Rabu, 10 Agustus 2011

Robohnya KPK Kami

Oleh: Ilham Mundzir

Bermulut, tapi tak bergigi. Itulah kira-kira bahasa yang tepat untuk melukiskan keadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini. Lembaga yang dibentuk untuk mengatasi, menanggulangi, dan memberantas korupsi di Indonesia itu kian terlihat tumpul, tak bernyali, dan bahkan terkesan bertekuk lutut kala berhadapan dengan para koruptor. Ia telah kehilangan keberaniannya. Alih-alih, beberapa pimpinannya kini diisukan terjerat dalam patgulipat masalah korupsi itu sendiri. Sungguh ironis.

Sebagaimana kita ketahui, dari tempat persembunyiannya, Muhammad Nazaruddin membuka aib KPK. Tersangka korupsi Wisma Atlet Sea Games itu menyatakan pernah menemui beberapa pimpinan dan penyidik KPK dalam rangka mengantisipasi serta mengamankan perkaranya. Jika pengakuan Nazaruddin itu benar, sia-sia sajalah kepercayaan masyarakat terhadap institusi KPK selama ini. Integritas KPK sudah roboh.

Sekali lagi, bila ucapan Nazaruddin itu benar, tak pelak citra dan nama baik lembaga antikorupsi itu berada di ujung tanduk. Bukan karena ulah orang lain, melainkan lantaran ulah awak atau personelnya sendiri. Mereka tidak hanya mengkhianati sumpah jabatannya, menyalahi visi dan misi KPK, tetapi juga telah berani bermain mata dan bersekongkol dengan para koruptor. Mencoba mencari keuntungan pribadi dengan menjadikan KPK sebagai ladang bisnis baru bagi "penyelesaian" kasus korupsi. Korupsi tidak diselesaikan di ranah hukum, namun diendapkan berdasarkan prinsip penyelesaian sama-sama tahu dan yang paling penting sama-sama menguntungkan.

Mungkin pengakuan Nazaruddin hanyalah fenomena gunung es belaka. Dan, karena itulah kita bisa memahami mengapa kinerja KPK saat ini jauh dari memuaskan. Sejauh diamati, belum ada gebrakan yang "nendang" dari KPK dalam konteks pemberantasan korupsi belakangan ini. KPK justru terbelit dan disibukkan oleh masalah internalnya sendiri. Dulu, ada kasus yang melibatkan Antasari Azhar serta kasus penyuapan terhadap Candra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto oleh Anggodo. Kini, dalam kasus Nazaruddin, semakin banyak nama pimpinan KPK yang disebut terlibat korupsi.

KPK memang masih bisa bersuara tentang pemberantasan korupsi. Akan tetapi, suara itu lirih. Tak terdengar lantang. Seolah, ia hanya bisik-bisik bahwa korupsi harus dilawan, ditumpas, dan sebagainya. Sayangnya, karena bisik-bisik, suara itu hanya menjadi hiasan bibir belaka. Lantaran tak bergigi dan tak bernyali, suara itu tidak pernah mewujud dalam aksi yang konkret. Aksi perlawanan itu tak sepenuhnya dinyatakan dan dikobarkan tindakan nyata. Perang yang sesungguhnya terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme belum ditunaikan.

KPK secara institusi memang masih ada, tapi elan vital perjuangannya tak lagi ada. Banyak kasus megakorupsi yang belum (lebih tepatnya tidak) disentuh. Banyak masyarakat telah meminta dan mendorong agar KPK lebih bergigi. Namun, dorongan dan harapan itu bertepuk sebelah tangan.

Apa yang membuat demikian? Menurut pandangan saya, melemahnya KPK itu terjadi karena faktor degradasi komitmen, robohnya integritas, lemahnya kesungguhan, hilangnya keberanian, dan terbelahnya totalitas atau kekompakan di tubuh awak KPK itu sendiri. Awalnya, memang seluruh awak kapal KPK itu terlihat begitu solid, satu visi dalam memerangi dan memberantas korupsi. Pada saat itulah, banyak pelaku korupsi berhasil dijebak, ditangkap, lalu dibui.

Namun, semangat itu kian memudar. Seiring waktu berjalan, tawaran serta negoisasi dari koruptor datang silih berganti dan terasa berat ditolak begitu saja. Alangkah memalukan dan menaifkan jika pernyataan Nazaruddin itu benar. Beberapa pimpinan dan penyidik KPK justru bertemu dengan orang-orang yang memiliki kasus korupsi dengan berbagai alasan seperti silaturahim, makan siang, dan sebagainya. Padahal, pepatah sudah mengatakan "tak ada makan siang yang benar-benar gratis."

Korupsi pada hakikatnya bisa terjadi di mana saja, terutama manakala ada pelbagai kepentingan bertemu dan bisa ditransaksikan. Tak terkecuali, korupsi pun dapat menggoda dan menjalar di tubuh lembaga antikorupsi. Ada beberapa awak yang tegar, namun tak sedikit personel KPK yang mungkin tergoda lalu hanyut dalam semangat orang berkorupsi; yakni mencari kesenangan hidup dan kekayaan materi secara instan meski dengan cara-cara tidak halal.

Di altar itulah, persekutuan kotor, persekongkolan tidak suci antara koruptor dan para prajurit serta pejuang antirasywah di KPK bisa terjadi. Dan, di tempat itu pulalah, martabat dan harga diri KPK itu persis dikorbankan.

Nah, di tengah-tengah krisis semacam itu, agar dapat bergigi kembali KPK harus cepat merespons dan tanggap. Komite Etik KPK perlu bekerja cepat untuk membersihkan dan menyingkirkan semua benalu di dalam KPK. Bergegas membenahi, membersihkan virus korupsi dalam diri KPK. Terhadap personel atau awak yang kedapatan atau terbukti terlibat dalam persekongkolan jahat dengan para koruptor itu, harus ditindak sesuai dengan mekanisme hukum. Akan jauh lebih baik dan bijaksana jika mereka yang pernah terlibat dalam persekutuan kotor itu mengundurkan diri secara sukarela.

Setelah itu, KPK perlu mengumpulkan seluruh daya dan energinya untuk bangkit dalam perjuangan melawan rasywah. Berbagai masalah itu harus dijadikan sebagai bagian dari introspeksi untuk lebih bekerja keras. Itu penting tidak hanya untuk mempertahankan kepercayaan publik terhadap institusi KPK, tetapi juga agar negara ini tak lumpuh karena terlampau lama dibekap, disandera oleh para koruptor. Semoga.

URL Source: http://koran.republika.co.id/koran/24/140690/Robohnya_KPK_Kami

Ilham Mundzir
Dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...