Rabu, 10 Agustus 2011

Ampuni atau Amputasi Pejabat Korup

Oleh: Moh Mahfud MD

Dalam sepekan terakhir ini, dunia politik kita digegerkan oleh statemen Ketua DPR Marzuki Alie. Selain diberitakan mengusulkan pembubaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), politikus Partai Demokrat ini juga diberitakan mengusulkan pemaafan bagi para koruptor.

Padahal sebenarnya isu pemaafan koruptor itu bukan soal baru. Ide tentang itu sudah sering bergulir di Indonesia, di negara-negara lain pun ada yang melakukannya sebagai jalan penyelesaian yang dianggap realistis.

Sejauh menyangkut pemaafan, jika diartikan bahwa para koruptor perlu dimaafkan dan disuruh pulang asal kelak tak melalukan korupsi lagi, syukur-syukur mau mengembalikan sebagian hartanya kepada negara, sebenarnya substansinya tidaklah baru.

Adnan Buyung Nasution mengatakan bahwa usul seperti itu sudah pernah diajukan pada 2001, tetapi ditolak oleh pembuat undang-undang. Saya sendiri pada tahun 2000 melalui pidato pengukuhan sebagai guru besar di UII Yogyakarta menawarkan dua alternatif, yakni mengamputasi atau mengampuni para penegak hukum atau pejabat-pejabat yang terlilit kasus korupsi.

Alasannya sederhana, pemberantasan korupsi sulit dilakukan karena kita terjebak pada lingkaran setan yang tak pernah bisa diputus. Saya pernah mengatakan, saat ini kita terjebak dalam situasi saling sandera.

Kasus kasus korupsi besar tak pernah bisa diselesaikan, sementara setiap hari bermunculan kasus korupsi baru yang juga banyak yang tak terselesaikan. Ini mengakibatkan munculnya penyakit baru yang berbahaya bagi masa depan bangsa kita, yakni penyakit imun atau kebal terhadap berita-berita korupsi.

Dulu kita bisa kaget setengah mati kalau ada berita korupsi miliaran rupiah. Sekarang ini masyarakat sudah kehabisan rasa kaget kalau hanya mendengar berita korupsi miliaran, sebab hampir setiap hari kita disuguhi berita korupsi yang ratusan miliar, bahkan triliunan rupiah, yang hampir semuanya tak terselesaikan secara hukum.

Penyebab sulitnya kita keluardarilingkaransetanpemberantasan korupsi karena korupsi melibatkan banyak pejabat dan penegak hukum itu sendiri sehingga selalu terjadi saling sandera.

Ditengarai bahwa dalam banyak kasus,pelaku korupsi memblokir proses hukum sambil mengancam bahwa jika kasusnya diteruskan, dia juga akan membongkar kasus lain yang melibatkan pejabat lain, bahkan melibatkan pejabat-pejabat penegak hukum itu sendiri Saling sandera seperti ini dilakukan juga melalui jalurjalur politik sehingga semakin lama terjadilah penumpukan kasus korupsi yang tak terselesaikan dan malah menginspirasi munculnya korupsi-korupsi baru.

Koruptor baru selalu bermunculan karena merasa bisa selamat melalui proses ”sandera-menyandera”. Yang terkena hukuman biasanya hanya yang kecil-kecil atau pelaku korupsi yang apes karena tak punya channel politik atau tak punya uang untuk mengurus perkara melalui jalan-jalan gelap.

Karena keterjebakan dalam situasi saling sandera dan keterjeratan dalam lingkaran setan yang sulit diputus itulah menjadi wajar jika kemudian muncul gagasan tentang perlunya mencari upaya terobosan. Caranya, kita harus berani memutus hubungan dengan korupsi masa lalu atau mengakhiri secepatnya kasus-kasus yang sudah menjerat kita itu.

Ada dua cara untuk memutus hubungan dengan masa lalu itu, yaitu mengamputasi dan mengampuni. Dengan amputasi dimaksudkan untuk membuat kebijakan lustrasi, yakni mengganti pejabat-pejabat (ada yang menyebut sebagai potong generasi) yang menghambat pemberantasan korupsi dan reformasi pada umumnya melalui undangundang tentang itu.

Di beberapa negara reformasi dilakukan melalui kebijakan lustrasi, yakni memberhentikan dan mengganti serta melarang pejabat politik dan penegak hukum dalam usia dan eselon tertentu untuk terus aktif di politik dan pemerintahan guna diganti dengan yang baru. Orang-orang baru ini diharapkan dapat bekerja untuk melaksanakan agenda reformasi dan pemberantasan korupsi tanpa tersandera oleh kasuskasus yang melilit dirinya.

Adapun pemutihan adalah kebijakan memaafkan atau mengampuni dengan syarat, setelah itu, harus melaksanakan tugas dengan baik dan tidak melakukan korupsi lagi disertai ancaman hukum yang berat.

Pilihan atas alternatif pemutihan atau pemaafan ini didasarkan pada asumsi bahwa kebijakan lustrasi atau amputasi untuk satu generasi akan sulit dilakukan karena realisasinya harus dilakukan oleh pejabat-pejabat politik dan penegak hukum yang pada umumnya akan terkena kebijakan amputasi itu sendiri; tentu mereka akan menolak keras rencana kebijakan amputasi atau lustrasi itu.

Oleh sebab itu, pilihan atas ampunan (pemaafan) dianggap lebih realistis dengan tingkat efektivitas yang juga memberi harapan yang cukup. Di beberapa negara ada kebijakan pengampunan seperti itu, yakni menganggap selesai persoalan korupsi yang melibatkan para pejabat dan pegawai pemerintah,tetapi kalau terlibat korupsi lagi diancam dengan hukuman yang sangat berat, termasuk hukuman mati.

Pilihan penyelesaian dengan amputasi atau potong generasi (kebijakan lustrasi) maupun dengan ampunan atau pemaafan ini perlu juga kita pikirkan, sebab kalau begini-begini terus,kalau kita tak memutus hubungan dengan kasus-kasus masa lalu,maka kita akan selalu berada dalam situasi saling sandera dan terjebak dalam lingkaran setan tanpa bisa keluar.

Dan situasi seperti akan membuat frustrasi masyarakat yang dapat membahayakan masa depan bangsa dan negara, Indonesia tercinta.
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/418581/44/

 MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...