Pada tanggal 19-30 Mei 2008, di Bonn (Jerman) berlangsung Ninth Meeting of the Conference of the Parties to the Convention on Biological Diversity (COP9 CBD). Pertemuan ini dihadiri oleh perwakilan negara negara dunia yang ikut meratifikasi CBD untuk melakukan perundingan untuk menghasilkan kesepakatan apa dan bagaimana CBD bisa diimplementasikan.
COP9 CBD merupakan salah satu perundingan internasional yang inklusif karena memberikan ruang besar bagi para pihak selain pemerintah seperti organisasi masyarakat sipil untuk ikut memberikan masukan di hampir seluruh sidang sidangnya. Isu keanekaragaman hayati sangat dekat dengan persoalan pertanian sehingga implikasi dari CBD sangat penting bagi perkembangan dunia pertanian.
Isu pertanian dalam kerangka CBD secara khusus dibahas pada agenda item 3.1 mengenai Agricultural Biodiversity atau keanekaragaman hayati di pertanian. Isu agricultural biodiversity yang dalam konferensi sebelumnya berlangsung “biasa biasa saja” pada COP9 CBD menjadi sangat penting dan mendapatkan perhatian para peserta maupun publik secara luas. Hal ini disebabkan karena: pertama, situasi krisis pangan global saat ini dimana terjadi lonjakan harga pangan yang mengguncangkan situasi sosial, ekonomi dan politik negara negara di dunia dan kedua, adanya new emerging issue yaitu masalah pengembangan biofuel untuk mengurangi penggunaan fosil fuel dalam kerangka perubahan iklim global.
Dalam teks agenda item 3.1, pada intinya terdiri dari beberapa komponen yaitu : isu isu teknis agrobiodiversity, kerangka kerjasama dan kelembagaan, serta emerging issue seperti biofuel. Isu isu teknis agrobiodiversity seperti apa dan pentingnya agrobiodiversity, pertanian ekologis dan sebagainya tidak mengalami persilangan pendapat yang serius dalam negosiasi karena sebagian besar negara dalam pandangan yang relatif sama. Beberapa tambahan materi terutama adalah kontekstualisasi untuk menghadapi tantangan krisis pangan dan perubahan iklim. Untuk isu kerjasama dan kelembagaan sangat nampak bahwa peningkatan peran peran FAO dalam pengembangan agrobiodiversity menjadi diperluas, dan hal ini pun tidak ada kontroversi yang berarti.
Kontroversi terbesar dan paling serius adalah pada masalah biofuel. Pada awal perundingan sudah mulai terjadi perbedaan pendapat antara negara negara apakah isu biofuel dibahas secara terpisah atau masuk dalam kerangka agrobiodiversity. Pada setiap paragraph teks terjadi persilangan pendapat baik yang substansial maupun politik. Isu ini menjadi sangat politis karena terkait dengan isu perdagangan alias melibatkan arus modal dan investasi.
Peta Perundingan Masalah Biofuel
Dengan adanya konvensi perubahan iklim maka negara maju seperti Uni Eropa telah menetapkan subsidi dan kebijakan untuk merubah penggunaan fosil fuel menjadi biofuel. Hal ini meningkatkan potensi pasar di negara utara untuk produk biofuel, dimana dari segi luasan lahan dan sumberdaya justru lebih berpotensi untuk di produksi di negara negara selatan. Sementara itu dari perspektif lingkungan perluasan produksi biofuel merupakan ancaman bagi degradasi ekosistem alami seperti hutan tropis. Dalam perspektif pangan isu biofuel menjadi kontroversi karena meningkatkan kompetisi lahan untuk pertanian dan energi, dan diindikasi sebagai penyebab kenaikan harga pangan global.
Negara seperti Brazil telah mulai lama mengembangkan kebijakan produksi energi dari pertanian seperti bioetanol dari jagung, yang didukung oleh kebijakan nasional mereka secara komprehensif. Brazil sangat menentang produksi biofuel dikaitkan dengan kenaikan harga pangan dan kerusakan lingkungan hidup. Mereka sangat berkepentingan untuk meningkatkan market acces biofuel di pasaran intenasional. Negara yang punya potensi pengembangan biofuel seperti Malaysia dimana merupakan produsen kelapa sawit sangat mendukung posisi Brazil karena mereka memiliki kesempatan untuk mengisi pasar internasional dari produksi biofuel dari kelapa sawit.
Negara Eropa, Kanada dan Australia sangat berkepentingan untuk mendorong penetapan kriteria, standart dan sertifikasi diatur dalam kerangka CBD. Selain karena keinginan untuk memperoleh kualitas biofuel yang bermutu, mereka juga ingin melindungi produsen biofuel di negara mereka. Mereka menginginkan CBD turut menjadi acuan bagi produksi biofuel sehingga memenuhi standar dan kebutuhan mereka, namun menggunakan jargon lingkungan dan perubahan iklim sebagai alat negosiasi.
Negara-negara Afrika secara umum sangat kritis terhadap biofuel karena mereka masih punya kepentingan terhadap masalah pangan. Mereka tidak ingin investasi biofuel akan mengurangi produksi pangan. Selain itu mereka memiliki indegenous communities yang sangat terkait dengan kelestarian hutan dan lingkungan hidup. Afrika sangat menentang biofuel karena mereka tidak ingin mengembangkannya dalam skala luas di negara negara mereka. Oleh karenanya mereka sangat menekankan prinsip kehati hatian dan mendukung penetapan kriteria, standar dan sertifikasi yang sangat ketat terhadap pengembangan biofuel.
Posisi Indonesia Indonesia
dalam posisi yang relatif sulit karena tidak memiliki platform kebijakan yang tegas dalam pengembangan biofuel. Pada satu sisi telah ada kebijakan nasional dalam bentuk Keppres No 5 tahun 2006 tentang kebijakan energi dimana didalamnya tercantum target pengembangan biofuel. Indonesia juga telah membentuk Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati untuk mendukung pengembangan produksi, investasi dan perluasan penggunaan bahan bakar nabati sebagai substitusi dari bahan bakar minyak.
Pada sisi yang lain Indonesia juga disorot sebagai salah satu negara yang mengalami kerusakan hutan yang parah, dan pemain aktif dalam negosiasi perubahan iklim dalam kerangkan UNFCCC. Perluasan perkebunan sawit di Indonesia juga diindikasi telah merusak ekosistem hutan tropis di berbagai propinsi terutama di Kalimantan.
Sementara itu Indonesia sangat penting untuk melihat dampak pengembangan biofuel terhadap pertanian dan pangan karena memiliki jumlah penduduk yang sangat besar dimana pangan masih menjadi problem serius. Penggunaan minyak sawit yang memiliki nisbah input output yang tinggi dan potensial untuk biofuel, namun disisi lain kebutuhan minyak sawit untuk pangan juga sangat besar dan merupakan produk sensitif secara sosial ekonomi dan politik. Sementara itu problem kelembagaan seperti koordinasi dan sinkronisasi program antar departemen masih merupakan hal yang sangat lazim di Indonesia.
Dalam konteks ini situasi ketidaksiapan dalam perundingan sangat nampak, sehingga posisi yang diambil menjadi sangat pragmatis serta kesulitan dalam mengembangkan strategi negosiasi dalam COP9 CBD. Dalam konteks isu pengembangan biofuel, Indonesia mengambil posisi yang selaras dengan Brazil dan Malaysia, serta dikeroyok rame rame oleh negara lain. Indonesia nampaknya mengambil posisi untuk melihat bahwa biofuel adalah peluang pasar, dan telah memulai berinisiatif dalam pengembangan biofuel. Indonesia menolak kriteria, standar dan sertifikasi ditetapkan dalam kerangka CBD karena tidak ingin menjadi trade barrier yang baru serta merasa bahwa industri biofuel nasional belum siap untuk menuju kearah itu. Indonesia mengusulkan bahwa notifikasi di CBD bersifat voluntary guidelines dan best practices serta menolak syarat yang ketat.
Indonesia mengikuti langgam dari Brazil dalam negosiasi sehingga seperti kurang memperhatikan nature perbedaan antara kesiapan Brazil dan situasi kesiapan perangkat kebijakan dan peran kelembagaan di dalam negeri Indonesia. Hal ini penting menjadi catatan karena Brazil memang sudah jauh lebih maju dibanding Indonesia dalam pengembangan biofuel.
Beberapa kontradiksi posisi Indonesia juga terjadi ketika Indonesia dalam posisi menginginkan bahwa mandat pembahasan biofuel patut diserahkan ke WTO karena merupakan isu perdagangan, namun disisi lain Indonesia menginginkan pembahasan biofuel merupakan bagian dari agriculture biodiversity yang artinya bisa dibahas dalam kerangka CBD.
Dengan situasi seperti tersebut maka pekerjaan besar justru pada tingkat nasional, dimana dihadapkan pada kendala kelembagaan yang serius. Isu biofuel dalam kerangka kebijakan merupakan urusan departemen pertanian dari sisi produksi, menyangkut dampak terhadap hutan dalam konteks kepentingan departemen kehutanan, serta bagian dari pengembangan energi alternatif dalam konteks departemen pertambangan dan energi, sementara itu focal point untuk pembahasan biofel di CBD adalah kementrian negara lingkungan hidup !?!
