Oleh: Chris Patten
Groucho Marx adalah seorang Marxis favorit saya. Salah satu banyolan pelawak ini menghunjam ke jantung kegagalan ideologi--agama dogmatis--yang dibawakan penyandang nama serupa: Karl Marx. "Siapa yang hendak kau percayai," Groucho pernah bertanya, "saya atau matamu sendiri?" Bagi ratusan juta warga di negara-negara yang diperintah kaum komunis pada abad ke-20 yang lalu, "saya" yang dimaksudkan Groucho dalam pertanyaannya adalah diktator atau oligarki yang totaliter atau otoriter. Tidak peduli apa yang Anda bisa lihat dengan mata Anda sendiri, Anda harus menerima apa yang mereka katakan kepada Anda. Realitas adalah apa yang dikatakan partai.
Hua Guofeng, tokoh partai yang ditunjuk menggantikan Mao Zedong di Cina, mengangkat sikap seperti itu ke dalam suatu bentuk seni. Ia dikenal sebagai seorang seniman "apa pun". Partai dan rakyat harus mengikuti dan melakukan apa pun yang diperintahkan Mao.
Groucho mengajukan dua persoalan yang tidak terpisahkan kepada kaum komunis apa pun ini. Pertama, matamu sendiri dan nalarmu kelak pasti akan mengatakan kepadamu bahwa dunia yang indah seperti dibayangkan komunisme--melajunya negara dan terpenuhinya segala keinginan--tidak akan pernah terwujud. Komunisme, seperti ufuk, selalu berada di luar jangkauan. Menarik untuk diketahui seberapa banyak mereka yang mengikuti pelatihan pada Lembaga Pendidikan Partai di Beijing itu yakin bahwa negara Cina segera melaju atau tak melaju sama sekali.
Persoalan kedua yang diajukan Groucho adalah bahwa rakyat yang hidup di negara-negara komunis itu akhirnya pasti bakal sadar bahwa hilangnya kebebasan yang mereka alami ternyata tidak diimbangi oleh kehidupan atau kualitas hidup yang lebih baik.
Semakin banyak yang disaksikan dan diketahui rakyat di Rusia, Polandia, Cek, dan lainnya mengenai gaya hidup di negara-negara demokrasi Barat semakin gencar mereka pertanyakan sistem yang berlaku di negerinya. Dalam bukunya, The Rise and Fall of Communism, Archie Brown mencatat bagaimana perjalanan ke luar negeri yang sering dilakukan Mikhail Gorbachev telah membuka matanya akan kegagalan sistem yang selama ini dihayatinya di negerinya.
Maka, dalam bidang politik, nalar telah mengalahkan baik keyakinan akan tujuan yang tidak bakal tercapai maupun penipuan diri sendiri akan konsekuensi yang harus ditanggung karena mengejar tujuan tersebut. Negara-negara partai yang otoriter, seperti Cina dan Vietnam, bisa bertahan, tapi bukan karena komitmennya kepada komunisme. Legitimasi negara-negara partai ini bergantung pada kemampuannya memastikan pertumbuhan ekonomi melalui kapitalisme yang dikelola negara.
Demokrasi, sudah pasti, tidak melarang orang menggunakan nalar dan menjatuhkan pilihan berdasarkan bukti yang disaksikan mata kepala mereka sendiri. Jika Anda tidak senang terhadap suatu pemerintahan, Anda bisa menjatuhkannya tanpa menggulingkan keseluruhan sistem.
Perubahan dapat dilakukan secara evolusioner, bukan revolusioner. Tapi jangan ada yang berpikir bahwa debat di negara-negara demokrasi itu selalu didasari nalar, atau bahwa demokrasi itu pasti membuat orang lebih rasional.
Kadang-kadang nalar yang menang. Inilah apa yang terjadi pada pemilihan umum terakhir di India, sementara terpilihnya Barack Obama sebagai Presiden Amerika Serikat juga jelas merupakan momen rasional yang paling berkesan. Tapi nalar tampaknya tidak mendapat tempat dalam debat yang sekarang berlangsung di AS mengenai sistem pelayanan kesehatan di negeri itu.
Orang-orang luar, bahkan mereka yang mengagumi Amerika Serikat, sering bertanya-tanya bagaimana negara yang paling terglobalisasi di dunia--sebuah benua yang didiami orang dari hampir segala penjuru dunia--bisa begitu irasional mengenai beberapa persoalan tertentu. Kita cuma bisa menggaruk kepala melihat undang-undang kepemilikan senjata api yang berlaku di Amerika.
Kita juga terperanjat oleh sikap bermusuhan yang ditunjukkan Presiden George W. Bush selama pemerintahannya yang pertama terhadap sains, seperti tecermin dalam sikapnya terhadap perubahan iklim dan teori evolusi Charles Darwin. Sikapnya yang menentang reformasi sistem pelayanan kesehatan di negeri itu juga menimbulkan pertanyaan besar.
Kita tahu bahwa dengan kekayaan yang berlimpah--dan terobosan-terobosan yang dicapainya dalam riset kedokteran--sistem pelayanan kesehatan di Amerika sangat buruk. Biaya pelayanan kesehatan di negeri ini sangat mahal, jauh melampaui kemampuan sistem asuransi kesehatannya. Masyarakat miskin tidak terlindungi. Terlalu banyak mereka yang jatuh sakit tidak mendapat perawatan. Secara keseluruhan, statistik kesehatan negeri itu lebih buruk daripada di negara-negara yang setara dengannya.
Namun, upaya Obama mereformasi sistem pelayanan kesehatan di negeri itu telah mendapat tantangan yang histeris. Apa yang diusulkan Obama, kata mereka, sama saja artinya dengan negara membunuh orang-orang jompo. Ia berarti bakal memberlakukan komunisme ala Soviet di AS--persis seperti yang tampaknya berlaku di Kanada dan Inggris dengan sistem pelayanan kesehatannya yang didukung negara itu. Apakah ini berarti berlakunya komunisme di Toronto dan London atau cuma berarti pelayanan kesehatan yang lebih baik, lebih murah, dan lebih bisa diandalkan untuk semua?
Nalar tampaknya mengalami rintangan besar di AS saat ini. Mungkin bukan kebetulan Groucho Marx itu seorang warga Amerika. Bagaimana cara suatu masyarakat merawat warganya yang sakit dan yang membutuhkan pertolongan adalah hal yang penting dan harus mendapat perhatian berdasarkan apa yang kita benar-benar lihat dengan mata kepala kita sendiri, bukan berdasarkan prasangka golongan yang sempit.
Hak cipta: Project Syndicate, 2009.
URL Source: http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/09/07/Opini/krn.20090907.17
Chris Patten
Mantan Komisaris Uni Eropa Urusan Luar Negeri, Ketua Partai Konservatif Inggris, Gubernur Hong Kong terakhir di bawah pemerintahan Inggris
Groucho Marx adalah seorang Marxis favorit saya. Salah satu banyolan pelawak ini menghunjam ke jantung kegagalan ideologi--agama dogmatis--yang dibawakan penyandang nama serupa: Karl Marx. "Siapa yang hendak kau percayai," Groucho pernah bertanya, "saya atau matamu sendiri?" Bagi ratusan juta warga di negara-negara yang diperintah kaum komunis pada abad ke-20 yang lalu, "saya" yang dimaksudkan Groucho dalam pertanyaannya adalah diktator atau oligarki yang totaliter atau otoriter. Tidak peduli apa yang Anda bisa lihat dengan mata Anda sendiri, Anda harus menerima apa yang mereka katakan kepada Anda. Realitas adalah apa yang dikatakan partai.
Hua Guofeng, tokoh partai yang ditunjuk menggantikan Mao Zedong di Cina, mengangkat sikap seperti itu ke dalam suatu bentuk seni. Ia dikenal sebagai seorang seniman "apa pun". Partai dan rakyat harus mengikuti dan melakukan apa pun yang diperintahkan Mao.
Groucho mengajukan dua persoalan yang tidak terpisahkan kepada kaum komunis apa pun ini. Pertama, matamu sendiri dan nalarmu kelak pasti akan mengatakan kepadamu bahwa dunia yang indah seperti dibayangkan komunisme--melajunya negara dan terpenuhinya segala keinginan--tidak akan pernah terwujud. Komunisme, seperti ufuk, selalu berada di luar jangkauan. Menarik untuk diketahui seberapa banyak mereka yang mengikuti pelatihan pada Lembaga Pendidikan Partai di Beijing itu yakin bahwa negara Cina segera melaju atau tak melaju sama sekali.
Persoalan kedua yang diajukan Groucho adalah bahwa rakyat yang hidup di negara-negara komunis itu akhirnya pasti bakal sadar bahwa hilangnya kebebasan yang mereka alami ternyata tidak diimbangi oleh kehidupan atau kualitas hidup yang lebih baik.
Semakin banyak yang disaksikan dan diketahui rakyat di Rusia, Polandia, Cek, dan lainnya mengenai gaya hidup di negara-negara demokrasi Barat semakin gencar mereka pertanyakan sistem yang berlaku di negerinya. Dalam bukunya, The Rise and Fall of Communism, Archie Brown mencatat bagaimana perjalanan ke luar negeri yang sering dilakukan Mikhail Gorbachev telah membuka matanya akan kegagalan sistem yang selama ini dihayatinya di negerinya.
Maka, dalam bidang politik, nalar telah mengalahkan baik keyakinan akan tujuan yang tidak bakal tercapai maupun penipuan diri sendiri akan konsekuensi yang harus ditanggung karena mengejar tujuan tersebut. Negara-negara partai yang otoriter, seperti Cina dan Vietnam, bisa bertahan, tapi bukan karena komitmennya kepada komunisme. Legitimasi negara-negara partai ini bergantung pada kemampuannya memastikan pertumbuhan ekonomi melalui kapitalisme yang dikelola negara.
Demokrasi, sudah pasti, tidak melarang orang menggunakan nalar dan menjatuhkan pilihan berdasarkan bukti yang disaksikan mata kepala mereka sendiri. Jika Anda tidak senang terhadap suatu pemerintahan, Anda bisa menjatuhkannya tanpa menggulingkan keseluruhan sistem.
Perubahan dapat dilakukan secara evolusioner, bukan revolusioner. Tapi jangan ada yang berpikir bahwa debat di negara-negara demokrasi itu selalu didasari nalar, atau bahwa demokrasi itu pasti membuat orang lebih rasional.
Kadang-kadang nalar yang menang. Inilah apa yang terjadi pada pemilihan umum terakhir di India, sementara terpilihnya Barack Obama sebagai Presiden Amerika Serikat juga jelas merupakan momen rasional yang paling berkesan. Tapi nalar tampaknya tidak mendapat tempat dalam debat yang sekarang berlangsung di AS mengenai sistem pelayanan kesehatan di negeri itu.
Orang-orang luar, bahkan mereka yang mengagumi Amerika Serikat, sering bertanya-tanya bagaimana negara yang paling terglobalisasi di dunia--sebuah benua yang didiami orang dari hampir segala penjuru dunia--bisa begitu irasional mengenai beberapa persoalan tertentu. Kita cuma bisa menggaruk kepala melihat undang-undang kepemilikan senjata api yang berlaku di Amerika.
Kita juga terperanjat oleh sikap bermusuhan yang ditunjukkan Presiden George W. Bush selama pemerintahannya yang pertama terhadap sains, seperti tecermin dalam sikapnya terhadap perubahan iklim dan teori evolusi Charles Darwin. Sikapnya yang menentang reformasi sistem pelayanan kesehatan di negeri itu juga menimbulkan pertanyaan besar.
Kita tahu bahwa dengan kekayaan yang berlimpah--dan terobosan-terobosan yang dicapainya dalam riset kedokteran--sistem pelayanan kesehatan di Amerika sangat buruk. Biaya pelayanan kesehatan di negeri ini sangat mahal, jauh melampaui kemampuan sistem asuransi kesehatannya. Masyarakat miskin tidak terlindungi. Terlalu banyak mereka yang jatuh sakit tidak mendapat perawatan. Secara keseluruhan, statistik kesehatan negeri itu lebih buruk daripada di negara-negara yang setara dengannya.
Namun, upaya Obama mereformasi sistem pelayanan kesehatan di negeri itu telah mendapat tantangan yang histeris. Apa yang diusulkan Obama, kata mereka, sama saja artinya dengan negara membunuh orang-orang jompo. Ia berarti bakal memberlakukan komunisme ala Soviet di AS--persis seperti yang tampaknya berlaku di Kanada dan Inggris dengan sistem pelayanan kesehatannya yang didukung negara itu. Apakah ini berarti berlakunya komunisme di Toronto dan London atau cuma berarti pelayanan kesehatan yang lebih baik, lebih murah, dan lebih bisa diandalkan untuk semua?
Nalar tampaknya mengalami rintangan besar di AS saat ini. Mungkin bukan kebetulan Groucho Marx itu seorang warga Amerika. Bagaimana cara suatu masyarakat merawat warganya yang sakit dan yang membutuhkan pertolongan adalah hal yang penting dan harus mendapat perhatian berdasarkan apa yang kita benar-benar lihat dengan mata kepala kita sendiri, bukan berdasarkan prasangka golongan yang sempit.
Hak cipta: Project Syndicate, 2009.
URL Source: http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/09/07/Opini/krn.20090907.17
Chris Patten
Mantan Komisaris Uni Eropa Urusan Luar Negeri, Ketua Partai Konservatif Inggris, Gubernur Hong Kong terakhir di bawah pemerintahan Inggris
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya