Oleh: Achmad Fauzi
Alumnus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
Hakim PA Kotabaru, Kalsel
Tim penjemput buron kasus korupsi akhirnya berhasil memulangkan Muhammad Nazaruddin ke Tanah Air, Sabtu (13/8). Barang sitaan berupa tas kecil bersegel yang sempat membuat penasaran masyarakat Indonesia itu juga telah diserahkan oleh Kedubes RI kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Bogota, Kolombia. Semoga beberapa barang bukti penting dalam tas berupa flashdisk, bolpoin, dua gepok uang tunai masing-masing senilai 10 ribu dolar AS, empat buah telepon seluler beserta //charger, dompet, dan mungkin nantinya ada bukti lain seperti CCTV, yang menurut 'nyanyian' Nazaruddin, memuat rekaman pertemuannya dengan petinggi KPK, yang menjadi penunjuk jalan bagi terkuaknya sindikat kejahatan korupsi di Indonesia.
Ada dua isu penting yang menjadi harapan masyarakat dalam penanganan kasus yang menyita perhatian jutaan rakyat ini. Pertama, kasus Nazaruddin hendaknya menjadi momentum pembuktian kredibilitas KPK sebagai lembaga pengawal depan pemberantasan korupsi. Kredibilitas penting dipertaruhkan karena tingkat kepercayaan masyarakat terhadap KPK belakangan ini diduga mengalami kemerosotan. Ini tergambar dari data hasil survei dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap KPK menurun dari 58,3 persen pada Oktober 2005 menjadi 41,6 persen pada Juni 2011.
Kredibilitas sejatinya tidak bisa dibangun hanya melalui apologi dan perdebatan validitas survei yang justru menghabiskan energi. Komitmen kerja keras dan keberanian adalah syarat mutlak untuk mengusut tuntas kasus Nazaruddin, kendati di dalamnya banyak bersinggungan dengan kepentingan politik penguasa atau bahkan petinggi KPK sendiri. Di sinilah ujian sesungguhnya bagi KPK, sebab masih banyak tugas berat lainnya untuk memulangkan Nunun Nurbaiti, beberapa penjahat Negara kasus BLBI, kejahatan perbankan, dan kejahatan korupsi lainnya, yang pelakunya bersembunyi di luar negeri.
Kredibilitas bukan hanya diwujudkan dengan tampil garang ke luar. Sebagai lembaga ad hoc yang menjadi tumpuan asa jutaan rakyat, KPK juga penting melakukan bersih-bersih ke dalam dengan cara membuka diri untuk diperiksa komisi etik, sehingga kebenaran keterlibatan petinggi KPK sebagaimana disebutkan dalam syair 'nyanyian' Nazaruddin menjadi terang benderang. Muspro jika KPK sibuk mengurus benang kusut korupsi di luar, sementara nilai etik, independensi, dan integritas di dalam lingkungan KPK sendiri terabaikan. Ibarat kata, tidaklah mungkin mampu membersihkan lantai yang kotor jika sapu yang digunakan juga menyimpan banyak kotoran.
Kedua, kasus Nazaruddin menarik karena dia mengklaim bukan sebagai aktor tunggal dalam sebuah drama korupsi. Kendati uang yang dikorupsi diperkirakan mencapai 400 miliar rupiah, tidak menutup kemungkinan ada jaringan atau pemain lain yang turut terlibat di dalamnya dengan jumlah uang korupsi yang tidak kalah fantastis. Di sinilah masyarakat sedang menunggu verifikasi 'nyanyian' Nazaruddin.
Publik berharap Nazaruddin mau membuka selebar-lebarnya kasus ini dan menguak siapa saja orang yang terlibat di dalamnya dengan mengabaikan kemungkinan adanya kesepakatan-kesepakatan politik sebelumnya. Tapi yang menjadi catatan, jangan sampai Nazaruddin diposisikan sebagai whistler blower atau peniup peluit yang secara politis memungkinkan tukar guling keringanan hukuman. Nazaruddin tetap tersangka yang apabila terbukti harus dihukum berat, diadili dengan pembuktian terbalik, disita kekayaannya, dan dimiskinkan secara materi sehingga menjadi pelajaran bagi kader partai yang menduduki jabatan politis untuk tidak melakukan korupsi.
Tidak ada maaf
Keberhasilan KPK memulangkan koruptor yang bersembunyi di luar negeri, terlebih berhasil mengusut tuntas hingga ke akarnya, sejatinya menjadi antitesis terhadap 'teori maaf' yang digulirkan Ketua DPR Marzuki Alie beberapa waktu lalu. Teori itu menghendaki dengan dibukanya keran pengampunan bagi koruptor, mereka berbondong-bondong 'insyaf' dan kembali ke Tanah Air sembari mengembalikan uang hasil korupsinya kepada negara. Yang terkesan dari teori itu, seolah negara tidak berdaya, perangkat hukumnya mandul, sehingga negara harus mengobral maaf kepada para koruptor.
Dalam kasus Nazaruddin, KPK seolah hendak meneguhkan diri untuk bersungguh-sungguh memberantas korupsi dengan cara mengambil alih proses pengusutannya. Bagaimanapun, korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang siapa pun sepakat untuk menghukum berat pelakunya. Yang menjadi kekhawatiran adalah ketika kadar ketegasan KPK dalam perang melawan korupsi tiba-tiba terdegradasi oleh permainan politik tingkat tinggi. Sehingga, korupsi yang semula menjadi extra ordinary crime, karena bersinggungan dengan kekuasaan, akhirnya dianggap sebagai pelanggaran biasa yang bisa diselesaikan secara adat. Oleh karena itu, masyarakat harus turut serta memantau secara jelas jalannya kasus ini sehingga segala penyimpangan bisa dikontrol dengan saksama.
Jamaknya praktik korupsi di tingkat pusat ataupun daerah tidak dapat dimungkiri membuat KPK lelah dan keteteran. Terlebih, banyak gerakan penggembosan KPK yang dipelopori oleh mereka yang merasa dihantui jerat hukum. Oleh karena itu, menjaga kredibilitas KPK menjadi tanggung jawab bersama semua komponen bangsa. Bagaimana mungkin upaya pemberantasan korupsi yang kerap didengungkan pemerintah dapat tercapai jika hanya menyerahkan kepada KPK.
Kemauan politik yang kuat dari semua unsur kekuasaan negara merupakan conditio sine qua non, mengingat korupsi berkaitan erat dengan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh kekuatan politik. Oleh karena itu, political will harus diejawantahkan dengan melakukan beberapa hal. Pertama, bersikap tegas meniadakan ampunan atau maaf kepada pelaku korupsi. Kedua, memisahkan keagungan hukum dari kepentingan politik. Ketiga, memprioritaskan penegakan pilar-pilar good governance dengan melakukan fit and proper test kepada pemimpin yang meduduki posisi strategis. Fit and proper test adalah salah satu bentuk tanggung jawab moral dan politik terhadap masyarakat, sehingga nantinya para birokrat dapat menjalankan roda pemerintahan dengan baik dan bebas KKN melalui prinsip akuntabilitas dan transparansi.
Keempat, produk legislasi yang bebas dari unsur kepentingan politik. Sehingga, undang-undang yang dihasilkan memungkinkan para koruptor dimatikan gerak dan transaksi ekonominya, dirampas asetnya, dibebankan pembuktian terbalik, dimiskinkan secara materi, dan diberatkan hukumannya. Hanya dengan demikian kredibilitas KPK terus terjaga.
Oleh :http://koran.republika.co.id/koran/24/141763/Pertaruhan_Kredibilitas_KPK
Alumnus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
Hakim PA Kotabaru, Kalsel
Tim penjemput buron kasus korupsi akhirnya berhasil memulangkan Muhammad Nazaruddin ke Tanah Air, Sabtu (13/8). Barang sitaan berupa tas kecil bersegel yang sempat membuat penasaran masyarakat Indonesia itu juga telah diserahkan oleh Kedubes RI kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Bogota, Kolombia. Semoga beberapa barang bukti penting dalam tas berupa flashdisk, bolpoin, dua gepok uang tunai masing-masing senilai 10 ribu dolar AS, empat buah telepon seluler beserta //charger, dompet, dan mungkin nantinya ada bukti lain seperti CCTV, yang menurut 'nyanyian' Nazaruddin, memuat rekaman pertemuannya dengan petinggi KPK, yang menjadi penunjuk jalan bagi terkuaknya sindikat kejahatan korupsi di Indonesia.
Ada dua isu penting yang menjadi harapan masyarakat dalam penanganan kasus yang menyita perhatian jutaan rakyat ini. Pertama, kasus Nazaruddin hendaknya menjadi momentum pembuktian kredibilitas KPK sebagai lembaga pengawal depan pemberantasan korupsi. Kredibilitas penting dipertaruhkan karena tingkat kepercayaan masyarakat terhadap KPK belakangan ini diduga mengalami kemerosotan. Ini tergambar dari data hasil survei dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap KPK menurun dari 58,3 persen pada Oktober 2005 menjadi 41,6 persen pada Juni 2011.
Kredibilitas sejatinya tidak bisa dibangun hanya melalui apologi dan perdebatan validitas survei yang justru menghabiskan energi. Komitmen kerja keras dan keberanian adalah syarat mutlak untuk mengusut tuntas kasus Nazaruddin, kendati di dalamnya banyak bersinggungan dengan kepentingan politik penguasa atau bahkan petinggi KPK sendiri. Di sinilah ujian sesungguhnya bagi KPK, sebab masih banyak tugas berat lainnya untuk memulangkan Nunun Nurbaiti, beberapa penjahat Negara kasus BLBI, kejahatan perbankan, dan kejahatan korupsi lainnya, yang pelakunya bersembunyi di luar negeri.
Kredibilitas bukan hanya diwujudkan dengan tampil garang ke luar. Sebagai lembaga ad hoc yang menjadi tumpuan asa jutaan rakyat, KPK juga penting melakukan bersih-bersih ke dalam dengan cara membuka diri untuk diperiksa komisi etik, sehingga kebenaran keterlibatan petinggi KPK sebagaimana disebutkan dalam syair 'nyanyian' Nazaruddin menjadi terang benderang. Muspro jika KPK sibuk mengurus benang kusut korupsi di luar, sementara nilai etik, independensi, dan integritas di dalam lingkungan KPK sendiri terabaikan. Ibarat kata, tidaklah mungkin mampu membersihkan lantai yang kotor jika sapu yang digunakan juga menyimpan banyak kotoran.
Kedua, kasus Nazaruddin menarik karena dia mengklaim bukan sebagai aktor tunggal dalam sebuah drama korupsi. Kendati uang yang dikorupsi diperkirakan mencapai 400 miliar rupiah, tidak menutup kemungkinan ada jaringan atau pemain lain yang turut terlibat di dalamnya dengan jumlah uang korupsi yang tidak kalah fantastis. Di sinilah masyarakat sedang menunggu verifikasi 'nyanyian' Nazaruddin.
Publik berharap Nazaruddin mau membuka selebar-lebarnya kasus ini dan menguak siapa saja orang yang terlibat di dalamnya dengan mengabaikan kemungkinan adanya kesepakatan-kesepakatan politik sebelumnya. Tapi yang menjadi catatan, jangan sampai Nazaruddin diposisikan sebagai whistler blower atau peniup peluit yang secara politis memungkinkan tukar guling keringanan hukuman. Nazaruddin tetap tersangka yang apabila terbukti harus dihukum berat, diadili dengan pembuktian terbalik, disita kekayaannya, dan dimiskinkan secara materi sehingga menjadi pelajaran bagi kader partai yang menduduki jabatan politis untuk tidak melakukan korupsi.
Tidak ada maaf
Keberhasilan KPK memulangkan koruptor yang bersembunyi di luar negeri, terlebih berhasil mengusut tuntas hingga ke akarnya, sejatinya menjadi antitesis terhadap 'teori maaf' yang digulirkan Ketua DPR Marzuki Alie beberapa waktu lalu. Teori itu menghendaki dengan dibukanya keran pengampunan bagi koruptor, mereka berbondong-bondong 'insyaf' dan kembali ke Tanah Air sembari mengembalikan uang hasil korupsinya kepada negara. Yang terkesan dari teori itu, seolah negara tidak berdaya, perangkat hukumnya mandul, sehingga negara harus mengobral maaf kepada para koruptor.
Dalam kasus Nazaruddin, KPK seolah hendak meneguhkan diri untuk bersungguh-sungguh memberantas korupsi dengan cara mengambil alih proses pengusutannya. Bagaimanapun, korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang siapa pun sepakat untuk menghukum berat pelakunya. Yang menjadi kekhawatiran adalah ketika kadar ketegasan KPK dalam perang melawan korupsi tiba-tiba terdegradasi oleh permainan politik tingkat tinggi. Sehingga, korupsi yang semula menjadi extra ordinary crime, karena bersinggungan dengan kekuasaan, akhirnya dianggap sebagai pelanggaran biasa yang bisa diselesaikan secara adat. Oleh karena itu, masyarakat harus turut serta memantau secara jelas jalannya kasus ini sehingga segala penyimpangan bisa dikontrol dengan saksama.
Jamaknya praktik korupsi di tingkat pusat ataupun daerah tidak dapat dimungkiri membuat KPK lelah dan keteteran. Terlebih, banyak gerakan penggembosan KPK yang dipelopori oleh mereka yang merasa dihantui jerat hukum. Oleh karena itu, menjaga kredibilitas KPK menjadi tanggung jawab bersama semua komponen bangsa. Bagaimana mungkin upaya pemberantasan korupsi yang kerap didengungkan pemerintah dapat tercapai jika hanya menyerahkan kepada KPK.
Kemauan politik yang kuat dari semua unsur kekuasaan negara merupakan conditio sine qua non, mengingat korupsi berkaitan erat dengan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh kekuatan politik. Oleh karena itu, political will harus diejawantahkan dengan melakukan beberapa hal. Pertama, bersikap tegas meniadakan ampunan atau maaf kepada pelaku korupsi. Kedua, memisahkan keagungan hukum dari kepentingan politik. Ketiga, memprioritaskan penegakan pilar-pilar good governance dengan melakukan fit and proper test kepada pemimpin yang meduduki posisi strategis. Fit and proper test adalah salah satu bentuk tanggung jawab moral dan politik terhadap masyarakat, sehingga nantinya para birokrat dapat menjalankan roda pemerintahan dengan baik dan bebas KKN melalui prinsip akuntabilitas dan transparansi.
Keempat, produk legislasi yang bebas dari unsur kepentingan politik. Sehingga, undang-undang yang dihasilkan memungkinkan para koruptor dimatikan gerak dan transaksi ekonominya, dirampas asetnya, dibebankan pembuktian terbalik, dimiskinkan secara materi, dan diberatkan hukumannya. Hanya dengan demikian kredibilitas KPK terus terjaga.
Oleh :http://koran.republika.co.id/koran/24/141763/Pertaruhan_Kredibilitas_KPK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya