BERMODAL pengalaman kerja selama beberapa tahun di perkebunan sawit, ditambah ketekunan dan kerja keras, Holdy Pakpahan (54) kini menuai sukses sebagai "raja sawit" di Mesuji. Pria sederhana itu memiliki hampir 800 hektare kebun sawit di Mesuji (kabupaten baru pemekaran dari Tulangbawang) dan Bekri, Lampung Tengah.
Sekitar 200 hektare tanaman sawitnya di Mesuji telah berproduksi 12--14 ton per hektare. Kini, Pakpahan memperluas kebun dengan menambah lagi 500 ha tanaman sawit di Muara Tenang, Kecamatan Tanjungraya, Mesuji, berdampingan dengan kebun sawitnya yang telah berproduksi--sekitar 5 jam perjalanan dari Bandar Lampung.
Penanaman perdana sawit 500 hektare itu dilakukan secara simbolis oleh Pemimpin BNI Wilayah 03 Palembang M. Kosim Hariono, didampingi Pemimpin BNI (Persero) Tbk., Sentra Kredit Kecil (SKC) Bandar Lampung Minto Yuwono dan Sugiyanto (Pemimpin Risiko SKC), Selasa (7-4). Acara itu juga dihadiri 200 pekerja kebunnya.
"Mudah-mudahan nanti saya bisa mendirikan pabrik kelapa sawit sehingga makin banyak bisa menyerap tenaga kerja di sini," ujar Pakpahan di hadapan para pekerjanya saat penanaman perdana tersebut.
Pakpahan yang tinggal di Kelurahan Sepangjaya, Kedaton, Bandar Lampung adalah sosok pekerja keras yang berhasil. Baginya, tiada hari tanpa kerja keras. "Itulah prinsip hidup saya," ujar pria rendah hati itu.
Pakpahan bukan jebolan sekolah tinggi. Ia cuma pernah menduduki bangku sekolah menengah. Datang ke Lampung dari Tarutung, Sumatera Utara, tahun 1978, Pakpahan awalnya bekerja di pabrik penggilingan padi di Simbar Waringin, Lampung Tengah. Kemudian, saat kerabatnya (Humiras Panjaitan) membuka kebun sawit di Bekri, ia pun bekerja di sana.
Beberapa tahun bekerja dan belajar berkebun, Pakpahan "bermimpi" punya kebun sendiri agar tak seterusnya jadi pekerja orang lain. Demi obsesi itu, selama bekerja, ia tak mengambil gaji. "Gaji tak pernah kuambil selama enam tahun. Jatah makan kan ada, jadi buat apa saya duit," ujar petani berhati baja.
Dari tabungannya selama enam tahun itulah Pakpahan membeli lahan di Bekri. Sambil mengelola kebun sawit sendiri, ia masih tetap bekerja. Di sela-sela tanaman sawit ia tanami singkong atau palawija lain, dan sistem tumpangsari itu ternyata sangat membantu membiayai perawatan sawitnya.
Mimpi Jadi Kenyataan
Tahun 1994, Pakpahan telah memiliki 26 hektare kebun sawit di Bekri. Sebagian hasil tanam sendiri, sebagian lagi dibeli dari kerabat dan petani sekitar. Untuk mengelola kebun, Pakpahan mencari pinjaman dari kerabat dan diangsur dengan cara potong gaji.
Beberapa tahun kemudian, kebun sawitnya mulai berproduksi dengan hasil memuaskan. Setelah kebun sudah berproduksi, ia pun mulai mandiri.
Pakpahan lalu berniat memperluas kebun. Ia mencari lahan di daerah Mesuji, Tulangbawang dan berhasil memperoleh lahan 200-an hektare di beberapa lokasi. Lahan itu ditanam secara bertahap dari tahun 1998 sampai 2004.
Untuk menunjang usahanya, ia mencoba mengajukan pinjaman ke BRI. Bank pemerintah itu ternyata memberi lampu hijau dengan jaminan 26 hektare kebun sawit Pakpahan di Bekri. "Saya sudah lunasi pinjaman itu," ujar suami Sri Puryanti Panjaitan yang ia nikahi saat bekerja di Bekri.
