APA KAITAN PERTANIAN DENGAN WTO ?
Pertanian telah diatur oleh WTO sejak tahun 1995. Dinamai sebagai Perjanjian Pertanian (Agreement on Agruculture / AOA) tahap I. Tujuannya, agar setiap negara mau menghapus tarif pertaniannya dan mau menghapus subsidi pertaniannya. Intinya, meminta diterapkannya perdagangan bebas produk-produk pertanian dan sistem pertanian yang liberalistik. Perundingan AOA tahap-II dimulai kembali sejak Januari 2000 sampai sekarang, seiring dengan diadakannya Putaran Doha sejak tahun 2003. Saat ini tujuannya lebih ambisius lagi, yaitu pengurangan tarif dan pemotongan subsidi lebih lanjut. Akan tetapi negara maju tetap tidak mau memotong subsidinya. Padahal subsidi tersebut faktanya menjadi dumping ke negara berkembang. Sebaliknya negara berkembang seperti Indonesia diminta untuk memotong lagi tarifnya lebih besar, sebagaimana usulan penggunaan formula Swiss, dan subsidi yang terbatas. Ini berarti Indonesia akan kebanjiran produk-produk pertanian dari luar lebih banyak lagi, yang akan mematikan produk-produk pertanian petani.
APA SIKAP PEMERINTAH ?
Pemerintah Indonesia telah mengusulkan Special Product / Special Safeguard Mechanism (SP/SSM) untuk mengecualikan produk-produk pertanian yang penting (seperti beras, gula, jagung) dari penurunan tarif dan bisa mempunyai mekanisme pengaman dari adanya ancaman impor. Usulan ini sebenarnya sangat terbatas, bila melihat besarnya kepentingan Indonesia. Indonesia seharusnya menolak diadakannya penurunan tarif kembali; dan bahkan harus mempersoalkan dimasukkannya pertanian dan pangan untuk diatur oleh WTO, karena hanya akan merugikan petani dan kepentingan bangsa. Dalam soal subsidi, Indonesia mengikuti posisi G-20.
APA MASALAHNYA SEKARANG ?
Perundingan pertanian yang sedang berjalan ini bersifat curang dan bermasalah besar, dan hasil-hasilnya akan merugikan kita semua. Hasil Konperensi WTO Hong Kong, sangat merugikan, yaitu:
- Dalam Konperensi WTO ke-6 di Hong Kong, diakui bahwa SP bersifat ‘self-designate’ (ditentukan sendiri), tetapi ini hanya akan mengenai beberapa produk (some products) saja. Ini kerugian besar, karena bagi Indonesia, ada banyak sekali produk spesial yang perlu diperjuangkan sesuai dengan keadaan daerah dan prioritas komoditasnya. Lagipula SP masih akan melalui perundingan untuk menentukan kriteria, besarannya dan sebagainya. Sementara fasiltas Produk Sensitif (sensitive products) untuk dipakai negara maju, langsung disetujui tanpa perundingan
- Adanya kesepakatan untuk penghentian subsidi eksport pada tahun 2013, merupakan manipulasi perundingan, karena berarti subsidi yang sekarang akan tetap diteruskan dan merugikan negara-negara berkembang/LDC. Sudah terlambat untuk berharap di tahun 2013. Lagipula tahun 2013 memang merupakan kesepakatan internal di negara-negara maju sejak lama (CAP di Uni-Eropa berakhir tahun 2013, dan Farm Bill di AS berakhir tahun 2014)
- Hasil KTM Hong Kong sama sekali tidak menyentuh soal subsidi domestik sehingga negara maju kini bebas mensubsidi. Bahkan subsidi domestik juga sering dipakai untuk produk-produk yang akan dieksport.
- Hasil KTM Hong Kong juga tidak mempersoalkan “kotak biru baru” (new blue box) yang akan dipakai negara maju untuk melanggengkan subsidinya, seperti subsidi counter-cyclical payment-nya AS
- Juga tidak ada upaya mendisiplinkan “kotak hijau” (green box) yang dipakai terus menerus oleh negara-negara maju dalam memberikan subsidi-subsidinya, khususnya decoupled payment (pembayaran yang tidak terkait produksi). Termasuk juga adalah pemindahan subsidi (box-shifting) ke kotak hijau, sehingga subsidi negara maju tidak akan dapat dihapus
- Tekanan untuk penyelesaian modalitas pertanian pada 30 April 2006, sehingga hasil perundingan yang curang ini dapat disahkan segera.
BAGAIMANA JALANNYA PERUNDINGAN ?
Negara maju mendesak agar seluruh modalitas pertanian dapat diselesaikan hingga 30 April 2006 serta pengesahannya pada 30 Juli 2006, sehingga tenggat waktu Putaran Doha pada 31 Desember 2006 dapat tercapai. Penekanan ini dilakukan sendiri oleh Pascal Lamy, Dirjen WTO yang mantan komisioner perdagangan Uni-Eropa. Sudah jelas bahwa Lamy telah berfungsi sebagai negosiator bagi kepentingan Negara-negara maju, dan tidak bersifat netral sebagaimana seharusnya seorang Dirjen WTO. Tekanan-tekanan akan dilakukan dalam Mini-Ministerial tanggal 29 April s/d 3 Mei 2006; sidang General Council tanggal 15-16 Mei 2006; dan sidang General Council tanggal 27-28 Mei 2006. Kelihatan sekali adanya rekayasa untuk segera menyelesaikan perundingan dalam sidang-sidang yang berjangka waktu sangat pendek ini.
APA YANG AKAN TERJADI DI BULAN-BULAN MENDATANG (APRIL s/d JULI 2006) ?
- Negara maju akan mendesak diadakannya skema pemotongan tarif baru rata-rata 40-60% untuk Negara berkembang. Negara berkembang meminta pemotongan tariff lebih rendah (usulan G-20 adalah rata-rata 36%; dan usulan ACP rata-rata 24%). Hal ini saja sudah mencerminkan kerugian di Negara berkembang, karena adanya keberlanjutan pemotongan tarif dari hasil di Putaran Uruguay.
- Negara maju akan mendesakkan SP/SSM yang terbatas kepada beberapa produk saja. Apakah Indonesia sebagai ketua G-33 mau mengikuti desakan tersebut? G-33 meminta sebanyak 20% dari lini tariff bisa ditetapkan sebagai SP. Usulan ini saja sudah melemahkan posisi G-33. (perlu diingat usulan 20% adalah dari Pascal Lamy).
- Pembahasan tentang produk sensitif, apakah 1% dari lini tarif (usulan AS) atau 8% (usulan G-10). Meskipun ada pertentangan, tetapi sesama negara maju akan dapat mencapai kompromi dengan mengorbankan posisi G-33, dimana akan dikaitkan antara SP dengan produk sensitif, sehingga SP akan bersifat terbatas.
- Negara maju mengamankan posisi dilanjutkannya subsidi domestic lewat kotak biru baru dan kotak hijau sesuai hasil KTM Hong Kong. Negara berkembang hanya punya subsidi di kotak hijau yang terbatas bagi tujuan pembangunan pertanian mereka dan proposal bagi kotak hijau untuk pembangunan Negara-negara berkembang belum banyak dibahas.
BAGAIMANA SOLUSINYA?
- Tetap bersikukuh bahwa SP/SSM dapat diberlakukan secara sepihak dan dapat diberlakukan kepada banyak (ratusan) komoditas pertanian Indonesia. Salah satu yang perlu ditegaskan adalah perlunya dijalankan QR (Quantitative restriction) sebagai bagian dari SP/SSM, serta prinsip bahwa pangan bukanlah urusan perdagangan melainkan masalah hak-hak asasi manusia
- Muatan pembangunan harus sepenuhnya diadakan di dalam agenda pertanian. Ini termasuk perlu diadakannya “kotak biru pembangunan” (development blue box) bagi negara-negara berkembang/miskin
- Menolak pemotongan tarif pertanian lebih lanjut, karena yang sekarang saja yang merupakan hasil dari Uruguay Round sudah cukup rendah
- Mengagendakan masalah komoditas tropis untuk mewujudkan perdagangan yang adil, dengan mendukung proposal dari Afrika dan Amerika Latin. Indonesia perlu berperan kuat dalam hal ini, karena merupakan penghasil banyak komoditas tropis.
Source : http://www.globaljust.org/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya