Oleh: Iman Sugema
Pekan lalu harga saham di berbagai belahan dunia mengalami kejatuhan yang tajam dan hampir menghapus capital gain selama 2011. Tentu sebagian besar dari kita bertanya-tanya mengenai apa yang akan terjadi selanjutnya?
Harga saham dan komoditas merupakan indikator simtomatik yang cukup baik untuk menerangkan situasi perekonomian yang sedang terjadi atau bahkan yang akan terjadi. Itulah sebabnya di hampir semua negara, indeks harga saham selalu masuk menjadi salah satu komponen coincidence indicators atau bahkan leading indicators.
Ketika terjadi sebuah riak yang tajam di pasar modal, itu merupakan sinyal bahwa masalah serius sedang terjadi. Karena itu pula, bukanlah isu yang terlalu penting apakah pekan ini bursa saham akan melemah kembali atau tidak. Yang terpenting adalah memahami implikasi dari masalah yang sebenarnya dihadapi.
Kejadian pekan lalu harus kita interpretasikan sebagai sebuah vote of no confidence atau mosi tidak percaya bahwa pemerintah Amerika Serikat akan cukup memiliki amunisi yang efektif dalam mempercepat terjadinya pemulihan ekonomi pasca krisis.
Berlarut-larutnya perdebatan mengenai pagu utang (debt ceiling) antara kubu Barack Obama dengan kubu mayoritas kongres yang dikuasai oleh partai Republik telah menghancurkan harapan bahwa Washington akan selalu memiliki cara untuk memperbaiki keadaan.
Harapan itu nyata karena memang dalam situasi krisis pemerintah manapun selalu berperan untuk melakukan jump start terhadap perekonomian yang lagi mandek. Yang terjadi di Washington justru sebaliknya. Para politisi seolah tidak memiliki sense of urgency. Akibatnya, karena terpepet oleh waktu, kebijakan diputuskan berdasarkan kompromi dan bukan berdasarkan atas apa yang terbaik harus dilakukan.
Karena itu, lembaga pemeringkat Standard & Poor’s menurunkan peringkat utang pemerintah AS. Untuk pertama kalinya, AS tidak dianggap sebagai negara yang paling aman. Alasan dari penurunan peringkat ini bukan masalah kemampuan bayar, tetapi masalah politik yang dapat memengaruhi kemauan untuk membayar.
Dengan tingkat utang sebesar 100% dari PDB, secara teknis seharusnya Pemerintah AS tidak kesulitan melunasinya. Tetapi apa lacur, perseteruan politik antara kubu Republik dan Demokrat hampir menyebabkan Menteri Keuangan tak bisa mencairkan uang satu sen sekalipun.
Kebijakan ekonomi tersandera oleh situasi politik yang tidak menguntungkan terutama setelah menguatnya pengaruh kelompok ‘jamuan the’ atau tea party. Kelompok ini merupakan Republikan garis keras yang tak kenal kompromi.
Dalam situasi di mana pengangguran sedang tinggi, pertumbuhan masih lambat, industri keuangan masih rentan, dan konsumsi rumah tangga belum pulih, satu-satunya harapan adalah berbagai stimulus yang dilakukan oleh pemerintah. Keberadaan pemerintah justru menjadi kunci apakah pemulihan ekonomi akan berlangsung lebih cepat atau tidak.
Perdebatan debt ceiling akhirnya menunjukkan bahwa karena situasi politik tertentu, maka Pemerintah AS bisa jadi harus melakukan langkah yang berkebalikan. Ketika perekonomian membutuhkan stimulus, para politisi malah berdebat mengenai rencana pemotongan anggaran. Walaupun akhirnya Obama mendapatkan kenaikan pagu utang, itu harus ditebus dengan kompromi akan dilakukan pemotongan anggaran selama 10 tahun ke depan. Padahal, sinyal yang harus diberikan adalah ekspansi anggaran.
Dengan sinyal politik yang demikian, tautologi hukum pasar kemudian berlaku. Kalau anggaran dikurangi US$2,1 triliun dalam 10 tahun, maka pertumbuhan ekonomi tidak bisa dipacu seperti yang diharapkan semula.
Kesempatan kerja yang hilang akibat kebijakan ini bisa mencapai 500.000 sampai 700.000 per tahun. Itu berarti yang kemarin kehilangan kerja akibat PHK selama krisis sub-prime mortgage tidak mudah untuk mencari kerja kembali. Selanjutnya, karena pengangguran masih tinggi dan prospek ekonomi belum cerah, maka rumah tangga akan cenderung berhemat dan tentunya ini memperburuk keadaan. Karena itu menjadi wajar kalau kemudian para pelaku pasar di seluruh dunia bereaksi negatif terhadap perkembangan politik di Washington.
Iktikad kuat
Kembali ke pertanyaan awal tadi, apa yang akan terjadi selanjutnya? Situasi akan terus buruk bila Washington dan pemerintah negara-negara maju lainnya tidak menunjukkan iktikad politik yang kuat untuk mempercepat pemulihan ekonomi. Saat ini Kongres reses, dan tentunya pasar modal di seluruh dunia punya ruang yang cukup untuk rebound. Karena belum ada isu baru yang bisa ‘diperdagangkan’, pasar akan menemukan keseimbangannya kembali.
Waktu akan membuktikan apakah para politisi telah mengambil pelajaran dari kejadian pekan lalu. Kalau tidak, akan ada kejutan-kejutan lainnya pascareses nanti. Salah satu isu kuat yang berpotensi untuk membuat perseteruan Republik vs Demokrat semakin runcing adalah masalah kenaikan pajak. Kalau isu ini kemudian tidak diletakan dalam konteks untuk mempercepat pemulihan ekonomi, maka pasar keuangan kemungkinan akan bereaksi seperti pekan lalu.
Waktu juga akan membuktikan apakah Washington masih ada atau tidak. Kalau ternyata para politisi di Washington terus bertingkah tanpa mempedulikan kondisi perekonomian yang dihadapi rakyatnya, maka suatu saat mungkin pelaku ekonomi sudah tidak lagi mempedulikan situasi politik.
Seperti halnya yang terjadi di Indonesia, ekonomi dapat berjalan dengan sendirinya terlepas dari gonjang-ganjing politik. Jika hal yang sama terjadi pada Washington, kemudian orang di seluruh dunia akan bertanya-tanya masih adakah Washington? Atau, apakah memang kita perlu Washington? Harga saham di Wall Street yang mengalami crash hanya sekedar symptom dari kandasnya politik di Washington.
URL Source: http://www.bisnis.com/articles/masih-adakah-washington
Iman Sugema
*) Penulis adalah CEO EC-Think Corp
Pekan lalu harga saham di berbagai belahan dunia mengalami kejatuhan yang tajam dan hampir menghapus capital gain selama 2011. Tentu sebagian besar dari kita bertanya-tanya mengenai apa yang akan terjadi selanjutnya?
Harga saham dan komoditas merupakan indikator simtomatik yang cukup baik untuk menerangkan situasi perekonomian yang sedang terjadi atau bahkan yang akan terjadi. Itulah sebabnya di hampir semua negara, indeks harga saham selalu masuk menjadi salah satu komponen coincidence indicators atau bahkan leading indicators.
Ketika terjadi sebuah riak yang tajam di pasar modal, itu merupakan sinyal bahwa masalah serius sedang terjadi. Karena itu pula, bukanlah isu yang terlalu penting apakah pekan ini bursa saham akan melemah kembali atau tidak. Yang terpenting adalah memahami implikasi dari masalah yang sebenarnya dihadapi.
Kejadian pekan lalu harus kita interpretasikan sebagai sebuah vote of no confidence atau mosi tidak percaya bahwa pemerintah Amerika Serikat akan cukup memiliki amunisi yang efektif dalam mempercepat terjadinya pemulihan ekonomi pasca krisis.
Berlarut-larutnya perdebatan mengenai pagu utang (debt ceiling) antara kubu Barack Obama dengan kubu mayoritas kongres yang dikuasai oleh partai Republik telah menghancurkan harapan bahwa Washington akan selalu memiliki cara untuk memperbaiki keadaan.
Harapan itu nyata karena memang dalam situasi krisis pemerintah manapun selalu berperan untuk melakukan jump start terhadap perekonomian yang lagi mandek. Yang terjadi di Washington justru sebaliknya. Para politisi seolah tidak memiliki sense of urgency. Akibatnya, karena terpepet oleh waktu, kebijakan diputuskan berdasarkan kompromi dan bukan berdasarkan atas apa yang terbaik harus dilakukan.
Karena itu, lembaga pemeringkat Standard & Poor’s menurunkan peringkat utang pemerintah AS. Untuk pertama kalinya, AS tidak dianggap sebagai negara yang paling aman. Alasan dari penurunan peringkat ini bukan masalah kemampuan bayar, tetapi masalah politik yang dapat memengaruhi kemauan untuk membayar.
Dengan tingkat utang sebesar 100% dari PDB, secara teknis seharusnya Pemerintah AS tidak kesulitan melunasinya. Tetapi apa lacur, perseteruan politik antara kubu Republik dan Demokrat hampir menyebabkan Menteri Keuangan tak bisa mencairkan uang satu sen sekalipun.
Kebijakan ekonomi tersandera oleh situasi politik yang tidak menguntungkan terutama setelah menguatnya pengaruh kelompok ‘jamuan the’ atau tea party. Kelompok ini merupakan Republikan garis keras yang tak kenal kompromi.
Dalam situasi di mana pengangguran sedang tinggi, pertumbuhan masih lambat, industri keuangan masih rentan, dan konsumsi rumah tangga belum pulih, satu-satunya harapan adalah berbagai stimulus yang dilakukan oleh pemerintah. Keberadaan pemerintah justru menjadi kunci apakah pemulihan ekonomi akan berlangsung lebih cepat atau tidak.
Perdebatan debt ceiling akhirnya menunjukkan bahwa karena situasi politik tertentu, maka Pemerintah AS bisa jadi harus melakukan langkah yang berkebalikan. Ketika perekonomian membutuhkan stimulus, para politisi malah berdebat mengenai rencana pemotongan anggaran. Walaupun akhirnya Obama mendapatkan kenaikan pagu utang, itu harus ditebus dengan kompromi akan dilakukan pemotongan anggaran selama 10 tahun ke depan. Padahal, sinyal yang harus diberikan adalah ekspansi anggaran.
Dengan sinyal politik yang demikian, tautologi hukum pasar kemudian berlaku. Kalau anggaran dikurangi US$2,1 triliun dalam 10 tahun, maka pertumbuhan ekonomi tidak bisa dipacu seperti yang diharapkan semula.
Kesempatan kerja yang hilang akibat kebijakan ini bisa mencapai 500.000 sampai 700.000 per tahun. Itu berarti yang kemarin kehilangan kerja akibat PHK selama krisis sub-prime mortgage tidak mudah untuk mencari kerja kembali. Selanjutnya, karena pengangguran masih tinggi dan prospek ekonomi belum cerah, maka rumah tangga akan cenderung berhemat dan tentunya ini memperburuk keadaan. Karena itu menjadi wajar kalau kemudian para pelaku pasar di seluruh dunia bereaksi negatif terhadap perkembangan politik di Washington.
Iktikad kuat
Kembali ke pertanyaan awal tadi, apa yang akan terjadi selanjutnya? Situasi akan terus buruk bila Washington dan pemerintah negara-negara maju lainnya tidak menunjukkan iktikad politik yang kuat untuk mempercepat pemulihan ekonomi. Saat ini Kongres reses, dan tentunya pasar modal di seluruh dunia punya ruang yang cukup untuk rebound. Karena belum ada isu baru yang bisa ‘diperdagangkan’, pasar akan menemukan keseimbangannya kembali.
Waktu akan membuktikan apakah para politisi telah mengambil pelajaran dari kejadian pekan lalu. Kalau tidak, akan ada kejutan-kejutan lainnya pascareses nanti. Salah satu isu kuat yang berpotensi untuk membuat perseteruan Republik vs Demokrat semakin runcing adalah masalah kenaikan pajak. Kalau isu ini kemudian tidak diletakan dalam konteks untuk mempercepat pemulihan ekonomi, maka pasar keuangan kemungkinan akan bereaksi seperti pekan lalu.
Waktu juga akan membuktikan apakah Washington masih ada atau tidak. Kalau ternyata para politisi di Washington terus bertingkah tanpa mempedulikan kondisi perekonomian yang dihadapi rakyatnya, maka suatu saat mungkin pelaku ekonomi sudah tidak lagi mempedulikan situasi politik.
Seperti halnya yang terjadi di Indonesia, ekonomi dapat berjalan dengan sendirinya terlepas dari gonjang-ganjing politik. Jika hal yang sama terjadi pada Washington, kemudian orang di seluruh dunia akan bertanya-tanya masih adakah Washington? Atau, apakah memang kita perlu Washington? Harga saham di Wall Street yang mengalami crash hanya sekedar symptom dari kandasnya politik di Washington.
URL Source: http://www.bisnis.com/articles/masih-adakah-washington
Iman Sugema
*) Penulis adalah CEO EC-Think Corp
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya