Benarkah?
Empat paradoks
Tampaknya hubungan antara sektor riil dan sektor keuangan tidak selalu positif. Ada transmisi dan pola hubungan rumit di antara keduanya, yang berakhir pada berbagai cerita paradoks.
Pertama, paradoks pertumbuhan. Pada 2010 pertumbuhan mencapai 6,1 persen, kuartal II mencapai 6,6 persen. Ekonomi yang tumbuh memberi ruang bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun, benarkah kesejahteraan meningkat?
Dilihat dari pendapatan per kapita, itu mungkin terjadi, tetapi kesenjangan juga semakin lebar. Indeks Gini yang mengukur tingkat distribusi pendapatan cenderung meningkat, sementara indeks pembangunan manusia tidak menunjukkan perbaikan berarti (peringkat ke-108 pada 2010). Maka, pertumbuhan ekonomi di satu sisi menimbulkan kesenjangan di sisi lain. Secara sektoral, telekomunikasi, jasa, perdagangan, dan keuangan tumbuh pesat, tetapi manufaktur, pertambangan, dan pertanian justru semakin menyusut.
Kedua, paradoks daya saing. Meskipun kaya sumber daya alam dan manusia, daya saing Indonesia tidak meningkat sig- nifikan. Menurut survei indeks daya saing dunia, peringkat kita memang meningkat ke posisi ke-44 tahun 2010, tetapi sejatinya tak ada perubahan mendasar untuk menjalankan usaha di Indonesia.
Indeks iklim usaha (doing business index) 2011 justru merosot ke posisi ke-121 dari posisi ke-115 tahun sebelumnya. Banyak lembaga investasi menyatakan Indonesia memiliki keuntungan demografi (demographic dividend) sehingga tahun 2025 bisa menjadi salah satu negara dengan tingkat produktivitas tertinggi di dunia. Ini karena rasio orang usia produktif terhadap orang yang tidak bekerja cukup tinggi. Pertanyaannya, sudahkah kita menyiapkan sumber daya manusia agar keuntungan demografi itu menjadi kenyataan?
Belum lagi soal sumber daya alam yang hancur karena pilihan strategi ekspor komoditas primer yang tidak tepat. Bagaimana mungkin pabrik yang berdiri di Kalimantan kekurangan listrik? Bagaimana mungkin anggaran Indonesia yang kaya minyak ini babak belur karena harga minyak di pasar dunia naik mendekati 120 dollar AS per barrel?
Ketiga, paradoks sektor usaha. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang definisi usaha mikro, kecil, dan menengah, hanya ada 0,01 unit usaha besar di Indonesia. Namun, mereka menyumbang 41,83 persen produk domestik bruto (PDB) dan 82,98 persen ekspor. Meski kecil, perannya sangat besar dalam perekonomian kita. Sementara 98,88 persen unit usaha yang bersifat mikro kesulitan mencari sumber dana.
Sektor usaha menengah di Indonesia sangat kecil, hanya sekitar 0,08 persen. Padahal, perekonomian yang kuat dan kompetitif umumnya ditopang oleh usaha menengah yang kokoh.
Keempat, paradoks likuiditas. Meskipun likuiditas melimpah, perekonomian Indonesia mengalami disintermediasi. Dunia usaha kesulitan mendapatkan pinjaman bank dengan bunga 12–14 persen, sementara instrumen pendanaan lain belum populer. Jadi, ada persoalan pendalaman sektor keuangan (financial deepening) dan inklusi finansial (financial inclusion).
Rasio deposito perbankan terhadap PDB pada 2009 hanya sekitar 0,33 persen, padahal di Vietnam sudah 0,93 persen dan Thailand 0,79 persen. Diukur dari tingkat pinjaman sektor swasta dari bank umum terhadap PDB, rasionya juga masih relatif kecil, yaitu sekitar 0,23 persen. Bandingkan dengan Vietnam yang sudah 1,10 persen dan Thailand 0,73 persen.
Jawaban politik
Berbagai paradoks yang mengemuka tentu bisa menimbulkan persoalan moral, termasuk apakah pemerintah bisa dikatakan bohong. Secara teknis paradoks tersebut akan menyulitkan kalkulasi untuk meningkatkan peringkat Indonesia pada investment grade.
Perekonomian Indonesia memang penuh potensi, tetapi juga penuh paradoks. Maka, bagi lembaga pemeringkat, salah satu pertanyaan kuncinya adalah apakah berbagai indikator makro—pertumbuhan, inflasi, suku bunga, cadangan devisa, nilai tukar, dan rasio utang—membuat iklim dunia usaha di Indonesia membaik? Jika begitu, rasio pajak terhadap PDB akan meningkat. Kenyataannya, rasio pajak kita tidak pernah naik.
Untuk mengatasi berbagai paradoks perekonomian tersebut diperlukan konsensus politik berupa perencanaan ekonomi yang konsisten dijalankan. Tanpa keberanian politik, perekonomian kita akan tetap di persimpangan jalan. Mulai dari pembangunan infrastruktur, ketersediaan sumber daya energi, perbaikan transmisi kebijakan keuangan, hingga soal pemerataan ekonomi, semua membutuhkan kekuatan politik untuk menjawabnya.
Jangan-jangan berbagai paradoks perekonomian berakar pada paradoks politik. Meski mendapat dukungan mayoritas pemilih, pemerintah justru membiarkan diri terkatung-katung dalam koalisi yang tidak jelas!
A Prasetyantoko Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Unika Atma Jaya, Jakarta
Sumber:http://cetak.kompas.com/read/2011/03/03/05054146/paradoks.perekonomian.kita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya