Selasa, 26 Juli 2011

Persoalan Data Kemiskinan

Oleh: Ahmad Erani Yustika


Badan Pusat Statistik (BPS) kembali melansir data tahunan yang selalu menimbulkan kontroversi, yakni data kemiskinan. Pada Maret 2011 ini kemiskinan telah turun menjadi 30,02 juta penduduk (12,49%).

Penurunan ini tepat 1 juta penduduk dibanding tahun sebelumnya (2010),yakni sebesar 31,02 juta (13,33%). Penurunan angka kemiskinan kali ini diperkarakan banyak pihak karena dua alasan penting. Inflasi pada 2010 tergolong tinggi, khususnya inflasi pangan.

Tahun lalu inflasi pangan sekitar 17,7% sehingga secara teoritis angka kemiskinan seharusnya terdongkrak (bukan malah turun).Ini dapat terjadi karena penduduk miskin dan hampir miskin konsumsi pangan menghabiskan sekitar 70% dari pendapatannya.

Berikutnya, sebagian besar penurunan terjadi di wilayah pedesaan, padahal pada 2010 pertumbuhan ekonomi sektor pertanian hanya 2,9% (terendah kedua dalam 10 tahun terakhir).

Kemiskinan Makro dan Mikro

BPS sebetulnya mengeluarkan dua data kemiskinan, yakni data makro dan mikro. Data kemiskinan makro dihitung berdasarkan data sampel (bukan sensus), sehingga hasilnya sebetulnya bersifat prediktif.

Data kemiskinan ini bersumber dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas),yang pengambilan datanya dilakukan pada setiap Maret dengan jumlah sampel 68.000 rumah tangga (RT) dan menggunakan ukuran kebutuhan dasar (basic needs). Data inilah yang kita konsumsi setiap tahunnya, termasuk yang baru dipublikasikan ini.

Sementara itu, data kemiskinan mikro koleksi datanya didasarkan pada ciri-ciri RT miskin.Output dari data mikro ini adalah rumah tangga sasaran (RTS), yakni RT miskin dan RT hampir miskin. Data mikro ini sudah pernah dilakukan dua kali, yaitu pada 2005 dan 2008.

Pada Juli 2011 BS kembali melakukan koleksi data kemiskinan mikro ini, yang tentu hasilnya sebentar lagi akan diumumkan. Pada 2008 data kemiskinan mikro tercatat 17,5 juta RT miskin dan hampir miskin.Dengan asumsi setiap RT terdapat empat anggota, jumlah penduduk miskin (mikro) mencapai 70 juta.

Data kemiskinan mikro ini merekam aspek yang lebih luas ketimbang data kemiskinan makro , karena bukan hanya mengukur basic needs yang lebih banyak berpusat pada kebutuhan pangan, tetapi juga memasukkan variabel pendidikan, perumahan, dan kesehatan.

Secara teoritis data ini relatif mampu menangkap fenomena kemiskinan secara lebih luas (dan layak) ketimbang data kemiskinan makro yang menggunakan batas pendapatan Rp233.740/bulan (meningkat dibanding 2010 yang memakai patokan sekitar Rp211.000). Jika dikomparasikan dengan ukuran internasional, patokan yang dipakai dalam data kemiskinan makro masih kurang dari USD1.

Jika memakai ukuran USD1 saja, patokan pendapatan penduduk miskin seharusnya Rp260.000/bulan. Dengan begitu, problem utama dari penghitungan jumlah penduduk miskin adalah menyangkut penentuan batas pendapatan penduduk miskin itu sendiri.Jika memakai standar baku internasional, batas itu sekitar USD2/hari atau setara Rp540.000 (dengan menggunakan asumsi Rp9000/USD1).

Vietnam yang memiliki pendapatan per kapita yang lebih rendah ketimbang Indonesia memakai patokan USD1,5/hari atau setara sekitar Rp450.000. Patokan Vietnam tersebut nyaris dua kali lipat ketimbang yang dipakai BPS. Setelah itu,masalah lainnya yang menghadang ialah soal sampel yang jumlahnya hanya 68.000.

Pertanyaannya,apakah pengambilan sampel itu sudah menggunakan kaidah statistik yang benar? Maksudnya, apakah setiap daerah sudah memperoleh representasi sampel sesuai dengan karakteristik sosial-ekonomi dan jumlah penduduk.

Kemiskinan dan Makroekonomi

Terlepas dari permasalahan patokan garis kemiskinan dan metode pengambilan data, soal serius lainnya adalah kaitannya dengan datadata makroekonomi lainnya.

Pertama, pada periode Maret 2010-Maret 2011 kemiskinan di pedesaan turun dari 19,93 juta menjadi 18,97 orang, padahal sektor pertanian pada 2010 hanya tumbuh 2,9% (bandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 6,5%).

Kontroversinya, kurang realistis angka kemiskinan di pedesaan turun sedemikian banyak di saat sektor pertanian tumbuh sangat rendah,karena sebagian besar penduduk di pedesaan kerja di sektor pertanian.

Kedua, penduduk miskin mengonsumsi sekitar 70% pendapatannya untuk pangan, sementara pada 2010 inflasi pangan mencapai 17,7%.Dengan dasar ini, alih-alih kemiskinan turun, sangat boleh jadi seharusnya jumlah penduduk miskin di pedesaan malah naik.

Hal ini dapat terjadi, karena sebagian besar penduduk miskin (dan hampir miskin) merupakan net consumers pangan. Sumber pertanyaan lainnya berasal dari gugatan Prof M Arsjad Anwar yang melihat ada kejanggalan penurunan kemiskinan dalam tahun-tahun terakhir ini.

Menurutnya,pada periode 1984-1996 angka kemiskinan rata-rata turun 1 juta/ tahun dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7%/tahun. Sementara itu, pada periode 2006-2010 rata-rata angka kemiskinan turun 2 juta penduduk, padahal pertumbuhan ekonomi rata-rata kurang dari 6%/tahun.

Kerisauan itu menemukan klarifikasi yang kuat apabila melihat struktur pertumbuhan ekonomi dari dua periode itu. Pada 1984-1996 pertumbuhan ekonomi banyak disokong sektor riil (pertanian dan industri), sebaliknya pada periode 2006-2010 sumber pertumbuhan ditopang oleh non-tradeable sector (telekomunikasi, keuangan, jasa, perdagangan, dan lainnya).

Sektor riil memiliki daya serap tenaga kerja yang jauh lebih tinggi ketimbang sector nontradeable, sehingga membuat penurunan angka kemiskinan akhir-akhir menjadi tidak realistis dan kontroversial.

Dengan menimbang pemikiran tersebut, pemerintah rasanya mesti berbenah untuk mendesain pengukuran penduduk miskin secara utuh, sehingga mampu memantulkan fakta yang sebenarnya, di samping secara internasional data itu juga dapat diperbandingkan.

Berikutnya, pengurangan kemiskinan hanya mungkin dilakukan apabila rakyat bisa masuk ke pasar kerja secara permanen. Pemerintah boleh saja mendesain program-program ad-hoc pengurangan kemiskinan, semacam KUR dan PNPM Mandiri,tapi keberadaan program itu kurang memiliki dimensi jangka panjang.

Langkah paling realistis yang dapat dilakukan adalah memperkuat pembangunan sektor pertanian dan industri (berbasis pertanian, termasuk maritim) karena kedua sektor itulah yang sebetulnya menjadi endowment factor perekonomian nasional.

Ide ini sudah dipahami pemerintah dengan baik, sekarang tinggal ditunggu komitmen untuk mengeksekusinya.

URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/415594/

● AHMAD ERANI YUSTIKA
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Direktur Eksekutif Indef

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...