Jumat, 01 Juli 2011

Pemimpin dan Budaya Malu

Oleh Robi Cahyadi Kurniawan (Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Unila)

Tulisan ini terinspirasi oleh suksesi (pergantian) kepemimpinan di Negeri Matahari Terbit, Jepang. Kepemimpinan di Jepang, dalam hal ini pergantian perdana menteri, telah berganti lima kali dalam kurun empat tahun terakhir ini. Pergantian itu juga diwarnai skandal dan tekanan publik.

PERDANA Menteri Jepang dalam kurun waktu empat tahun terakhir ini adalah Shinzo Ab(dari Partai Demokrat Liberal), berkuasa selama satu tahun mulai 26 September 2006–26September 2007. Abe mundur karena merasa tidak populer lagi di mata rakyat. Selain itu, merasa tidak mampu memenuhi keinginan rakyat mengenai masalah penarikan pasukan Jepang dari Afghanistan.

Yasuo Fukuda terpilih menggantikan Abe. Tekanan publik membuat ia mundur pada 1 September 2008. Taro Aso kemudian terpilih menggantikan Fukuda. Aso mundur akibat diduga oleh ilmuan psikologi mengidap penyakit disleksia (ketidakmampuan membaca huruf kanji Jepang dengan baik) Yukio Hatoyama sebagai presiden Partai Demokratik terpilih kemudian.

Partai oposisi utama Jepang ini telah memenangkan Pemilu Mei 2009 sehingga Hatoyama menjadi perdana menteri. Posisi Hatoyama tidak bertahan lama. Hanya 261 hari berkuasa, ia mundur pada 3 Juni 2010. Perdana menteri Jepang saat ini dijabat oleh Naoto Kan.

Rekor pergantian pemimpin khususnya perdana menteri di Jepang dalam 20 tahun terakhir ini adalah 14 kali. Data pembanding dengan negara-negara demokrasi lain, contohnya Inggris dengan sistem parlemen yang hampir sama dengan Jepang sejak 1990 mengalami pergantian perdana menteri sebanyak lima kali.

PM terakhir yaitu David Cameron. Amerika dalam kurun waktu periode yang sama, hanya berganti empat presiden. Italia menjadi negara yang hampir menyamai Jepang dengan pergantian perdana menteri sebanyak sebelas kali.

Jepang terkenal sebagai bangsa yang ulet dan tangguh. Tradisi budaya nenek moyang dijaga dengan baik, serta mengakar sangat dalam, termasuk budaya berkorban yang tinggi, rasa tanggung jawab dan rasa malu. Kamikaze misalnya, serangan bunuh diri awak pesawat Jepang terhadap kapal laut sekutu pada perang dunia II.

Harakiri adalah contoh lain, yakni bunuh diri dengan menusukkan belati atau samurai ke perut, jantung atau pembuluh darah di leher. Orang Jepang melakukan ini karena kehilangan kehormatan akibat aib, kejahatan, atau menganggap gagal menjalankan kewajiban yang diemban.

Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang pernah dijajah Jepang selama kurun waktu empat tahun tidak dapat belajar budaya itu. Kondisi yang sama dengan penjajahan yang dilakukan oleh Belanda selama 3,5 abad di tanah air yang tidak berbekas. Terlepas dari bangsa kita adalah bangsa jajahan, namun setidaknya hal-hal positif dapat dijadikan sebuah contoh.

Antiklimaks, itulah yang terjadi pada negeri kita. Dukungan sumber daya alam yang melimpah, sumber daya manusia yang banyak serta budaya beragam disertai dengan adat ketimuran dan sokongan agama-agama samawi tidak merubah perilaku bangsa. Budaya malu seolah hilang di muka bumi Indonesia.

Kekuasaan menjadi magnet kuat yang melemahkan dan melunturkan rasa malu banyak pemimpin dan publik kita. Kebebasan dan hak politik menjadi tameng besar bagi para elit untuk bermain-main di ranah kuasa melalui mekanisme pemilu. Kontestasi elite yang mengajukan diri dan percaya diri untuk maju dalam mekanisme pemilu menjadi barometernya.

Latar belakang elite yang berbeda, dengan track record yang tidak tergambar dengan jelas membuat publik seperti membeli kucing dalam karung. Kegagalan elite-elite itu dalam memegang amanah kuasa sebelumnya dianggap sesuatu yang wajar saja, bahkan diabaikan. Kasus ijazah palsu untuk maju dalam pilkada, pernah tersangkut masalah pidana, perilaku seksual menyimpang, korupsi besar-besaran dahulu ketika menjabat, sedikit dari beragam kasus para pemimpin kita baik ranah lokal maupun nasional.

Para pemimpin yang sepatutnya kita teladani seolah berjalan pada rel mereka sendiri, nalar yang berbeda dan juga keinginan yang tidak sejalan dengan kondisi sosial sekitarnya. Contohnya, ketika kondisi masyarakat kita masih dalam tahap memperbaiki kondisi ekonomi. Anggota dewan sebagai wakil rakyat, dengan tenang meminta dana aspirasi Rp15 miliar sebagai dana konstituen atau Rp1 miliar untuk pengembangan desa.

Perilaku nyeleneh lain juga sering muncul. Belum hilang rasa kesal akibat akan dinaikkannya harga premium sepeda motor, harga tarif dasar listrik di atas 900 va juga akan naik. Mungkin juga bersamaan dengan naiknya harga elpiji 12 kg.

Akibatnya, efek domino akan muncul, harga-harga bahan kebutuhan akan merangkak naik. Daya beli rakyat menurun, kemiskinan meningkat bahkan angka kejahatan mungkin semakin naik. Rasanya aneh jika semua hal ini tidak dipikirkan oleh pelaku dan pembuat kebijakan (pemerintah).

Pemimpin di ranah lokal, khususnya birokrasi tidak mau ketinggalan. Kasus beras impor busuk yang dilakukan oleh Bulog Lampung untuk rakyat miskin sangat menyayat hati. Betapa teganya, para birokrat pelayan rakyat melakukan hal itu. Cukuplah publik disakiti oleh perilaku birokrat yang tidak maksimal dalam melayani, tidak netral dalam pilkada, tidak malu berebut jabatan dengan sogokan atau uang setoran.

Kesempatan publik menuntut haknya seperti hak hidup layak, hak kesehatan, pendidikan, perumahan serta pekerjaan seolah terabaikan. Ironisnya kesemuanya itu tiba-tiba akan muncul dan menjadi buah bibir para calon pemimpin, hanya pada saat menjelang kampanye atau menghadapi pilkada pada daerah masing-masing. Sekali lagi, tidak malu menjanjikan hal-hal muluk, yang tidak ada realisasinya.

Ruang publik, yang di jembatani oleh media, baik cetak maupun elektronik juga penuh sesak oleh perilaku selebriti yang diwakili oleh para warga yang populer, semisal aktor dan aktris. Kebohongan yang ditunjukkan oleh Ariel Peterpan, Luna Maya, dan Cut Tari pada publik dengan berbagai dalih akan membuat publik merespons. Respons yang paling ditakutkan adalah perilaku mereka seolah dibenarkan dan dibiarkan karena pemerintah tidak melakukan upaya untuk meredamnya, seperti delik pidana atas kesusilaan.

Dampaknya, publik khususnya remaja akan bertindak hal yang sama, karena persepsi yang terbentuk adalah wajar dan boleh. Artis memang tidak dapat dijadikan panutan, seperti Maria Eva, yang kasus perzinaannya dengan salah satu petinggi partai calon menteri agama (Yahya Zaini) dengan sengaja ia sebarkan. Tidak ada rasa malu, seolah biasa saja, ia sering diundang oleh stasiun televisi guna membahas masalah perilaku menyimpang tersebut. Nauzubillah…

Karakter-karakter seperti inilah yang menjadi senjata berbahaya untuk meruntuhkan mental bangsa ini. Melemahnya ikatan agama dengan pribadi individu, tidak dihormatinya orang yang dituakan, seperti orang tua, guru, tokoh agama dan pemimpin yang jujur membuat semakin pudar karakter ke Indonesia kita. Gempuran budaya hedonisme, globalisasi, dan kapitalisme menjadi ancaman lain.

Pemimpin, dengan segala definisinya adalah sebuah amanah. Seorang pemimpin harus dapat dijadikan sebuah panutan dan contoh yang baik. Kejujuran, rasa tanggung jawab, akhlak dan rasa malu mutlak diperlukan para pemimpin kita di negeri ini. Dengan rasa malu, seorang pemimpin akan selalu sadar bahwa dirinya adalah pribadi biasa yang sama derajat dan posisinya di mata masyarakat.

Rasa malu akan membuat para pemimpin selalu berpikir akan inovasi dan kreasi baru guna kemaslahatan umat. Sekali lagi, rasa malu wajib dimiliki oleh para pemimpin kita dan juga semua calon pemimpin yang akan bertarung dalam pemilu di ranah lokal guna menciptakan masyarakat yang lebih baik dari hari ini. Aamiin…Wallahu alam bishawab.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...