Selain mengelola kebun sendiri, Pakpahan juga menjadi pengumpul TBS (tandan buah segar) kelapa sawit. Ia bukan hendak mengejar fulus, melainkan agar bisa berhubungan baik dengan pemilik-pemilik PKS (pabrik kelapa sawit) di Lampung. Setelah memiliki link menjual TBS ke pabrik, ia mengajukan kredit ke BCA Rp450 juta untuk meningkatkan usaha.
Setelah semua kebunnya berproduksi, Pakpahan berniat mengembangkan lagi usahanya. Selama beberapa tahun, ia beli lahan rawa-rawa bekas penebangan hutan di dekat kebun sawitnya. Ia ajak warga sekitar untuk mencetak lahan rawa seluas 500 hektare itu menjadi kebun sawit.
Bukan hal mudah mencetak lahan rawa menjadi kebun. Ia harus membuat kanal-kanal untuk mengalirkan air dari rawa ke sungai. Selain itu, dibangun tanggul tinggi agar luapan air sungai tidak masuk lahan sawit. "Kami sedang membuat kanal tiga kilometer lagi," ujar Pakpahan.
Untuk mencetak 500 hektare kebun sawit baru tak ada jalan lain kecuali mengajukan kredit bank. Gagal dapat pinjamaan dari BCA, ia mencoba ke BNI. Bank itu tertarik melihat prospek usaha dan keuletan Pakpahan. Maka, ketika ia mengajukan kredit, BNI memberi lampu hijau karena dianggap memenuhi kriteria. "Walaupun petani utun (petani tulen, red), hitung-hitungan Pak Holdy malah lebih baik dari kami," ujar Minto Yuwono.
Minto menjelaskan sejak 22 Juni 2008, Pakpahan mendapatkan fasilitas KI (kredit investasi) Rp3,5 miliar. Dana itu berupa refinancing sebagian kelapa sawit yang telah menghasilkan Rp1,4 miliar dan pembiayaan penanaman sawit 500 hektare Rp2,1 miliar.
Krisis global beberapa waktu lalu sempat "mengganggu" usaha Pakpahan. Menurut Minto, meskipun harga TBS pernah turun dari Rp1.900/kg menjadi Rp600/kg, Pakpahan bisa memenuhi kewajibannya ke bank dengan baik. Bahkan, ia terus melanjutkan progres perluasan kebun sawitnya. "Apalagi saat ini harga meningkat lebih dari Rp1.300/kg," ujar Minto.
Satu Obsesi Lagi
Lokasi kebun milik Pakpahan di Mesuji tergolong strategis. Berdekatan dengan tiga pabrik kelapa sawit (PKS), yaitu milik CV Bumi Waras, PT Lampung Indah Pertiwi, dan PT Sumber Indah Perkasa (SIP). Dengan demikian, ongkos transportasi buah sawitnya bisa ditekan.
Apa resep sukses Pakpahan? Pria berpenampilan dan bicara seadanya ini fokus terhadap usaha. Ketika kondisi ekonominya telah bercukupan, ia tidak mau bermewah-mewah. Hasil kebunnya itu terus digunakan mengelola dan mengembangkan usaha. "Saya bisanya cuma tani. Kalau tani ya ngurus®MDUL¯ kebun, ora neko-neko," ujarnya merendah.
Kini budaya kerja keras dan prinsipnya yang tak kenal menyerah itu berbuah sukses. Untuk meneruskan usahanya, ia telah menyiapkan kedua putranya (Donny Fernando Pakpahan dan Debby Parsaoran Pakpahan) yang lulusan D-3 Pertanian dan D-3 Ekonomi.
Beberapa tahun terakhir, Donny dan Debby setiap hari ikut berjibaku di kebun sawit. "Anak saya tidak saya bolehkan jadi PNS (pegawai negeri sipil). Kalau mereka jadi PNS, siapa nanti yang mengurus kebun itu."
Setelah memiliki hampir 800 hektare kebun sawit, masih ada lagi obsesinya. Di masa mendatang, ia berencana membuat pabrik kelapa sawit yang bahan bakunya dari kebun sawit miliknya itu. "Mudah-mudahan bisa tercapai, doakan saja ya!" kata Pakpahan.
Sekitar 200 hektare tanaman sawitnya di Mesuji telah berproduksi 12--14 ton per hektare. Kini, Pakpahan memperluas kebun dengan menambah lagi 500 ha tanaman sawit di Muara Tenang, Kecamatan Tanjungraya, Mesuji, berdampingan dengan kebun sawitnya yang telah berproduksi--sekitar 5 jam perjalanan dari Bandar Lampung.
Penanaman perdana sawit 500 hektare itu dilakukan secara simbolis oleh Pemimpin BNI Wilayah 03 Palembang M. Kosim Hariono, didampingi Pemimpin BNI (Persero) Tbk., Sentra Kredit Kecil (SKC) Bandar Lampung Minto Yuwono dan Sugiyanto (Pemimpin Risiko SKC), Selasa (7-4). Acara itu juga dihadiri 200 pekerja kebunnya.
"Mudah-mudahan nanti saya bisa mendirikan pabrik kelapa sawit sehingga makin banyak bisa menyerap tenaga kerja di sini," ujar Pakpahan di hadapan para pekerjanya saat penanaman perdana tersebut.
Pakpahan yang tinggal di Kelurahan Sepangjaya, Kedaton, Bandar Lampung adalah sosok pekerja keras yang berhasil. Baginya, tiada hari tanpa kerja keras. "Itulah prinsip hidup saya," ujar pria rendah hati itu.
Pakpahan bukan jebolan sekolah tinggi. Ia cuma pernah menduduki bangku sekolah menengah. Datang ke Lampung dari Tarutung, Sumatera Utara, tahun 1978, Pakpahan awalnya bekerja di pabrik penggilingan padi di Simbar Waringin, Lampung Tengah. Kemudian, saat kerabatnya (Humiras Panjaitan) membuka kebun sawit di Bekri, ia pun bekerja di sana.
Beberapa tahun bekerja dan belajar berkebun, Pakpahan "bermimpi" punya kebun sendiri agar tak seterusnya jadi pekerja orang lain. Demi obsesi itu, selama bekerja, ia tak mengambil gaji. "Gaji tak pernah kuambil selama enam tahun. Jatah makan kan ada, jadi buat apa saya duit," ujar petani berhati baja.
Dari tabungannya selama enam tahun itulah Pakpahan membeli lahan di Bekri. Sambil mengelola kebun sawit sendiri, ia masih tetap bekerja. Di sela-sela tanaman sawit ia tanami singkong atau palawija lain, dan sistem tumpangsari itu ternyata sangat membantu membiayai perawatan sawitnya.
Mimpi Jadi Kenyataan
Tahun 1994, Pakpahan telah memiliki 26 hektare kebun sawit di Bekri. Sebagian hasil tanam sendiri, sebagian lagi dibeli dari kerabat dan petani sekitar. Untuk mengelola kebun, Pakpahan mencari pinjaman dari kerabat dan diangsur dengan cara potong gaji.
Beberapa tahun kemudian, kebun sawitnya mulai berproduksi dengan hasil memuaskan. Setelah kebun sudah berproduksi, ia pun mulai mandiri.
Pakpahan lalu berniat memperluas kebun. Ia mencari lahan di daerah Mesuji, Tulangbawang dan berhasil memperoleh lahan 200-an hektare di beberapa lokasi. Lahan itu ditanam secara bertahap dari tahun 1998 sampai 2004.
Untuk menunjang usahanya, ia mencoba mengajukan pinjaman ke BRI. Bank pemerintah itu ternyata memberi lampu hijau dengan jaminan 26 hektare kebun sawit Pakpahan di Bekri. "Saya sudah lunasi pinjaman itu," ujar suami Sri Puryanti Panjaitan yang ia nikahi saat bekerja di Bekri.
Selain mengelola kebun sendiri, Pakpahan juga menjadi pengumpul TBS (tandan buah segar) kelapa sawit. Ia bukan hendak mengejar fulus, melainkan agar bisa berhubungan baik dengan pemilik-pemilik PKS (pabrik kelapa sawit) di Lampung. Setelah memiliki link menjual TBS ke pabrik, ia mengajukan kredit ke BCA Rp450 juta untuk meningkatkan usaha.
Setelah semua kebunnya berproduksi, Pakpahan berniat mengembangkan lagi usahanya. Selama beberapa tahun, ia beli lahan rawa-rawa bekas penebangan hutan di dekat kebun sawitnya. Ia ajak warga sekitar untuk mencetak lahan rawa seluas 500 hektare itu menjadi kebun sawit.
Bukan hal mudah mencetak lahan rawa menjadi kebun. Ia harus membuat kanal-kanal untuk mengalirkan air dari rawa ke sungai. Selain itu, dibangun tanggul tinggi agar luapan air sungai tidak masuk lahan sawit. "Kami sedang membuat kanal tiga kilometer lagi," ujar Pakpahan.
Untuk mencetak 500 hektare kebun sawit baru tak ada jalan lain kecuali mengajukan kredit bank. Gagal dapat pinjamaan dari BCA, ia mencoba ke BNI. Bank itu tertarik melihat prospek usaha dan keuletan Pakpahan. Maka, ketika ia mengajukan kredit, BNI memberi lampu hijau karena dianggap memenuhi kriteria. "Walaupun petani utun (petani tulen, red), hitung-hitungan Pak Holdy malah lebih baik dari kami," ujar Minto Yuwono.
Minto menjelaskan sejak 22 Juni 2008, Pakpahan mendapatkan fasilitas KI (kredit investasi) Rp3,5 miliar. Dana itu berupa refinancing sebagian kelapa sawit yang telah menghasilkan Rp1,4 miliar dan pembiayaan penanaman sawit 500 hektare Rp2,1 miliar.
Krisis global beberapa waktu lalu sempat "mengganggu" usaha Pakpahan. Menurut Minto, meskipun harga TBS pernah turun dari Rp1.900/kg menjadi Rp600/kg, Pakpahan bisa memenuhi kewajibannya ke bank dengan baik. Bahkan, ia terus melanjutkan progres perluasan kebun sawitnya. "Apalagi saat ini harga meningkat lebih dari Rp1.300/kg," ujar Minto.
Satu Obsesi Lagi
Lokasi kebun milik Pakpahan di Mesuji tergolong strategis. Berdekatan dengan tiga pabrik kelapa sawit (PKS), yaitu milik CV Bumi Waras, PT Lampung Indah Pertiwi, dan PT Sumber Indah Perkasa (SIP). Dengan demikian, ongkos transportasi buah sawitnya bisa ditekan.
Apa resep sukses Pakpahan? Pria berpenampilan dan bicara seadanya ini fokus terhadap usaha. Ketika kondisi ekonominya telah bercukupan, ia tidak mau bermewah-mewah. Hasil kebunnya itu terus digunakan mengelola dan mengembangkan usaha. "Saya bisanya cuma tani. Kalau tani ya ngurus®MDUL¯ kebun, ora neko-neko," ujarnya merendah.
Kini budaya kerja keras dan prinsipnya yang tak kenal menyerah itu berbuah sukses. Untuk meneruskan usahanya, ia telah menyiapkan kedua putranya (Donny Fernando Pakpahan dan Debby Parsaoran Pakpahan) yang lulusan D-3 Pertanian dan D-3 Ekonomi.
Beberapa tahun terakhir, Donny dan Debby setiap hari ikut berjibaku di kebun sawit. "Anak saya tidak saya bolehkan jadi PNS (pegawai negeri sipil). Kalau mereka jadi PNS, siapa nanti yang mengurus kebun itu."
Setelah memiliki hampir 800 hektare kebun sawit, masih ada lagi obsesinya. Di masa mendatang, ia berencana membuat pabrik kelapa sawit yang bahan bakunya dari kebun sawit miliknya itu. "Mudah-mudahan bisa tercapai, doakan saja ya!" kata Pakpahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya