Selasa, 19 Juli 2011

Keniscayaan Daulat Pangan

Oleh: Nur Richana

Kasihan bangsa yang memakai pakaian yang tidak ditenunnya,
memakan roti dari gandum yang tidak dituainya,
dan meminum anggur yang tidak diperasnya


Bila kita renungkan sebait puisi Kahlil Gibran yang berjudul Bangsa Kasihan tersebut, sepertinya nyaris sama dengan fenomena yang sekarang terjadi di negeri ini. Kita terjebak dengan kebutuhan beras dan terigu yang semakin naik sehingga harus impor dari negara lain.

Isu rawan pangan saat krisis moneter melanda Indonesia menyadarkan kita semua terhadap bahaya ketergantungan hanya pada satu komoditas. Selama ini untuk memenuhi sumber karbohidrat, Indonesia semakin bergantung pada beras dan gandum. Konsumsi beras masyarakat Indonesia (139 kg/kapita/tahun) jauh melebihi rata-rata tingkat konsumsi dunia (60 kg/kapita/tahun).

Komposisi pangan pokok sebelum tahun 1960 adalah beras 53,5 persen, ubi kayu 22,2 persen, jagung 18,9 persen, dan kentang 4,99 persen. Program transmigrasi besar-besaran pada 1970-1980-an ikut mendorong berubahnya pola makan dari pangan lain menjadi pemakan beras.

Setelah tercapai swasembada beras 1984, pola konsumsi pangan pokok bergeser luar biasa, beras meningkat menjadi 81,1 persen, ubi kayu dan jagung turun, dan berlanjut hingga 1999, konsumsi jagung tinggal 3,1 persen dan ubi kayu 8,8 persen. Saat ini, konsumsi pangan pokok nonberas semakin menghilang dan konsumsi terigu dalam kurun 30 tahun naik 500 persen, yang semuanya harus impor. Pada 2008, Indonesia merupakan importir pangan terbesar kedua di dunia setelah Mesir.

Dominasi beras
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden No 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan, yaitu pengembangan diversifikasi konsumsi pangan yang bertumpu pada keanekaragaman sumber daya pangan, kelembagaan, dan budaya lokal. Tetapi, hal tersebut sampai sekarang belum berhasil. Selama ini jagung dan umbi-umbian pelan-pelan hilang dari pasaran, bahkan pamor dan martabatnya begitu jatuh oleh dominasi beras dan terigu.

Masyarakat tetap mengonsumsi beras, sekalipun untuk mendapatkannya mesti menjual jagung dan umbi-umbian yang dihasilkan di kebunnya. Oleh karena itu, perlu diimbau untuk masyarakat yang biasa makan jagung, seperti di Madura dan NTT, dan juga untuk ubi jalar seperti di Papua, juga sagu di sebagian daerah Sulawesi Selatan, Maluku, dan Papua, untuk diteruskan kembali sehingga akan mengurangi konsumsi beras.

Pemerintah mulai tahun ini menargetkan penurunan konsumsi beras, kendati sebetulnya sangat kecil (1,5 persen). Pemerintah juga menggulirkan kampanye one day no rice, dengan mengimbau untuk menggali kembali komoditas lokal kita. Sebetulnya, pangan lokal kita tidak kalah bersaing dari segi sifat fungsional pangannya. Misalkan, jagung mempunyai sifat fungsional pangan yang lebih baik dari beras dan terigu karena mengandung serat tinggi dan indeks glikemik rendah sehingga baik dikonsumsi oleh penderita diabetes (sudah terbukti dari hasil penelitian penulis).

Salah kaprah diversifikasi pangan yang terjadi saat ini, konsumsi beras mulai tersubstitusi oleh gandum, terutama berupa produk mi (meminjam kalimat Khudori/Republika, 30 Mei 2011). Impor terigu kini sudah mencapai enam juta ton per tahun; 50 persen digunakan untuk produk mi, 20 persen untuk roti, dan 30 persen untuk produk lainnya. Di kota, di desa, sampai di puncak gunung pun masyarakat sudah mulai membudayakan makan mi dan roti. Mungkin, ini yang perlu dicari solusinya, apakah kita harus mengimbau untuk mengurangi makan mi dan roti atau membuat mi dan roti yang bukan dari terigu.

Sebetulnya, semua tepung lokal dari jagung, ubi jalar, talas, garut, ganyong, dan sebagainya juga dapat digunakan untuk aneka produk kue. Dan, seandainya semua lini mau mensubstitusi terigu dengan tepung lokal, impor terigu akan berkurang 50 persen. Itu berarti tiga juta ton per tahun, angka yang cukup besar untuk menghemat devisa.

Untuk terlaksananya hal tersebut, perlu sosialisasi dan kampanye yang lebih gencar, tidak hanya di Kementerian Pertanian, tetapi juga di semua lini. Mungkin, guru TK dan SD adalah ujung tombak keberhasilan kampanye tersebut karena anak-anak lebih mendengar guru daripada orang tuanya sendiri. Tanamkan sedini mungkin untuk mencintai makanan dari bahan lokal.

Penggeseran citra dari produk berbasis terigu (mi, spageti, dan burger) ke produk berbasis pangan lokal, dimulai dari anak. Kalau perlu, semua bupati mempunyai program setiap rapat tidak ada kue dari terigu dan minuman impor (seperti yang dilakukan Bupati Sragen). Kalau semua jajaran pemerintahan dapat melakukan hal tersebut, pengurangan konsumsi terigu bisa efektif.

Dampak pasar global
Program Peningkatan Ketahanan Pangan (BKP), berdasarkan UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang Dicanangkan Pemerintah, sampai saat ini juga belum kelihatan hasilnya, bahkan kondisinya semakin parah. Ketetapan UU Pangan dan Ketahanan Pangan tersebut tidak mengatur mengenai bagaimana pangan harus diproduksi dan dari mana pangan berasal.

Kita masih ingat bagaimana dampak revolusi hijau masa Orde Baru yang sampai saat ini belum dapat terkendali. Dalih modernisasi petani telah dipaksakan untuk menggunakan teknologi asing yang mahal harganya, seperti pemakaian pupuk petrokimia, pestisida, herbisida kimia, dan benih. Benih-benih yang bisa ditanam diubah dari yang lokal dan diproduksi petani sendiri menjadi yang diproduksi oleh perusahaan besar dan asing.

Kini, 90 persen perdagangan pangan (serealia) dikuasai hanya oleh lima perusahaan multinasional (MNC), dari benih, pestisida, dan herbisida. Ketika krisis pangan melanda pada 2008, pedagang pangan dunia menangguk keuntungan 55-189 persen dari benih, herbisida 21-54 persen, dan pupuk 186-1.200 persen dibanding dari tahun sebelumnya (Angus, Global Research, 2008). Dan, ternyata sampai saat ini benih hasil penelitian Badan Litbang Pertanian-kecuali padi-sulit berkembang terutama jagung, kendati mempunyai keunggulan yang lebih.

Perkembangan selanjutnya, yakni adanya kebijakan pasar global, pasar pangan dunia terbuka lebar sehingga impor pangan membanjir dan produk petani dan industri kecil menjadi tidak bisa bersaing. Dengan demikian, lengkaplah sudah permasalahan dalam hal pangan.

Pada 1996 muncul konsep kedaulatan pangan yang semula merupakan kerangka kebijakan dan wacana untuk mengangkat kesejahteraan petani kecil. Kedaulatan pangan lalu menjadi konsep yang berkembang paling cepat dan diadopsi ribuan organisasi petani, masyarakat lokal, LSM, lembaga kemasyarakatan, bahkan mulai diadopsi lembaga-lembaga di bawah PBB, termasuk lembaga pangan dunia, FAO.

URL Source: http://koran.republika.co.id/koran/24/138625/Keniscayaan_Daulat_Pangan

Nur Richana
Peneliti utama di Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian Badan Litbang Pertanian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...