Jumat, 04 September 2009

HUTAN: KEKAYAAN WARGA DESA UNTUK MENGATASI KELAPARAN

Pangan adalah kebutuhan pokok untuk kelangsungan hidup setiap manusia. Pangan yang cukup jumlah dan mutunya diperlukan oleh bayi untuk pertumbuhan fisik dan kecerdasannya. Pangan terus diperlukan hingga sesorang menjadi tua agar memiliki tenaga dan tidak mudah terserang penyakit. Karena fungsinya yang sangat penting, pangan diakui sebagai hak asasi manusia.


Meskipun pangan diakui sebagai hak asasi manusia, kenyataan menunjukkan masih banyak penduduk Indonesia yang kekurangan pangan. Peta Kerawanan Pangan Indonesia tahun 2005 menunjukkan adanya 100 kabupaten rawan pangan dari 265 kabupaten di Indonesia. Anak-anak di bawah usia lima tahun (Balita) dan perempuan merupakan kelompok yang paling menderita karena kelaparan. SUSENAS 2003 mencatat adanya sekitar 5,1 juta (27,5%) anak balita yang kekurangan gizi. Dari jumlah itu 1,55 juta (8,3%) di antaranya menderita gizi buruk dan 3,57 juta (19,2%) menderita gizi kurang. Sementara Departemen Kesehatan mencatat adanya 2,5 juta (40,1%) ibu hamil, 4 juta (26,4%) perempuan usia subur yang menderita anemia.

Laporan FAO tahun 2004 memperkirakan adanya 852 juta penduduk dunia yang kekurangan pangan selama tahun 2000 - 2002. Sebagian besar penduduk kelaparan itu tinggal di negara-negara sedang berkembang yakni sebanyak 815 juta orang. Sekitar 75 persen dari mereka yang lapar adalah penduduk pedesaan. Laporan FAO tahun 2005 bahkan mengungkap fakta tragis tentang kelaparan dan kurang gizi yang membunuh hampir 6 juta anak-anak setiap tahunnya. Angka itu setara dengan jumlah anak pra sekolah di sebuah negara besar seperti Jepang. Sementara sekitar 530.000 perempuan meninggal selama kehamilan dan setelah melahirkan.
Hutan Kaya Sumber Pangan

Kelaparan dan kemiskinan yang diderita jutaan rakyat Indonesia merupakan buah dari pengabaian terhadap pangan lokal yang sejak berbad-abad lalu telah memberi makan dan kehidupan rakyat Indonesia. Bangsa Indonesia mestinya bersyukur karena dikaruniai ribuan pulau dan laut yang luas tempat hidup dan berkembanganya beranekaragam jenis flora dan fauna yang menjadi penyedia berbagai bahan pangan dan kebutuhan dasar manusia. Meskipun hanya menempati 1,3% daratan dunia namun di dalamnya terdapat sekitar 17% spesies yang ada di bumi. Hutan Indonesia ditumbuhi 11% spesies tanaman, dihuni 12% mamalia, 15% reptil dan amfibi dan 17% burung. Hutan-hutan tersebut juga memberikan banyak macam produk seperti kayu, buah, sayuran, kacang-kacangan, rempah-rempah, obat-obatan, parfum, minyak, biji-bijian, makanan ternak, serat, bahan pewarna, bahan pengawet dan pestisida. Lebih dari 6.000 spesies tanaman dan hewan digunakan oleh masyarakat Indonesia dalam kehidupan sehari-hari.

Indonesia merupakan salah satu di antara tiga mega-biodiversity dunia yang memiliki berbagi spesies tanaman pangan dan obat tradisional. Ada lebih 100 spesies tanaman biji-bijian, sagu dan umbi-umbian penghasil tepung dan gula. Juga lebih dari 100 spesies tanaman kacang-kacangan sebagai sumber protein dan lemak. 450 spesies tanaman buah-buahan sumber vitamin dan mineral. Tersedia lebih dari 250 spesies tanaman sayur-sayuran sebagai sumber vitamin dan mineral. 70 spesies tanaman bumbu dan rempah-rempah. Juga 40 spesies tanaman bahan minuman dan 940 spesies tanaman bahan obat tradisional

Nenek moyang kita secara turun menurun memanfaatkan produk-produk hutan, baik kayu maupun bukan kayu. Sekitar 250 kelompok etnik dan bahasa lokal tinggal di dalam dan sekitar hutan Indonesia telah mengelola beraneka sumberdaya alam secara arif untuk menjamin kesinambungan pemanfaatannya. Sumber daya itu juga merupakan jaring pengaman sosial-ekonomi ketika gagal panen atau pekerjaan upahan tidak ada.

Sebelum kolonialisme datang, warga desa di Nusantara telah mengembangkan sistem perladangan dan persawahan. Ladang terutama dikembangkan oleh suku-suku di luar Jawa untuk membudidayakan berbagai tanaman penghasil bahan makanan dan bahan yang bermanfaat lainnya di dalam atau sekitar hutan tropis yang sangat luas. Sementara itu masyarakat pedesaan di lembah-lembah sungai di sekitar gunung berapi, khususnya di pulau Jawa, mengembangkan sistem persawahan. Kerja keras mereka kemudian membuahkan kemakmuran dan menjadi landasan berkembang dan jayanya berbagai kerajaan di pulau-pulau Nusantara.
Komersialisasi Pertanian dan Robohnya Pangan Lokal

Penjajahan bangsa Barat merupakan titik balik sejarah pertanian-pangan kita. Sistem pertanian-pangan masyarakat yang bertujuan utama untuk memenuhi kebutuhan sendiri kemudian diubah menjadi pertanian komersial untuk ekspor. Tanah dan tenaga kerja dimobilisir untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor seperti tebu, nila, kopi, tembakau dan lainnya. Sementara sektor pertanian keluarga, industri rumah tangga dan perdagangan pribumi cenderung tetap atau bahkan merosot.

Kebijakan pengelolaan sumberdaya agraria yang eksploitatif dan bertumpu pada perusahaan tambang, kehutanan dan kelautan tidak hanya merusak keanekaragaman sumber pangan tetapi juga meminggirkan peran masyarakat. Demikian juga kebijakan Revolusi Hijau yang dijalankan rejim Orde Baru yang difokuskan pada peningkatan produksi dan distribusi padi. Revolusi Hijau semakin meningkatkan pemusatan penguasaan lahan pertanian, ketergantungan petani terhadap input pertanian pabrikan, kerusakan lingkungan pertanian, beras menjadi pangan pokok satu-satunya, terpinggirkannya peran perempuan petani, serta hilangnya kemandirian dan kedaulatan petani.

Di jaman reformasi dan globalisasi ini, pemenuhan kebutuhan penduduk yang terus meningkat akan pangan terus menjadi persoalan besar kita. Impor berbagai jenis pangan terus meningkat. Kelaparan dan kemiskinan terus bertambah. Telah 8 tahun Rejim berganti tetapi belum ada tanda-tanda perbaikan pemenuhan hak rakyat atas pangan. Belum ada keseriusan dan terobosan dari pemerintah untuk membebaskan bangsa Indonesia dari jebakan ketergantungan pangan dan lingkaran kelaparan-kemiskinan. Jika keadaan ini terus dibiarkan maka cepat atau lambat kekurangan pangan dan kelaparan massal akan menjadi bencana bagi Indonesia.

Solidaritas Membangun Pangan Lokal

Sebelum kelaparan semakin memburuk, sekarang saatnya membangun sistem pangan yang berbasis sumberdaya dan kelembagaan lokal. Kami menyerukan kepada Pemerintah selaku pemegang amanat penderitaan rakyat serta masyarakat dan swasta untuk bahu-membahu membangun kembali sistem pangan lokal, sistem pangan rakyat. Bukan sistem pangan yang dikuasai dan dikendalikan perusahaan multi nasional.
Dukungan berbagai elemen bangsa sangat diperlukan sehingga semua unsur masyarakat baiak petani, nelayan, masyarakat adat, masyarakat miskin kota, perempuan dan sebagainya dapat bekerja bersama mewujudkan kemandirian dan kedaulatan pangan.

Langkah-langkah penting yang patut dilakukan bersama untuk membangun kembali sistem pangan lokal antara lain:

  1. Menata ulang sumber-sumber produksi pangan melalui reforma agraria agar tanah, air, laut, hutan, benih, pupuk, dan modal berada di tangan petani.
  2. Mengembangkan pertanian terpadu yang berkelanjutan dalam rangka membudidayakan aneka tanaman pangan lokal dan ternak.
  3. Melindungi pasar pangan dalam negeri serta mendukung pemasaran produk pangan petani di pasar lokal, daerah dan nasional.
  4. Mengembangkan pola konsumsi pangan lokal yang beranekaragam, bergizi dan aman.

Semua langkah itu secara bertahap akan menjawab masalah kelaparan di tingkat keluarga, masyarakat, daerah dan nasional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...