Rabu, 24 Agustus 2011

Nuzulul Quran dan Keaksaraan Perempuan

Oleh : Dyvita Febriyanti
Pegiat Literasi, Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Jember



Tanggal 17 Ramadhan sekitar 14 abad yang lalu, atau tepatnya malam Senin tahun ke-41 dari usia Rasulullah dan 13 tahun sebelum Hijriah, atau bertepatan dengan Juli 610 M, ayat pertama dalam Alquran diturunkan ketika Rasulullah sedang di Gua Hira. Ayat itu berbunyi, "Bacalah, dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." (QS al-Alaq [96]: 1-5).

Momen itulah penanda awal dicanangkannya revolusi sejati bagi seluruh umat manusia dengan Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa risalahnya. Sebab, kata kunci dari rangkaian ayat-ayat tersebut adalah (mem) baca: imbauan (tepatnya kewajiban) untuk senantiasa belajar dengan cara membaca segala macam peristiwa. Sebuah tuntunan yang kemudian terbukti puluhan abad setelahnya bahwa kemajuan peradaban manusia dapat dicapai dengan progresif jika berhasil menumbuhkan budaya baca tulis.

Tapi dalam mempelajari historiografi Alquran tidak banyak yang tahu bahwa yang pertama kali meyakini kebenaran Alquran justru seorang perempuan, yakni Siti Khadijah al-Qubra, istri Nabi sendiri. Setelah itu baru menyusul para sahabat Nabi.

Sebagai mukjizat yang ditujukan untuk menyinari alam kejahiliahan, Alquran sarat dengan muatan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dan ideal. Seolah setali dengan pihak pertama yang meyakini Alquran sebagai wahyu Nabi, perempuan adalah kelompok paling diuntungkan dengan turunnya Alquran. Mengapa? Di bawah tuntunan Alquran, Muhammad Rasulullah SAW melakukan perubahan radikal terhadap posisi dan status perempuan dalam masyarakat Arab jahiliah.

Risalah revolusioner
Seperti diungkapkan guru besar UIN Syarif Hidayatullah, Siti Musdah Mulia, saat itu Rasul mengajarkan keharusan merayakan kelahiran bayi perempuan di tengah tradisi Arab yang memandang aib kelahiran bayi perempuan. Kemudian Rasul menetapkan hak waris bagi perempuan di saat masyarakat memosisikan mereka hanya sebagai objek atau bagian dari komoditas yang diwariskan.

Rasul juga menetapkan kepemilikan mahar sebagai hak penuh perempuan dalam perkawinan pada saat masyarakat memandangnya sebagai hak monopoli orang tua atau wali. Pun Rasul mengangkat Ummu Waraqah menjadi imam shalat pada saat masyarakat hanya mengenal laki-laki sebagai pemuka agama. Rasul mempromosikan posisi ibu yang sangat tinggi, bahkan derajatnya tiga kali lebih tinggi daripada ayah pada saat masyarakat memandang ibu tak ubahnya mesin produksi. Selanjutnya, Rasul menempatkan istri sebagai mitra sejajar suami, saat masyarakat memandangnya sebagai pelayan dan objek seksual belaka.

Saat itu, Alquran turun di kawasan yang secara sosiologis, masyarakatnya memiliki konstruksi dan persepsi kebudayaan yang diskriminatif mengenai perempuan. Tatanan yang berlaku di masa itu adalah sistem patriarki: suatu budaya yang dibangun di atas struktur dominasi laki-laki sebagai pusat kuasa. Perempuan, dalam kebudayaan mereka, diposisikan dan diperlakukan sedemikian rendah dan hina. (Asghar Ali Engineer: 1994).

Artinya, Alquran diturunkan sebagai jawaban, bantahan, dan alternatif nilai untuk membangun kembali tata kebudayaan yang adil. Seperti dikatakan Fazlur Rahman, Alquran merupakan respons Allah yang disampaikan melalui Rasul-Nya untuk menanggapi situasi sosial-moral pada masa Nabi. Alquran dan asal usul masyarakat Islam muncul dalam sinaran sejarah dan berhadapan dengan latar belakang sosial-historis.

Dengan kata lain, Alquran telah menuntun Rasul mengubah posisi dan status perempuan secara revolusioner, mengubah posisi dan status perempuan dari objek yang dihinakan dan dilecehkan menjadi subjek yang dihormati dan diindahkan. Artinya, Nabi Muhammad adalah sosok revolusioner dalam segala bidang.

Rasul mengubah posisi perempuan yang subordinat, marjinal, dan inferior menjadi setara dan sederajat dengan laki-laki. Keduanya sama-sama makh luk, sama-sama manusia, sama-sama berpotensi menjadi khalifah fil ardh (pengelola ke hidupan di bumi), dan juga sa ma-sama berpotensi menjadi fasad filardh (perusak di muka bumi).

Perempuan modern
Pertanyaannya, bagaimana posisi dan peran perempuan kini? Apakah masih dalam nuansa yang sama seperti dilukiskan dalam riwayat tersebut atau sudah mengalami perubahan?

Setelah nyaris berjalan 14 abad lamanya, wujud kejahiliahan itu bermetamorfosis pada penindasan perempuan dalam kerangka yang lebih sistemis dan menyentuh level kebutuhan dasarnya sebagai manusia. Sebagai contoh, dalam peringatan Hari Aksara Internasional, September 2010, terungkap fakta bahwa dari data masyarakat yang terklasifikasi buta aksara usia 15 tahun ke atas sejumlah 10,16 juta, 65% di antaranya adalah perempuan.

Tidak heran jika Simon de Beauvoir dalam The Second Sex menyatakan pemberdayaan perempuan memerlukan kemandirian di bidang ekonomi, yang artinya wanita perlu terjun ke sektor publik.

Momentum memperingati Nuzulul Quran tahun ini, kita semua layak melakukan introspeksi diri, apakah nilai-nilai Qurani yang begitu ideal dan luhur telah dihayati dan diamalkan dalam kehi dupan sehari-hari?

Secara historis justru kaum perempuanlah (Siti Khadijah) yang pertama meyakini kebenaran Alquran. Akhirnya, semoga paradoks ini mampu menjadi pelecut bagi kaum perempuan untuk bangkit dan memperbaiki diri.

Sumber :http://koran.republika.co.id/koran/24/141764/Nuzulul_Quran_dan_Keaksaraan_Perempuan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...