COP9 CBD merupakan salah satu perundingan internasional yang inklusif karena memberikan ruang besar bagi para pihak selain pemerintah seperti organisasi masyarakat sipil untuk ikut memberikan masukan di hampir seluruh sidang sidangnya. Isu keanekaragaman hayati sangat dekat dengan persoalan pertanian sehingga implikasi dari CBD sangat penting bagi perkembangan dunia pertanian.
Isu pertanian dalam kerangka CBD secara khusus dibahas pada agenda item 3.1 mengenai Agricultural Biodiversity atau keanekaragaman hayati di pertanian. Isu agricultural biodiversity yang dalam konferensi sebelumnya berlangsung “biasa biasa saja” pada COP9 CBD menjadi sangat penting dan mendapatkan perhatian para peserta maupun publik secara luas. Hal ini disebabkan karena: pertama, situasi krisis pangan global saat ini dimana terjadi lonjakan harga pangan yang mengguncangkan situasi sosial, ekonomi dan politik negara negara di dunia dan kedua, adanya new emerging issue yaitu masalah pengembangan biofuel untuk mengurangi penggunaan fosil fuel dalam kerangka perubahan iklim global.
Dalam teks agenda item 3.1, pada intinya terdiri dari beberapa komponen yaitu : isu isu teknis agrobiodiversity, kerangka kerjasama dan kelembagaan, serta emerging issue seperti biofuel. Isu isu teknis agrobiodiversity seperti apa dan pentingnya agrobiodiversity, pertanian ekologis dan sebagainya tidak mengalami persilangan pendapat yang serius dalam negosiasi karena sebagian besar negara dalam pandangan yang relatif sama. Beberapa tambahan materi terutama adalah kontekstualisasi untuk menghadapi tantangan krisis pangan dan perubahan iklim. Untuk isu kerjasama dan kelembagaan sangat nampak bahwa peningkatan peran peran FAO dalam pengembangan agrobiodiversity menjadi diperluas, dan hal ini pun tidak ada kontroversi yang berarti.
Kontroversi terbesar dan paling serius adalah pada masalah biofuel. Pada awal perundingan sudah mulai terjadi perbedaan pendapat antara negara negara apakah isu biofuel dibahas secara terpisah atau masuk dalam kerangka agrobiodiversity. Pada setiap paragraph teks terjadi persilangan pendapat baik yang substansial maupun politik. Isu ini menjadi sangat politis karena terkait dengan isu perdagangan alias melibatkan arus modal dan investasi.
Peta Perundingan Masalah Biofuel
Dengan adanya konvensi perubahan iklim maka negara maju seperti Uni Eropa telah menetapkan subsidi dan kebijakan untuk merubah penggunaan fosil fuel menjadi biofuel. Hal ini meningkatkan potensi pasar di negara utara untuk produk biofuel, dimana dari segi luasan lahan dan sumberdaya justru lebih berpotensi untuk di produksi di negara negara selatan. Sementara itu dari perspektif lingkungan perluasan produksi biofuel merupakan ancaman bagi degradasi ekosistem alami seperti hutan tropis. Dalam perspektif pangan isu biofuel menjadi kontroversi karena meningkatkan kompetisi lahan untuk pertanian dan energi, dan diindikasi sebagai penyebab kenaikan harga pangan global.
Negara seperti Brazil telah mulai lama mengembangkan kebijakan produksi energi dari pertanian seperti bioetanol dari jagung, yang didukung oleh kebijakan nasional mereka secara komprehensif. Brazil sangat menentang produksi biofuel dikaitkan dengan kenaikan harga pangan dan kerusakan lingkungan hidup. Mereka sangat berkepentingan untuk meningkatkan market acces biofuel di pasaran intenasional. Negara yang punya potensi pengembangan biofuel seperti Malaysia dimana merupakan produsen kelapa sawit sangat mendukung posisi Brazil karena mereka memiliki kesempatan untuk mengisi pasar internasional dari produksi biofuel dari kelapa sawit.
Negara Eropa, Kanada dan Australia sangat berkepentingan untuk mendorong penetapan kriteria, standart dan sertifikasi diatur dalam kerangka CBD. Selain karena keinginan untuk memperoleh kualitas biofuel yang bermutu, mereka juga ingin melindungi produsen biofuel di negara mereka. Mereka menginginkan CBD turut menjadi acuan bagi produksi biofuel sehingga memenuhi standar dan kebutuhan mereka, namun menggunakan jargon lingkungan dan perubahan iklim sebagai alat negosiasi.
Negara-negara Afrika secara umum sangat kritis terhadap biofuel karena mereka masih punya kepentingan terhadap masalah pangan. Mereka tidak ingin investasi biofuel akan mengurangi produksi pangan. Selain itu mereka memiliki indegenous communities yang sangat terkait dengan kelestarian hutan dan lingkungan hidup. Afrika sangat menentang biofuel karena mereka tidak ingin mengembangkannya dalam skala luas di negara negara mereka. Oleh karenanya mereka sangat menekankan prinsip kehati hatian dan mendukung penetapan kriteria, standar dan sertifikasi yang sangat ketat terhadap pengembangan biofuel.
Posisi Indonesia Indonesia
dalam posisi yang relatif sulit karena tidak memiliki platform kebijakan yang tegas dalam pengembangan biofuel. Pada satu sisi telah ada kebijakan nasional dalam bentuk Keppres No 5 tahun 2006 tentang kebijakan energi dimana didalamnya tercantum target pengembangan biofuel. Indonesia juga telah membentuk Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati untuk mendukung pengembangan produksi, investasi dan perluasan penggunaan bahan bakar nabati sebagai substitusi dari bahan bakar minyak.
Pada sisi yang lain Indonesia juga disorot sebagai salah satu negara yang mengalami kerusakan hutan yang parah, dan pemain aktif dalam negosiasi perubahan iklim dalam kerangkan UNFCCC. Perluasan perkebunan sawit di Indonesia juga diindikasi telah merusak ekosistem hutan tropis di berbagai propinsi terutama di Kalimantan.
Sementara itu Indonesia sangat penting untuk melihat dampak pengembangan biofuel terhadap pertanian dan pangan karena memiliki jumlah penduduk yang sangat besar dimana pangan masih menjadi problem serius. Penggunaan minyak sawit yang memiliki nisbah input output yang tinggi dan potensial untuk biofuel, namun disisi lain kebutuhan minyak sawit untuk pangan juga sangat besar dan merupakan produk sensitif secara sosial ekonomi dan politik. Sementara itu problem kelembagaan seperti koordinasi dan sinkronisasi program antar departemen masih merupakan hal yang sangat lazim di Indonesia.
Dalam konteks ini situasi ketidaksiapan dalam perundingan sangat nampak, sehingga posisi yang diambil menjadi sangat pragmatis serta kesulitan dalam mengembangkan strategi negosiasi dalam COP9 CBD. Dalam konteks isu pengembangan biofuel, Indonesia mengambil posisi yang selaras dengan Brazil dan Malaysia, serta dikeroyok rame rame oleh negara lain. Indonesia nampaknya mengambil posisi untuk melihat bahwa biofuel adalah peluang pasar, dan telah memulai berinisiatif dalam pengembangan biofuel. Indonesia menolak kriteria, standar dan sertifikasi ditetapkan dalam kerangka CBD karena tidak ingin menjadi trade barrier yang baru serta merasa bahwa industri biofuel nasional belum siap untuk menuju kearah itu. Indonesia mengusulkan bahwa notifikasi di CBD bersifat voluntary guidelines dan best practices serta menolak syarat yang ketat.
Indonesia mengikuti langgam dari Brazil dalam negosiasi sehingga seperti kurang memperhatikan nature perbedaan antara kesiapan Brazil dan situasi kesiapan perangkat kebijakan dan peran kelembagaan di dalam negeri Indonesia. Hal ini penting menjadi catatan karena Brazil memang sudah jauh lebih maju dibanding Indonesia dalam pengembangan biofuel.
Beberapa kontradiksi posisi Indonesia juga terjadi ketika Indonesia dalam posisi menginginkan bahwa mandat pembahasan biofuel patut diserahkan ke WTO karena merupakan isu perdagangan, namun disisi lain Indonesia menginginkan pembahasan biofuel merupakan bagian dari agriculture biodiversity yang artinya bisa dibahas dalam kerangka CBD.
Dengan situasi seperti tersebut maka pekerjaan besar justru pada tingkat nasional, dimana dihadapkan pada kendala kelembagaan yang serius. Isu biofuel dalam kerangka kebijakan merupakan urusan departemen pertanian dari sisi produksi, menyangkut dampak terhadap hutan dalam konteks kepentingan departemen kehutanan, serta bagian dari pengembangan energi alternatif dalam konteks departemen pertambangan dan energi, sementara itu focal point untuk pembahasan biofel di CBD adalah kementrian negara lingkungan hidup !?!
oleh:David Ardhian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya