Kewibawaan Pancasila sebagai ideologi belakangan ini dirasakan menyusut atau tergerus, bahkan kerap pula dilecehkan.Terutama dengan bangkitnya kelompok- kelompok keagamaan yang puritan dan radikal.
Sontak, meruyak saling silang pandangan sebagai bentuk keprihatinan atas kemerosotan ideologi Pancasila.Kenyataan ini mungkin bisa dimiripkan dengan yang terjadi di Timur Tengah yang kini sedang bergolak. Islam yang menjadi agama “resmi”pada banyak negeri di Timur Tengah ternyata belum mampu menjadi elan vital dalam mempersatukan mereka, tetapi kerap membuat pertikaian dengan munculnya banyak faksi.
Bukan maksud menyamanyamakan Pancasila dengan Islam dalam melihat fenomena di negeri kita dan Timur Tengah saat ini. Kebetulan saja, dua negeri tersebut tengah mengalami nasib “kemerosotan” dalam memaknai urgensitas reformasi dengan “visi nasional” masing-masing yang berkait dengan pemaknaan terhadap ideologi.
Dan, bagi bangsa kita tentu tidak “fair”mempersamakan Pancasila dan Islam, sebab ada “wilayah” tersendiri yang “membatasi”keduanya. Tetapi, bukan pula lantas tidak bisa mempertemukan Pancasila dan Islam. Di negeri kita, persoalan Pancasila dan Islam sudah selesai dan kalangan mayoritas muslim sudah menganggap NKRI dan Pancasila sudah harga mati.
Dalam hal ini,yang lebih penting adalah meneropong kembali jalannya demokrasi sembari menekuri keberadaan ideologi.
Kebersatuan dalam Ideologi
Demokrasi kini telah menjelma menjadi paham politik universal, yang secara realitas telah dapat diterima dalam beraneka ragam perspektif. Kebangkitan demokrasi di negara kolonialis dan koloni jajahannya jugalah yang menjadi “bahan bakar”Kebangkitan Nasional. Bagaimana dengan ideologi?
Kita tidak bisa tergesagesa menganggap enteng makna dan pengaruh kekuatan ideologi. Terbukti dalam sejarah, banyak negara besar melesat naik, tetapi kemudian ambruk, antara lain lantaran basis keberadaannya lapuk dan terkoyak. Betapa pentingnya ideologi sampai-sampai menggiring dunia ke dalam konflik besar pada tingkat global.
Perang Dingin,menyusul usainya Perang Dunia II sampai awal dasawarsa 1990- an, terlihat kentara masih pentingnya ideologi. Kita ingat, pernyataan Daniel Bell pada 1950-an tentang tamatnya ideologi (the end of ideology).Pernyataan tersebut ternyata tidak menjelaskan masalah secara substansial.
Pernyataan tersebut mesti dilihat lebih bersifat provokatif ketimbang menjelaskan realitas. Setelah pernyataan itu mencuat, faktanya persoalan ideologi masih terus berlangsung hingga saat ini dan bahkan menemukan momentum kebangkitannya di tengah hiruk-pikuk globalisasi dan kompetisi mondial.
Ideologi adalah sebuah landasan perjuangan, sebuah kerangka konseptual, yang mampu mempertebal semangat, mempertebal loyalitas, serta dedikasi terhadap perjuangan itu sendiri. Manakala kita bicara tentang gagasan dasar serta ideologi di dalam konteks kekinian, kita tidak ingin mengulang kembali suatu ekses-ekses yang terjadi dalam beberapa tahap dalam sejarah di masa lalu,baik di masa Orde Lama ataupun di masa Orde Baru.
Bangsa Indonesia sudah berjalan begitu jauh dan belajar untuk tidak kembali terperosok ke dalam jurang yang sama,yakni di satu pihak mendewakan ideologi, serta di pihak lain memaksakan dan menafsirkan ideologi secara kaku dan tertutup. Di dalam era demokrasi, kita harus menganut sebuah ideologi yang terbuka dengan tingkat fleksibilitas yang memadai, untuk menyerap keragaman dan tuntutan dari perkembangan zaman.
Meski demikian,filosofi dasar,paham fundamentalnya, serta citacita luhur yang terkandung di dalam sebuah visi dan ideologi harus terus kita abadikan di dalam konteks apa pun. Inilah yang sesungguhnya mempertautkan kita dengan sejarah yang dalam ungkapan besar disebut sebagai jati diri bangsa Indonesia.
Dengan visi dan ideologi yang jelas, suatu bangsa akan berjalan ke tujuan yang hendak dicapai. Sebagaimana sebuah kapal berlayar dengan arah yang pasti.
Parasit Demokrasi
Jacques Derrida dalam Specters of Marx: The State of the Debt, the Work of Mourning and the New International (1994) pernah menyebutkan istilah “hantu” sebagai segala bentuk spirit atau kekuatan dari sebuah sistem,ideologi atau rezim yang menunjukkan kembali kekuatan pengaruhnya dalam sistem atau rezim demokratis yang baru.
Menurutnya,“hantuhantu” itu hadir dengan cara menumpang dalam sistem sebagai parasit,yang mengancam keberlanjutan sistem itu. Hantu-hantu itu bisa menyosok dalam bentuk totalitarianisme, fundamentalisme, anarkisme, serta informasionisme dengan cara manipulasi citra.
Hal ini justru akan mengancam demokrasi sendiri karena mengidap keruntuhan dalam memaknai kebenaran. Nah, proses demokratisasi yang tengah berlangsung di bangsa ini jangan sampai ditumpangi atau dibayangbayangi oleh “hantu-hantu” tersebut yang justru hanya akan menyebabkan negara berjalan lamban, kisruh, dan terancam masa depannya.
Kita tidak boleh bersikap anything goes,semua boleh. Ideologi pada tataran normatif membutuhkan juga suatu pandangan pada tingkat operasionalisasi.Visi dan ideologi yang berhenti pada tataran normatif akan menjadi sebuah dogma yang mati, dogma yang melayang di langit tanpa kaki untuk membumi dan mengarahkan serta membuat sejarah.
Kita harus menghubungkan langit dengan bumi. Dan, jembatan ini adalah satu tataran ideologi yang bersifat operasional. Akhirnya, keindonesiaan harus berkaitan dengan keterbukaan yang kreatif, toleransi yang ramah, penghargaan pada ilmu pengetahuan, penghargaan pada kejujuran, pada keteguhan, pada kesungguhan, serta yang sangat penting adalah kecintaan pada Tanah Air yang terbentang dari Sabang sampai Merauke.
Di sinilah, kita merasakan pentingnya kekuatan ideologi untuk mempersatukan keragaman serta mewaspadai segala hal yang akan mencederai demokrasi.
Sontak, meruyak saling silang pandangan sebagai bentuk keprihatinan atas kemerosotan ideologi Pancasila.Kenyataan ini mungkin bisa dimiripkan dengan yang terjadi di Timur Tengah yang kini sedang bergolak. Islam yang menjadi agama “resmi”pada banyak negeri di Timur Tengah ternyata belum mampu menjadi elan vital dalam mempersatukan mereka, tetapi kerap membuat pertikaian dengan munculnya banyak faksi.
Bukan maksud menyamanyamakan Pancasila dengan Islam dalam melihat fenomena di negeri kita dan Timur Tengah saat ini. Kebetulan saja, dua negeri tersebut tengah mengalami nasib “kemerosotan” dalam memaknai urgensitas reformasi dengan “visi nasional” masing-masing yang berkait dengan pemaknaan terhadap ideologi.
Dan, bagi bangsa kita tentu tidak “fair”mempersamakan Pancasila dan Islam, sebab ada “wilayah” tersendiri yang “membatasi”keduanya. Tetapi, bukan pula lantas tidak bisa mempertemukan Pancasila dan Islam. Di negeri kita, persoalan Pancasila dan Islam sudah selesai dan kalangan mayoritas muslim sudah menganggap NKRI dan Pancasila sudah harga mati.
Dalam hal ini,yang lebih penting adalah meneropong kembali jalannya demokrasi sembari menekuri keberadaan ideologi.
Kebersatuan dalam Ideologi
Demokrasi kini telah menjelma menjadi paham politik universal, yang secara realitas telah dapat diterima dalam beraneka ragam perspektif. Kebangkitan demokrasi di negara kolonialis dan koloni jajahannya jugalah yang menjadi “bahan bakar”Kebangkitan Nasional. Bagaimana dengan ideologi?
Kita tidak bisa tergesagesa menganggap enteng makna dan pengaruh kekuatan ideologi. Terbukti dalam sejarah, banyak negara besar melesat naik, tetapi kemudian ambruk, antara lain lantaran basis keberadaannya lapuk dan terkoyak. Betapa pentingnya ideologi sampai-sampai menggiring dunia ke dalam konflik besar pada tingkat global.
Perang Dingin,menyusul usainya Perang Dunia II sampai awal dasawarsa 1990- an, terlihat kentara masih pentingnya ideologi. Kita ingat, pernyataan Daniel Bell pada 1950-an tentang tamatnya ideologi (the end of ideology).Pernyataan tersebut ternyata tidak menjelaskan masalah secara substansial.
Pernyataan tersebut mesti dilihat lebih bersifat provokatif ketimbang menjelaskan realitas. Setelah pernyataan itu mencuat, faktanya persoalan ideologi masih terus berlangsung hingga saat ini dan bahkan menemukan momentum kebangkitannya di tengah hiruk-pikuk globalisasi dan kompetisi mondial.
Ideologi adalah sebuah landasan perjuangan, sebuah kerangka konseptual, yang mampu mempertebal semangat, mempertebal loyalitas, serta dedikasi terhadap perjuangan itu sendiri. Manakala kita bicara tentang gagasan dasar serta ideologi di dalam konteks kekinian, kita tidak ingin mengulang kembali suatu ekses-ekses yang terjadi dalam beberapa tahap dalam sejarah di masa lalu,baik di masa Orde Lama ataupun di masa Orde Baru.
Bangsa Indonesia sudah berjalan begitu jauh dan belajar untuk tidak kembali terperosok ke dalam jurang yang sama,yakni di satu pihak mendewakan ideologi, serta di pihak lain memaksakan dan menafsirkan ideologi secara kaku dan tertutup. Di dalam era demokrasi, kita harus menganut sebuah ideologi yang terbuka dengan tingkat fleksibilitas yang memadai, untuk menyerap keragaman dan tuntutan dari perkembangan zaman.
Meski demikian,filosofi dasar,paham fundamentalnya, serta citacita luhur yang terkandung di dalam sebuah visi dan ideologi harus terus kita abadikan di dalam konteks apa pun. Inilah yang sesungguhnya mempertautkan kita dengan sejarah yang dalam ungkapan besar disebut sebagai jati diri bangsa Indonesia.
Dengan visi dan ideologi yang jelas, suatu bangsa akan berjalan ke tujuan yang hendak dicapai. Sebagaimana sebuah kapal berlayar dengan arah yang pasti.
Parasit Demokrasi
Jacques Derrida dalam Specters of Marx: The State of the Debt, the Work of Mourning and the New International (1994) pernah menyebutkan istilah “hantu” sebagai segala bentuk spirit atau kekuatan dari sebuah sistem,ideologi atau rezim yang menunjukkan kembali kekuatan pengaruhnya dalam sistem atau rezim demokratis yang baru.
Menurutnya,“hantuhantu” itu hadir dengan cara menumpang dalam sistem sebagai parasit,yang mengancam keberlanjutan sistem itu. Hantu-hantu itu bisa menyosok dalam bentuk totalitarianisme, fundamentalisme, anarkisme, serta informasionisme dengan cara manipulasi citra.
Hal ini justru akan mengancam demokrasi sendiri karena mengidap keruntuhan dalam memaknai kebenaran. Nah, proses demokratisasi yang tengah berlangsung di bangsa ini jangan sampai ditumpangi atau dibayangbayangi oleh “hantu-hantu” tersebut yang justru hanya akan menyebabkan negara berjalan lamban, kisruh, dan terancam masa depannya.
Kita tidak boleh bersikap anything goes,semua boleh. Ideologi pada tataran normatif membutuhkan juga suatu pandangan pada tingkat operasionalisasi.Visi dan ideologi yang berhenti pada tataran normatif akan menjadi sebuah dogma yang mati, dogma yang melayang di langit tanpa kaki untuk membumi dan mengarahkan serta membuat sejarah.
Kita harus menghubungkan langit dengan bumi. Dan, jembatan ini adalah satu tataran ideologi yang bersifat operasional. Akhirnya, keindonesiaan harus berkaitan dengan keterbukaan yang kreatif, toleransi yang ramah, penghargaan pada ilmu pengetahuan, penghargaan pada kejujuran, pada keteguhan, pada kesungguhan, serta yang sangat penting adalah kecintaan pada Tanah Air yang terbentang dari Sabang sampai Merauke.
Di sinilah, kita merasakan pentingnya kekuatan ideologi untuk mempersatukan keragaman serta mewaspadai segala hal yang akan mencederai demokrasi.
● MARWAN JA’FAR Ketua Fraksi PKB DPR RI
Sumber:http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/410861/
Sumber:http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/410861/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya