Jumat, 01 Juli 2011

Perlindungan Nyata Buruh Migran

Oleh: Afriza, S.H. (Penggiat Sosial dan Politik)



Kisah pilu buruh migran atau tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, termasuk nasib tragis Ruyati binti Sapubi yang menjalani hukuman pancung di Arab Saudi, bukanlah hal baru dan tidak ada jaminan hal itu tidak terulang pada masa mendatang jika kebijakan pemerintah terhadap buruh migran juga belum berubah. Selama ini kebijakan pemerintah kita terhadap buruh migran hanyalah mendorong sebanyak-banyaknya mereka untuk bekerja di luar negeri.

LALU mereka dielu-elukan sebagai pahlawan devisa karena mendatangkan devisa yang cukup besar ke Indonesia. Remitansi atau upah yang dikirim para TKI ke Indonesia berupa devisa atau valuta asing setahunnya tak kurang dari 8,6 miliar AS atau sekitar Rp100 triliun. Devisa sebesar itu turut menjaga keseimbangan neraca pembayaran internasional Indonesia dan perekonomian Indonesia dari dampak gejolak perekonomian global.

Namun, upaya mendorong pengiriman sebanyak-banyaknya TKI ke luar negeri juga membawa ekses. Relatif banyak tenaga kerja wanita (TKW) kita yang bekerja di berbagai negara menjalani hukum mati tanpa ada upaya serius pemerintah untuk mengupayakan pembelaan dan perlindungan hukum. Perhatian serius baru diberikan, misalnya menjelang pilpres. Kita ingat kasus Siti Hajar, TKW yang dianiaya di Malaysia pada 2009, pemerintah terlihat gigih membelanya. Bahkan, SBY menelepon pimpinan Negara Jiran itu.

Tapi pembelaan itu pun ternoda oleh pernyataan Presiden SBY tatkala menanggapi kasus Siti Hajar. Dia mengatakan, telah berjumpa dengan sedikitnya 50 TKI yang baru saja tiba dari Arab Saudi dan hanya 3 orang yang bermasalah (detik.com, 11/06/09). Kesalahan pernyataan tersebut adalah ketika ia menganggap tiga sebagai jumlah kecil. Semestinya, sekecil apa pun kalau itu menyangkut nyawa tetaplah harus dianggap sebagai sesuatu yang besar.

Sebelumnya kita juga ingat menjelang Pilpres 2004 muncul kasus penyiksaan TKW Nirmala Bonat di Malaysia. Perhatian pemerintah begitu serius menanggapi, termasuk para capres. Tetapi setelah itu, tak ada lagi yang peduli terhadap persidangan yang harus dihadapi oleh Nirmala Bonat selama 4 tahun. Pengadilan menjatuhkan hukuman 18 tahun kepada Yim Pek Ha, majikan yang menyiksa TKW itu pada 2004 tapi dikurangi menjadi 12 tahun.

Jika ditelusur akar permasalahan sebenarnya dari berbagai kasus penyiksaan, hukuman mati, maupun pelanggaran HAM lain yang dialami TKI, terletak pada lemahnya perjanjian kerja sama (memorandum of understanding/MoU) penempatan TKI antara pemerintah Indonesia dan pemerintah ’’pengimpor’’ tenaga kerja kita. Dalam MoU tentang penempatan TKI sebagai pembantu rumah tangga (PRT) di Malaysia yang ditandatangani di Bali, 14 Mei 2009 tampak Indonesia tak berdaya menghadapi Malaysia. Dalam MoU disebutkan majikan dari TKI diberi keleluasaan menahan paspor. Keleluasaan menahan paspor inilah yang memicu tingginya kasus penganiayaan terhadap TKI khususnya yang bekerja sebagai PRT di Malaysia.

Mengapa penganiayaan terhadap Siti Hajar di Malaysia bisa berlangsung selama 34 bulan itu adalah juga karena kewenangan majikan menahan paspor. Wanita pembantu itu tidak bisa lari, karena peraturan keimigrasian di negeri jiran tersebut ekstraketat. Jika ingin melindungi TKI dari berbagai kasus khususnya penyiksaan, MoU harus direvisi. Indonesia adalah bangsa yang besar yang tidak semestinya bersikap inferior terhadap negara lain, termasuk Malaysia.

Masalah lain adalah tidak adanya pasal-pasal perlindungan atau proteksi terhadap TKI. Studi yang dilakukan Migrant Care (2008) yang membandingkan perjanjian bilateral penempatan TKI yang dibuat Indonesia dengan beberapa negara dan yang dibuat Filipina dengan 14 negara mitranya menemukan fakta menarik. Dokumen perjanjian bilateral yang dibuat Indonesia dengan beberapa negara penerima TKI tak satu pun memuat kata ’’perlindungan’’.

Sementara yang dibuat oleh Filipina dengan 14 negara mitranya penuh dengan kata ’’protection’’ mulai pasal perekrutan, penempatan, sampai tanggung jawab negara pengirim dan penerima. Bagi kita, informasi tentang perlakuan kasar terhadap TKI di luar negeri, khususnya TKW di Arabi Saudi bukanlah persoalan baru. Itu persoalan klasik yang terulang setiap waktu, penyiksaan dan perudapaksaan sering dialami TKW kita, baik di Arab Saudi maupun di negara lain seperti Malaysia dan Singapura.

Migran Care, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang aktif menangani buruh migran, menyebut, adanya penyiksaan majikan terhadap TKI di Arab Saudi selalu melatarbelakangi pada kasus pembunuhan majikan. Seharusnya pemerintah melihat hal ini dan segera mengambil tindakan setiap kali ada warga negaranya yang terlibat kasus hukum apalagi sampai terancam hukuman mati. Sebab, berdasarkan Konvensi Wina, setiap hukuman mati terhadap seorang tenaga kerja asing, prosedurnya harus dilaporkan ke pemerintah asal tenaga kerja.

Tetapi dalam kasus Ruyati, pemegang paspor nomor AL 786899 yang bekerja di Arab Saudi melalui pelaksana penempatan TKI swasta (PPTKIS) PT Dasa Graha Utama sejak 2008 itu tidak demikian. Pemerintah lambat. Atau, kalau tak mau lambat, kurang gereget dan kurang serius dalam melakukan advokasi hingga Ruyati harus dipancung di negeri orang. Kasus Ruyati masih memperlihatkan betapa perlindungan terhadap TKI kita sangat lemah. Selain itu, kasus Ruyati juga membuktikan penempatan dan perlindungan TKI di Saudi masih bermasalah. Kasus Ruyati ini memang menjadi pelajaran berarti bagaimana pemerintah seharusnya melindungi warga negaranya.

Indonesia sendiri sebelumnya pernah mengalami kasus seperti ini, yaitu dijatuhkannya hukuman mati kepada Siti Zaenab pada 1999. Karena Presiden Abdulrahman Wahid (Gus Dur) melobi Raja Fadh saat itu, eksekusi mati bisa digagalkan. Dalam kasus Ruyati, sudahkah diplomasi itu dilakukan? Ini sengaja kita tekankan mengingat masih ada TKI-TKI lain yang saat ini juga tengah menunggu hukuman mati. Jumlahnya pun tak tanggung-tanggung, di Malaysia ada 240 orang, Arab Saudi (23), Singapura (1), dan Tiongkok (1). Mereka ini adalah warga negara Indonesia yang butuh pembelaan oleh negara. (*)

Sumber:http://180.235.150.118/read/opini/36639-perlindungan-nyata-buruh-migran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...