Oleh :Adiwarman A Karim
Krisis utang global yang diawali dengan krisis utang Eropa dan berlanjut dengan krisis utang Amerika Serikat patut diantisipasi dengan baik karena kedua krisis tersebut bukan sekadar masalah likuiditas. Kedua krisis itu diawali oleh masalah struktural yang kemudian menjadi tsunami keuangan karena dipicu oleh melambatnya pertumbuhan ekonomi.
Ekonomi Amerika Serikat dalam dekade terakhir ditopang oleh tiga pilar utama. Pertama, besarnya permintaan konsumsi domestik. Kedua, besarnya pengeluaran pemerintah. Ketiga, besarnya kredit yang disalurkan. Ekspor memang juga menjadi faktor pendorong pertumbuhan di AS, tetapi besarannya tidak signifikan dibandingkan ketiga pilar utama itu. Awalnya ketiga pilar itulah yang mendorong perekonomian AS menjadi negara adidaya secara ekonomi. Namun, pada akhirnya, ketika penyaluran kredit telah sangat melampaui batas kemampuan ekonomi untuk menyerapnya, timbullah krisis pertama yang dikenal sebagai subprime mortgage crisis. Krisis ini secara signifikan menurunkan pertumbuhan ekonomi AS.
Ketika tahun 1988 Bank for International Settlements (BIS) menetapkan rasio modal minimum 6-8 persen untuk membatasi ekspansi kredit, bank-bank di AS malah menyikapinya dengan mengonversi kredit mereka menjadi surat berharga dan menjualnya kepada para investor.
Sebagai daya tarik, surat berharga yang diterbitkan berdasarkan kredit perumahan tersebut dijamin pembayarannya dengan instrumen derivatif, antara lain, berupa jaminan-bayar. Mereka yang menjual jaminan-bayar mendapat premi atas kesediaannya menjamin. Uniknya mereka yang menjual jaminan-bayar tidak perlu memiliki aset rumah yang dibiayai atau aset riil lain. Ibarat memasang taruhan pacuan kuda tanpa memiliki kudanya. Dalam ilmu fikih, bila pemilik kuda bertaruh dalam suatu pacuan, ia digolongkan sebagai judi (maysir). Bila yang bertaruh sekadar penonton, bukan pihak yang terlibat dalam pacuan, ia tergolong judi undian (maysir fil azlam).
Derivatif menjadi sangat populer di AS yang pada akhirnya menimbulkan gelembung hak-kewajiban keuangan tanpa ada aset riil dengan jumlah yang sangat besar, mencapai lebih dari 500 triliun dolar AS pada 2007. Dengan posisi AS sebagai negara adidaya ekonomi yang memiliki rating terbaik di dunia, instrumen derivatif diterima luas di dunia. Nama besar bank-bank AS saja telah cukup meyakinkan pasar menerima produk derivatifnya meskipun tanpa adanya aset riil untuk mendukung kemampuan bayar.
Ketika aturan akuntansi baru diterapkan pada November 2007 yang mengharuskan aset keuangan dicatat berdasarkan nilai pasar pada hari itu (mark to market), pasar modal AS langsung terpukul. Dalam periode September 2008-Maret 2009, diperkirakan 15 triliun dolar AS dari gelembung aset itu menguap hilang begitu saja. Diperkirakan, jumlah yang sama akan menguap hilang pada periode Juli 2011-Januari 2012.
Tingkat kehidupan dan gaya hidup yang telah demikian majunya di AS yang selama ini ditopang oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi, menyebabkan program penghematan melalui penurunan tingkat kehidupan dan gaya hidup sulit dilakukan. Pengurangan pengeluaran pemerintah secara rata-rata tahunan hanya turun 0,2 triliun dolar AS dari pengeluaran tahunan yang mencapai 3,7 triliun dolar AS. Ditambah lagi dengan keperluan untuk membiayai perang yang berkesinambungan di Timur Tengah dan Afghanistan. Oleh karena itu, pemerintah terdorong untuk membiayai pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan pada pilar kedua, yaitu pengeluaran pemerintah.
Pengeluaran pemerintah yang besar tersebut dibiayai oleh defisit anggaran, yang pada akhirnya memicu munculnya krisis utang. Kekhawatiran pasar akan kemungkinan ketidakmampuan Pemerintah AS memenuhi kewajiban utang yang jatuh tempo, mendorong lembaga pemeringkat menurunkan rating surat berharga yang dikeluarkan oleh Pemerintah AS.
Negara-negara berpopulasi besar, seperti Amerika Serikat, Brasil, Rusia, Cina, India, juga Indonesia, diuntungkan dengan besarnya permintaan konsumsi domestik mereka sebagai motor penggerak perekonomian. Namun, sering kali keuntungan tersebut membuat para pengambil kebijakan ekonomi terbuai dan terlena untuk mengembangkan industri mereka secara kompetitif.
Rasa percaya diri para pengambil kebijakan ekonomi dan keinginan untuk menambah cepat pertumbuhan ekonomi, mendorong pemerintah untuk menaikkan pengeluarannya. Rasa percaya diri akan posisi AS sebagai negara adidaya ekonomi dengan rating terbaik di dunia, telah mendorong penerbitan surat utang yang berlebihan.
Melemahnya ekonomi AS berarti pula melemahnya nilai tukar dolar AS, yang mendorong banyak negara berharap pada mata uang euro, bahkan untuk menggantikan dolar AS sebagai mata uang dunia. Harapan yang keliru tentunya karena sebenarnya batas maksimal kemampuan suatu mata uang hanyalah sebesar perekonomiannya. Ketidakmampuan negara yang mata uangnya dijadikan mata uang dunia mengontrol volume transaksi perdagangan barang dan jasa di seluruh dunia, membuat negara tersebut kesulitan mengatur jumlah uang yang beredar, yang akhirnya kesulitan untuk menjaga kestabilan nilai mata uangnya.
Melambatnya pertumbuhan ekonomi AS selanjutnya memukul ekonomi mitra dagangnya. Yunani yang mengandalkan industri pelayaran maritim dan industri pariwisata sebagai motor penggerak ekonominya, mulai merasakan dampak buruknya. Pendapatan pemerintah menurun drastis, padahal pengeluaran tidak dapat serta-merta diturunkan. Pengurangan program kesejahteraan atau pengurangan beban gaji pegawai negeri hanya akan menyulut kemarahan masyarakat.
Menutupi defisit tersebut dengan menerbitkan surat utang baru tidak dimungkinkan karena peraturan Uni Eropa membatasi defisit maksimal 3 persen dari APBN dan pemerintah tidak boleh meminjam dari bank sentralnya sendiri. Pilihan tinggal pada meminjam dari European Central Bank, bank-bank swasta, atau IMF, yang ketiganya memberikan banyak sekali syarat untuk pinjaman tersebut. Portugal dan Irlandia, mungkin juga Spanyol dan Italia, harus bersiap-siap menghadapi masalah yang sama.
Kesulitan ekonomi yang dialami negara-negara Eropa ini menyadarkan mereka akan kekuatan sebenarnya mata uang euro. Berbagai upaya perlindungan terhadap euro dilakukan pada periode Juni 2010-Maret 2011. Dukungan dari Brasil, Rusia, India, dan Cina akan upaya ini patut dipuji karena empat negara inilah yang berpotensi menggadang-gadang euro menjadi mata uang dunia.
Krisis utang Eropa dan AS timbul bukan sekadar masalah "besar pasak dari tiang", bukan juga sekadar "memakan riba", atau "dapat diselesaikan oleh perbankan syariah". Kalaupun instrumen utang yang digunakan di Eropa dan AS adalah instrumen syariah semisal sukuk, krisis tetap tidak terelakkan, sebagaimana terjadi di Dubai.
Ketidaksabaran mendorong pertumbuhan ekonomi dan kecintaan akan kehidupan duniawi mendorong nafsu mengalahkan akal. Ilmu ekonomi telah memprediksi krisis ini, tapi nafsu mengalahkan akal. Ilmu ekonomi syariah memberikan panduan agar ekonomi tumbuh dinamis sekaligus stabil. Hanya, bila akal yang dituntun oleh hati dapat mengalahkan nafsu, ekonomi diberkahi Allah.
Sumber :http://koran.republika.co.id/koran/26
Krisis utang global yang diawali dengan krisis utang Eropa dan berlanjut dengan krisis utang Amerika Serikat patut diantisipasi dengan baik karena kedua krisis tersebut bukan sekadar masalah likuiditas. Kedua krisis itu diawali oleh masalah struktural yang kemudian menjadi tsunami keuangan karena dipicu oleh melambatnya pertumbuhan ekonomi.
Ekonomi Amerika Serikat dalam dekade terakhir ditopang oleh tiga pilar utama. Pertama, besarnya permintaan konsumsi domestik. Kedua, besarnya pengeluaran pemerintah. Ketiga, besarnya kredit yang disalurkan. Ekspor memang juga menjadi faktor pendorong pertumbuhan di AS, tetapi besarannya tidak signifikan dibandingkan ketiga pilar utama itu. Awalnya ketiga pilar itulah yang mendorong perekonomian AS menjadi negara adidaya secara ekonomi. Namun, pada akhirnya, ketika penyaluran kredit telah sangat melampaui batas kemampuan ekonomi untuk menyerapnya, timbullah krisis pertama yang dikenal sebagai subprime mortgage crisis. Krisis ini secara signifikan menurunkan pertumbuhan ekonomi AS.
Ketika tahun 1988 Bank for International Settlements (BIS) menetapkan rasio modal minimum 6-8 persen untuk membatasi ekspansi kredit, bank-bank di AS malah menyikapinya dengan mengonversi kredit mereka menjadi surat berharga dan menjualnya kepada para investor.
Sebagai daya tarik, surat berharga yang diterbitkan berdasarkan kredit perumahan tersebut dijamin pembayarannya dengan instrumen derivatif, antara lain, berupa jaminan-bayar. Mereka yang menjual jaminan-bayar mendapat premi atas kesediaannya menjamin. Uniknya mereka yang menjual jaminan-bayar tidak perlu memiliki aset rumah yang dibiayai atau aset riil lain. Ibarat memasang taruhan pacuan kuda tanpa memiliki kudanya. Dalam ilmu fikih, bila pemilik kuda bertaruh dalam suatu pacuan, ia digolongkan sebagai judi (maysir). Bila yang bertaruh sekadar penonton, bukan pihak yang terlibat dalam pacuan, ia tergolong judi undian (maysir fil azlam).
Derivatif menjadi sangat populer di AS yang pada akhirnya menimbulkan gelembung hak-kewajiban keuangan tanpa ada aset riil dengan jumlah yang sangat besar, mencapai lebih dari 500 triliun dolar AS pada 2007. Dengan posisi AS sebagai negara adidaya ekonomi yang memiliki rating terbaik di dunia, instrumen derivatif diterima luas di dunia. Nama besar bank-bank AS saja telah cukup meyakinkan pasar menerima produk derivatifnya meskipun tanpa adanya aset riil untuk mendukung kemampuan bayar.
Ketika aturan akuntansi baru diterapkan pada November 2007 yang mengharuskan aset keuangan dicatat berdasarkan nilai pasar pada hari itu (mark to market), pasar modal AS langsung terpukul. Dalam periode September 2008-Maret 2009, diperkirakan 15 triliun dolar AS dari gelembung aset itu menguap hilang begitu saja. Diperkirakan, jumlah yang sama akan menguap hilang pada periode Juli 2011-Januari 2012.
Tingkat kehidupan dan gaya hidup yang telah demikian majunya di AS yang selama ini ditopang oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi, menyebabkan program penghematan melalui penurunan tingkat kehidupan dan gaya hidup sulit dilakukan. Pengurangan pengeluaran pemerintah secara rata-rata tahunan hanya turun 0,2 triliun dolar AS dari pengeluaran tahunan yang mencapai 3,7 triliun dolar AS. Ditambah lagi dengan keperluan untuk membiayai perang yang berkesinambungan di Timur Tengah dan Afghanistan. Oleh karena itu, pemerintah terdorong untuk membiayai pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan pada pilar kedua, yaitu pengeluaran pemerintah.
Pengeluaran pemerintah yang besar tersebut dibiayai oleh defisit anggaran, yang pada akhirnya memicu munculnya krisis utang. Kekhawatiran pasar akan kemungkinan ketidakmampuan Pemerintah AS memenuhi kewajiban utang yang jatuh tempo, mendorong lembaga pemeringkat menurunkan rating surat berharga yang dikeluarkan oleh Pemerintah AS.
Negara-negara berpopulasi besar, seperti Amerika Serikat, Brasil, Rusia, Cina, India, juga Indonesia, diuntungkan dengan besarnya permintaan konsumsi domestik mereka sebagai motor penggerak perekonomian. Namun, sering kali keuntungan tersebut membuat para pengambil kebijakan ekonomi terbuai dan terlena untuk mengembangkan industri mereka secara kompetitif.
Rasa percaya diri para pengambil kebijakan ekonomi dan keinginan untuk menambah cepat pertumbuhan ekonomi, mendorong pemerintah untuk menaikkan pengeluarannya. Rasa percaya diri akan posisi AS sebagai negara adidaya ekonomi dengan rating terbaik di dunia, telah mendorong penerbitan surat utang yang berlebihan.
Melemahnya ekonomi AS berarti pula melemahnya nilai tukar dolar AS, yang mendorong banyak negara berharap pada mata uang euro, bahkan untuk menggantikan dolar AS sebagai mata uang dunia. Harapan yang keliru tentunya karena sebenarnya batas maksimal kemampuan suatu mata uang hanyalah sebesar perekonomiannya. Ketidakmampuan negara yang mata uangnya dijadikan mata uang dunia mengontrol volume transaksi perdagangan barang dan jasa di seluruh dunia, membuat negara tersebut kesulitan mengatur jumlah uang yang beredar, yang akhirnya kesulitan untuk menjaga kestabilan nilai mata uangnya.
Melambatnya pertumbuhan ekonomi AS selanjutnya memukul ekonomi mitra dagangnya. Yunani yang mengandalkan industri pelayaran maritim dan industri pariwisata sebagai motor penggerak ekonominya, mulai merasakan dampak buruknya. Pendapatan pemerintah menurun drastis, padahal pengeluaran tidak dapat serta-merta diturunkan. Pengurangan program kesejahteraan atau pengurangan beban gaji pegawai negeri hanya akan menyulut kemarahan masyarakat.
Menutupi defisit tersebut dengan menerbitkan surat utang baru tidak dimungkinkan karena peraturan Uni Eropa membatasi defisit maksimal 3 persen dari APBN dan pemerintah tidak boleh meminjam dari bank sentralnya sendiri. Pilihan tinggal pada meminjam dari European Central Bank, bank-bank swasta, atau IMF, yang ketiganya memberikan banyak sekali syarat untuk pinjaman tersebut. Portugal dan Irlandia, mungkin juga Spanyol dan Italia, harus bersiap-siap menghadapi masalah yang sama.
Kesulitan ekonomi yang dialami negara-negara Eropa ini menyadarkan mereka akan kekuatan sebenarnya mata uang euro. Berbagai upaya perlindungan terhadap euro dilakukan pada periode Juni 2010-Maret 2011. Dukungan dari Brasil, Rusia, India, dan Cina akan upaya ini patut dipuji karena empat negara inilah yang berpotensi menggadang-gadang euro menjadi mata uang dunia.
Krisis utang Eropa dan AS timbul bukan sekadar masalah "besar pasak dari tiang", bukan juga sekadar "memakan riba", atau "dapat diselesaikan oleh perbankan syariah". Kalaupun instrumen utang yang digunakan di Eropa dan AS adalah instrumen syariah semisal sukuk, krisis tetap tidak terelakkan, sebagaimana terjadi di Dubai.
Ketidaksabaran mendorong pertumbuhan ekonomi dan kecintaan akan kehidupan duniawi mendorong nafsu mengalahkan akal. Ilmu ekonomi telah memprediksi krisis ini, tapi nafsu mengalahkan akal. Ilmu ekonomi syariah memberikan panduan agar ekonomi tumbuh dinamis sekaligus stabil. Hanya, bila akal yang dituntun oleh hati dapat mengalahkan nafsu, ekonomi diberkahi Allah.
Sumber :http://koran.republika.co.id/koran/26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya