Selasa, 19 Juli 2011

Tiga detail di balik kisruh ekspor sapi Australia

Oleh: Bastanul Siregar


Menteri Pertanian Suswono bukannya hendak bercengkok dangdut. “Kau yang mulai, kau yang mengakhiri,” katanya seperti mengutip lirik lagu Kegagalan Cinta milik Rhoma Irama, tentang keputusan Australia membuka kembali ekspor sapinya ke Indonesia.

Pernyataan itu menguap di udara Jakarta Kamis lalu, hanya beberapa jam setelah Australia, pemasok 35% kebutuhan sapi Indonesia, menganulir penyetopan ekspor sapi selama 6 bulan yang dimulai sejak Juni. Sebagai gantinya, Australia akan memperketat izin ekspornya saja.

Tidak ada yang salah dengan pernyataan Suswono. Pemerintah Australia-lah yang menutup dan membuka sendiri ekspor sapinya. Toh memang tak ada pembicaraan resmi atau courtesy call sebelum keputusan itu dieksekusi. Singkatnya, keputusan itu sepihak.

Memang sepihak, sampai Jumat lalu Menteri Luar Negeri Australia Kevin Rudd mendatangi Lapangan Banteng dan bertemu dengan Menko Perekonomian Hatta Rajasa di Jakarta. Hasil pertemuan: Sebanyak 180.000 sapi asal Australia siap masuk Indonesia.

“Kami ingin apapun yang menyangkut perbedaan harus melalui mekanisme konsultasi dan dibahas bersama. Jangan melihat video, lalu mengambil putusan sepihak. Jadi, kami harus menjalankan hubungan bilateral dengan baik,” kata Hatta.

Rudd niscaya bisa menerima sindiran Suswono dan nasihat Hatta. Maklum, larangan ekspor itu tidak saja telah memicu ‘medan tempur’ baru di negerinya, tapi juga mempertaruhkan Indonesia, pasar ekspor sapi Australia senilai US$342 juta yang diyakini jadi US$746 juta pada 2012.

Untuk memahami ‘medan tempur’ dan centang perenang pertaruhan itulah, paling tidak ada tiga detail yang perlu dicermati. Pertama, larangan ekspor itu dipicu laporan investigasi di Four Corners milik jaringan televisi ABC, Australia.

Laporan bertajuk The Bloody Business tersebut bercerita tentang kekejaman para tukang jagal di 11 rumah pemotongan hewan di Indonesia yang turut dibangun oleh para pelaku industri sapi di Australia, yang juga mendapatkan dukungan dari Pemerintah Australia.

Tampak jelas bagaimana di 11 rumah pemotongan hewan itu, sapi-sapi dengan leher dirantai, bergetar kakinya, dan terus meronta hingga membenturkan kepalanya ke tembok berkali-kali demi melihat sapi yang lain dibantai pelan-pelan, dibacok berkali-kali sampai mati.

Tak pelak, The Bloody Business menggedor kesadaran khalayak. Yang lebih penting, laporan itu membantah laporan asosiasi peternak 4 bulan sebelumnya yang telah dievaluasi Pemerintah Australia. Laporan terakhir inilah yang penuh klaim ‘bagusnya’ penanganan sapi Australia di Indonesia.

Perlu segera ditambahkan, Four Corners adalah program khusus investigasi andalan jaringan televisi ABC. Beragam penghargaan sudah diraih acara ini. Reputasinya terjaga. The Bloody Business yang tayang 30 Mei itu berangkat dari data independen dari para aktivis LSM yang direkonfirmasi.

Reporternya, Sarah Ferguson, adalah jurnalis senior yang biasa jadi nominator penerima Walkley Awards, penghargaan jurnalistik tertinggi di Australia yang dimulai sejak 1956. Satu laporan terbaik Ferguson pernah ramai dibicarakan 4 tahun lalu: Garuda flight 200: What really happened.

Jangan lupa juga ketika Four Corners pada 29 Juni 2002 menayangkan The Timber Mafia. Itu laporan investigasi yang membuat kerepotan bukan saja para pejabat terkait, tetapi juga para diplomat dan juru runding perdagangan RI yang terpaksa berjibaku menepis isu tersebut.

The Timber Mafia adalah liputan tentang praktik penebangan liar di Taman Nasional Tanjung Puting yang melibatkan sejumlah pengusaha, politisi, pejabat polisi, militer, juga pemerintah daerah. Mingguan Tempo sampai merilis 'duplikasi' investigasi itu 3 bulan berikutnya.

Dan rasanya, tak sedikit wartawan, juga para pekerja humas di Ibu Kota, yang tahu bahwa jurnalis televisi ABC biasa mengganti ongkos pesawat dan membayar biaya hotel sendiri tatkala melakukan liputan bersama pejabat (embedded) ke daerah. Sesuatu yang membuat iri wartawan dalam negeri.

Jadi, singkatnya, apabila para pejabat pemerintah dan elit peternak sapi RI—yang kalah bersaing dengan eksportir sapi Australia—meragukan investigasi Four Corners, atau curiga bahwa tukang jagal di 11 rumah pemotongan hewan itu dibayar, hal tersebut tak berlaku bagi publik Australia.

Kedua, saat larangan ekspor sapi itu diputuskan awal Juni, popularitas Perdana Menteri sekaligus Pemimpin Partai Buruh Julian Gillard tengah merosot. Sebaliknya, popularitas oposannya, Pemimpin Partai Liberal sekaligus Koalisi Nasional Tony Abbott, di sisi lain terus meningkat.

Survei Newspoll terakhir pada akhir Juni menunjukkan, popularitas Gillard yang mencapai puncaknya pada Februari di level 53% terus menurun beriringan dengan keluarnya kebijakan baru soal pajak karbon, hingga tersisa 28% di akhir Juni. Ini level popularitas terendah sejak Pemilu 2010.

Dengan mengingat ‘perang gerilya’ Gillard dan Abbott sejak pemilu dengan kemenangan tipis Partai Buruh itu pula, larangan ekspor sapi praktis melahirkan medan tempur baru. Puncaknya paruh Juni lalu, saat Gillard menolak ajakan Abbott bekerja sama mengembalikan ekspor sapi ke Indonesia.

Gillard bukannya tak menyadari risiko penolakannya itu. Satu paket subsidi untuk peternak senilai US$32 juta pun diterbitkan. Namun tak berselang lama, kalangan industri lalu mengeluarkan prediksi terbaru soal nilai kerugian akibat larangan ekspor itu—yang jauh lebih besar dari proyeksi semula.

Besarnya kerugian itu pula yang di sisi lain mematahkan argumentasi sementara kalangan di Indonesia, yang curiga bahwa pelarangan ekspor sapi ke Indonesia itu ditujukan agar harga sapi di Indonesia naik, sehingga saat ekspor kembali dibuka, eksportir Australia beroleh margin lebih banyak.

Saat nilai prediksi kerugian terbaru muncul itulah, tekanan yang lebih kuat untuk Gillard datang tidak saja dari para eksportir besar, tapi juga dari kalangan peternak dan pedagang dalam skala lebih kecil, terutama dari Northern Territory, salah satu negara bagian yang dimenangkannya pada Pemilu 2010.

Ketiga, pengetatan izin ekspor Australia dengan syarat baru berupa audit rumah pemotongan hewan bukanlah syarat yang menyulitkan yang penyelesaiannya membutuhkan waktu lama. Audit itu pun sebetulnya sudah dilakukan dan dilaporkan secara berkala.

Apalagi, eksportir sapi Australia ke Indonesia didominasi segelintir pemain saja. Itu tentu memudahkan pengawasan. Kombinasi volume ekspor sapi Elders Ltd dan Australian Agricultural Company Ltd misalnya, sudah lebih dua per tiga dari total ekspor sapi Australia ke Indonesia.

Elders bahkan sudah mengoperasikan rumah pemotongan dan memiliki lokasi penggemukan (feedlot) sendiri di Indonesia. Grup usaha yang bergerak di nyaris semua lini peternakan sapi tersebut juga memilik anak usaha yang beroperasi di Tanah Air, PT Elders Indonesia.

Dengan kata lain, pengetatan pemberian izin ekspor itu hanyalah bentuk apologi, kalau tak mau dibilang omong kosong. Kebijakan ala kadarnya ini datang tidak lain dari kegamangan pemerintahan Gillard menghadapi tekanan politik yang terus menggerus popularitasnya.

Dan lagi, kalau sampai syarat tersebut memang benar menyulitkan, bagaimana Pemerintah Indonesia dan Australia bisa memastikan datangnya 180.000 ekor sapi Australia untuk pengapalan Oktober ke Indonesia, hanya sehari setelah larangan ekspornya dicabut?

Lebih jauh dari itu, dengan memahami kegamangan di balik policy ekspor tersebut, kenapa Pemerintah RI tidak berinisiatif mengambil posisi bargain dengan mewajibkan eksportir berinvestasi di pembibitan atau pengolahan, hingga membuka lapangan kerja dan membantu swasembada?

URL Source: http://www.bisnis.com/analisis/30769-tiga-detail-di-balik-kisruh-ekspor-sap

Bastanul Siregar
Bisnis Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...