Oleh: Khudori
Tak hanya rokok dan narkotika yang bisa membuat ketagihan (addict). Impor pangan pun tidak ubahnya candu. Seperti layaknya candu, pelaku impor bisa ketagihan karena telanjur keenakan.
Tidak perlu bekerja keras menggenjot produksi, karena pangan impor tersedia melimpah di pasar. Apalagi, harga pangan di pasar dunia jauh lebih murah ketimbang pangan serupa di dalam negeri. Serta-merta pangan produksi petani dicap tidak efisien. Argumen indah ini selalu diputar ulang sebagai legitimasi kebijakan impor.
Pemerintah memastikan kembali mengimpor beras tahun ini. Pemerintah masih malu-malu menyebutkan besar impor dan waktunya. Setidaknya, ada dua hal mengapa pemerintah mendorong impor beras.
Pertama, pengadaan gabah/beras Bulog seret alias tidak memadai. Sampai minggu ketiga Juli, Bulog baru menyerap 1,6 juta ton dari target 3,5 juta ton beras.Kalau setiap bulan beras cadangan pemerintah itu terkuras untuk berbagai keperluan, seperti operasi pasar, bantuan bencana dan yang lain, cadangan akan turun dari angka aman: 1,5 juta ton.
Ketika cadangan tidak aman, pemerintah tidak memiliki instrumen memadai untuk intervensi, saat harga naik karena spekulasi misalnya.
Kedua, setelah panen gadu selesai September nanti, Indonesia akan memasuki musim paceklik.Musim paceklik akan berlangsung hingga Januari tahun depan. Impor diperlukan tidak hanya untuk mengamankan cadangan beras saat paceklik, tapi juga guna mengantisipasi kemungkinan El Nino tahun depan.
Tentu tidak ada yang salah dengan langkah antisipasi itu. Masalahnya, rakyat awam, terutama petani, dibuat bingung. Menurut Angka Ramalan II BPS, produksi padi tahun 2011 diperkirakan mencapai 68,06 juta ton gabah kering giling, meningkat 1,59 jutaton (2,40%) dari tahun 2010.
Dengan rendemen gabah 56,5%, ada surplus beras sekitar 5 juta ton setelah dikurangi kebutuhan domestik. Ini jumlah yang besar.Surplus 5 juta ton setara dua bulan konsumsi domestik. Kalau surplus, mengapa impor? Absurditas seperti ini bukan kali pertama. Tahun lalu,saat pemerintah yakin surplus 3,5–4 juta ton, kita mengimpor beras 1,95 juta ton.
Pertanyaannya, untuk apa pemerintah memasang target swasembada atau surplus jika kemudian kebijakannya proimpor? Untuk apa bekerja keras menaikkan produksi pangan apabila yang didorong hanya stabilisasi harga pangan, bukan menggenjot penyerapan produksi pangan dalam negeri?
Untuk apa petani bekerja keras menaikkan produksi kalau akhirnya pemerintah tidak membeli untuk memperkuat cadangan, tapi justru mengimpor? Tanpa banyak disadari, kebijakan ini telah memberikan disinsentif kepada petani.
Mengejar Rente
Sampai saat ini,harga beras domestik masih lebih mahal ketimbang harga beras impor. Artinya, ada disparitas harga yang besar antara beras impor dan beras domestik. Janganjangan, rente ekonomi inilah yang menjadi motif kebijakan impor. Harga pangan di pasar dunia yang murah sering kali menjadi legitimasi kebijakan impor.
Argumen yang selalu diputar ulang: untuk apa bersusah payah memproduksi pangan sendiri kalau harga impor jauh lebih murah? Argumen di balik adalah soal daya saing. Karena harga pangan produksi petani domestik lebih tinggi, serta-merta produksi petani dicap tidak efisien. Argumen ini ceroboh dan sesat.
Harga komoditas di pasar dunia tidak bisa menjadi satu-satunya ukuran daya saing dan efisiensi karena harga itu terdistorsi oleh subsidi. Subsidi dipraktikkan sejumlah negara maju. Pendapatan petani beras, gula, dan daging sapi di negara OECD yang berasal dari bantuan pemerintah masing - masing mencapai 78%, 51%, dan 33%.
Artinya hanya 22% pendapatan petani beras di negara OECD yang berasal dari usaha tani. Sisanya dari subsidi pemerintah (Sawit,2007). Di Amerika Serikat ada 20 komoditas yang dilindungi dan disubsidi pemerintah.
Dari USD24,3 miliar subsidi pada 2005, sekitar 70–80% diterima 20 komoditas ini. Lima komoditas penting adalah beras, jagung, kedelai, gandum, dan kapas. Meskipun dalam perjanjian WTO subsidi itu harus dikurangi, dari tahun ke tahun subsidi tidak berkurang, tapi terus bertambah beras.
Ujung dari beleid subsidi berlebihan itu adalah dumping. Setelah Farm Bill tahun 1996, dumping kedelai AS naik dari 2% menjadi 13%, dumping beras naik dari 13,5% menjadi 19,2%,dan jagung naik dari 6,8% menjadi 19,2%. Untuk menjaga pendapatan petani, AS meluncurkan kredit ekspor.
Pada 2001 kredit ekspor mencapai USD750 juta. Fasilitas khusus ini diberikan pada importir kedelai Indonesia. Saat itu harga impor cuma Rp1.950 per kg, sementara harga kedelai lokal Rp2.500 per kg. Disparitas harga yang tinggi membuat ngiler siapa saja untuk mengimpor. Kebijakan itu kita terima begitu saja tanpa mempertimbangkan dampaknya di kemudian hari.
Bea masuk 5–10% sama sekali tidak mampu melindungi petani kedelai dari gempuran impor. Akibatnya, kini kita bergantung impor kedelai hampir mutlak dari AS. Akibat kebijakan proimpor, tanpa banyak disadari, kebergantungan kita pada pangan impor nyaris tidak berubah.
Sampai saat ini, Indonesia belum bisa keluar dari ketergantungan impor sejumlah pangan penting: susu (90% dari kebutuhan), gula (30%), garam (50%), gandum (100%), kedelai (70%), daging sapi (30%), induk ayam, dan telur.
Ketika harga naik, impor pangan akan menguras devisa. Pada saat yang sama, impor membuat kita kian tergantung pangan dari luar negeri.Padahal, pasar pangan dunia jauh dari sempurna,hanya dikuasai segelintir pelaku dan jumlah yang diperdagangkan tipis.
Mengimpor beras dari luar negeri,walaupun dengan harga lebih murah ketimbang harga beras petani domestik,akan menimbulkan dampak sosial berbeda.Bedanya,kalau mengimpor beras dari luar negeri akan menimbulkan efek berantai di luar negeri, yaitu apa yang dalam ekonomi disebut efek pengganda (multiplier effect).
Sebaliknya, jika membeli beras petani domestik meskipun lebih mahal akan menciptakan efek berantai di dalam negeri.Efek berantai itu dalam bentuk konsumsi, pendapatan dan penyerapan tenaga kerja (Arief, 2001). Inilah bedanya efisiensi komersial dan efisiensi sosial.●
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/418431/44/
KHUDORI
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010–2014), Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Tak hanya rokok dan narkotika yang bisa membuat ketagihan (addict). Impor pangan pun tidak ubahnya candu. Seperti layaknya candu, pelaku impor bisa ketagihan karena telanjur keenakan.
Tidak perlu bekerja keras menggenjot produksi, karena pangan impor tersedia melimpah di pasar. Apalagi, harga pangan di pasar dunia jauh lebih murah ketimbang pangan serupa di dalam negeri. Serta-merta pangan produksi petani dicap tidak efisien. Argumen indah ini selalu diputar ulang sebagai legitimasi kebijakan impor.
Pemerintah memastikan kembali mengimpor beras tahun ini. Pemerintah masih malu-malu menyebutkan besar impor dan waktunya. Setidaknya, ada dua hal mengapa pemerintah mendorong impor beras.
Pertama, pengadaan gabah/beras Bulog seret alias tidak memadai. Sampai minggu ketiga Juli, Bulog baru menyerap 1,6 juta ton dari target 3,5 juta ton beras.Kalau setiap bulan beras cadangan pemerintah itu terkuras untuk berbagai keperluan, seperti operasi pasar, bantuan bencana dan yang lain, cadangan akan turun dari angka aman: 1,5 juta ton.
Ketika cadangan tidak aman, pemerintah tidak memiliki instrumen memadai untuk intervensi, saat harga naik karena spekulasi misalnya.
Kedua, setelah panen gadu selesai September nanti, Indonesia akan memasuki musim paceklik.Musim paceklik akan berlangsung hingga Januari tahun depan. Impor diperlukan tidak hanya untuk mengamankan cadangan beras saat paceklik, tapi juga guna mengantisipasi kemungkinan El Nino tahun depan.
Tentu tidak ada yang salah dengan langkah antisipasi itu. Masalahnya, rakyat awam, terutama petani, dibuat bingung. Menurut Angka Ramalan II BPS, produksi padi tahun 2011 diperkirakan mencapai 68,06 juta ton gabah kering giling, meningkat 1,59 jutaton (2,40%) dari tahun 2010.
Dengan rendemen gabah 56,5%, ada surplus beras sekitar 5 juta ton setelah dikurangi kebutuhan domestik. Ini jumlah yang besar.Surplus 5 juta ton setara dua bulan konsumsi domestik. Kalau surplus, mengapa impor? Absurditas seperti ini bukan kali pertama. Tahun lalu,saat pemerintah yakin surplus 3,5–4 juta ton, kita mengimpor beras 1,95 juta ton.
Pertanyaannya, untuk apa pemerintah memasang target swasembada atau surplus jika kemudian kebijakannya proimpor? Untuk apa bekerja keras menaikkan produksi pangan apabila yang didorong hanya stabilisasi harga pangan, bukan menggenjot penyerapan produksi pangan dalam negeri?
Untuk apa petani bekerja keras menaikkan produksi kalau akhirnya pemerintah tidak membeli untuk memperkuat cadangan, tapi justru mengimpor? Tanpa banyak disadari, kebijakan ini telah memberikan disinsentif kepada petani.
Mengejar Rente
Sampai saat ini,harga beras domestik masih lebih mahal ketimbang harga beras impor. Artinya, ada disparitas harga yang besar antara beras impor dan beras domestik. Janganjangan, rente ekonomi inilah yang menjadi motif kebijakan impor. Harga pangan di pasar dunia yang murah sering kali menjadi legitimasi kebijakan impor.
Argumen yang selalu diputar ulang: untuk apa bersusah payah memproduksi pangan sendiri kalau harga impor jauh lebih murah? Argumen di balik adalah soal daya saing. Karena harga pangan produksi petani domestik lebih tinggi, serta-merta produksi petani dicap tidak efisien. Argumen ini ceroboh dan sesat.
Harga komoditas di pasar dunia tidak bisa menjadi satu-satunya ukuran daya saing dan efisiensi karena harga itu terdistorsi oleh subsidi. Subsidi dipraktikkan sejumlah negara maju. Pendapatan petani beras, gula, dan daging sapi di negara OECD yang berasal dari bantuan pemerintah masing - masing mencapai 78%, 51%, dan 33%.
Artinya hanya 22% pendapatan petani beras di negara OECD yang berasal dari usaha tani. Sisanya dari subsidi pemerintah (Sawit,2007). Di Amerika Serikat ada 20 komoditas yang dilindungi dan disubsidi pemerintah.
Dari USD24,3 miliar subsidi pada 2005, sekitar 70–80% diterima 20 komoditas ini. Lima komoditas penting adalah beras, jagung, kedelai, gandum, dan kapas. Meskipun dalam perjanjian WTO subsidi itu harus dikurangi, dari tahun ke tahun subsidi tidak berkurang, tapi terus bertambah beras.
Ujung dari beleid subsidi berlebihan itu adalah dumping. Setelah Farm Bill tahun 1996, dumping kedelai AS naik dari 2% menjadi 13%, dumping beras naik dari 13,5% menjadi 19,2%,dan jagung naik dari 6,8% menjadi 19,2%. Untuk menjaga pendapatan petani, AS meluncurkan kredit ekspor.
Pada 2001 kredit ekspor mencapai USD750 juta. Fasilitas khusus ini diberikan pada importir kedelai Indonesia. Saat itu harga impor cuma Rp1.950 per kg, sementara harga kedelai lokal Rp2.500 per kg. Disparitas harga yang tinggi membuat ngiler siapa saja untuk mengimpor. Kebijakan itu kita terima begitu saja tanpa mempertimbangkan dampaknya di kemudian hari.
Bea masuk 5–10% sama sekali tidak mampu melindungi petani kedelai dari gempuran impor. Akibatnya, kini kita bergantung impor kedelai hampir mutlak dari AS. Akibat kebijakan proimpor, tanpa banyak disadari, kebergantungan kita pada pangan impor nyaris tidak berubah.
Sampai saat ini, Indonesia belum bisa keluar dari ketergantungan impor sejumlah pangan penting: susu (90% dari kebutuhan), gula (30%), garam (50%), gandum (100%), kedelai (70%), daging sapi (30%), induk ayam, dan telur.
Ketika harga naik, impor pangan akan menguras devisa. Pada saat yang sama, impor membuat kita kian tergantung pangan dari luar negeri.Padahal, pasar pangan dunia jauh dari sempurna,hanya dikuasai segelintir pelaku dan jumlah yang diperdagangkan tipis.
Mengimpor beras dari luar negeri,walaupun dengan harga lebih murah ketimbang harga beras petani domestik,akan menimbulkan dampak sosial berbeda.Bedanya,kalau mengimpor beras dari luar negeri akan menimbulkan efek berantai di luar negeri, yaitu apa yang dalam ekonomi disebut efek pengganda (multiplier effect).
Sebaliknya, jika membeli beras petani domestik meskipun lebih mahal akan menciptakan efek berantai di dalam negeri.Efek berantai itu dalam bentuk konsumsi, pendapatan dan penyerapan tenaga kerja (Arief, 2001). Inilah bedanya efisiensi komersial dan efisiensi sosial.●
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/418431/44/
KHUDORI
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010–2014), Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya