Oleh: Dinna Wisnu
Tahun ini genap 20 tahun kerja sama Indonesia- China setelah normalisasi hubungan pada 1991. Nyata bahwa China menangkap hal ini sebagai perayaan besar-besaran. Wajar.
Indonesia, sang negara berpenduduk terbesar di Asia Tenggara, yang dulu pernah ”hilang” karena ketegangan masa Perang Dingin, kini menggenggam erat tangannya dan mengikat beragam kerja sama berskala miliar dolar.Cakupan kerja samanya pun luar biasa, mulai dari perdagangan, pembangunan infrastruktur, real estate, suplai hasil bumi, sampai sewa lahan untuk kelapa sawit, dan produk pertanian lain.
Tak heran, kedekatan ini dibingkai dalam kerangka kerja sama luar negeri yang strategis dan komprehensif. Tahun ini pula genap satu tahun ada pembingkaian kerja sama dengan Amerika Serikat, negara yang belum pernah putus hubungan dengan Indonesia sejak merdeka dulu.
Komitmen ini ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sewaktu Presiden Barack Obama berkunjung. Cakupan kerja samanya jauh lebih sempit, sehingga bingkainya pun bukan strategis, melainkan komprehensif saja.
Bentuknya berupa program peace corps alias misi pengajaran oleh orang orang Amerika ke pelosok-pelosok, kerja sama pertahanan, perbankan yang mengucurkan kredit ke 11 bank di Indonesia untuk mendorong perdagangan bilateral dan program perbaikan mutu pendidikan tinggi.
Kemudian perlindungan iklim, termasuk pembentukan climate change center yang menyusun program prioritas termasuk pengurangan emisi dari lahan gambut. Skala programprogramnya relatif kecil, ratusan juta dolar saja.
Yang menarik, Daniel Novotky (2010) dalam bukunya yang mengupas politik luar negeri Indonesia mengatakan, para elite politik di Indonesia sedang ”torn between China and US” - sedang terpecah fokus antara China dan AS.
Terpecah karena di satu sisi hampir semua pengambil kebijakan yang diwawancarai masih relatif positif memandang hubungan dengan AS, tetapi di lain sisi mulai secara lebih positif bicara tentang China,walaupun belum bisa dikatakan sepenuhnya jatuh hati. Hal ini menarik untuk Novotky karena umumnya elite politik negeri ini biasanya lebih fasih bicara tentang sisi-sisi negatif China.
Kita tentu masih ingat sentimen anti (keturunan) China yang menggemparkan pada 1998-an. Analisis keterpecahan Novotky ini sebenarnya masih sopan, karena dalam realitanya Indonesia justru dalam posisi ”bimbang”––artinya ada aspek kognitif yang terlibat di sini.Paham ada China yang makin berpengaruh,tetapi belum bisa mengambil posisi.
Kalau ditilik dari kampanye pemerintah tentang ”zero enemy and thousand friends”, tak ada musuh hanya kawan saja, makin jelas saja kebimbangannya, bukan? Di satu sisi ada kenaikan peran China yang begitu mendalam, bahkan sebenarnya tidak hanya di Indonesia, melainkan juga di ASEAN, tetapi kita tak bisa menempatkan diri bagaimana posisi kita terhadap China, atau terhadap negara-negara yang sedang bersitegang dengan China.
Kalau dicek dari doktrin menteri luar negeri kita,Marty Natalegawa: dynamic equilibrium (perimbangan yang dinamis), penekanannya pada peranan Indonesia sebagai pencari keseimbangan dalam berbagai kerja sama.Tujuannya: mencarikan solusi menguntungkan alias win-win bagi pihak-pihak yang terlibat.
Tapi, apa dasar pencarian solusi menguntungkan ini? Kalau ada dominasi, di mana posisi Indonesia? Pertarungan yang terjadi kini memang tidak (atau belum?) dalam bentuk pelibatan senjata yang ofensif.Tapi,ketegangan perebutan pengaruh sebenarnya sangat nyata. China dan AS sudah saling unjuk kecaman dan ancaman.
Saling unjuk kemampuan. Karena AS posisinya sedang tidak diuntungkan secara ekonomi, dan di dalam negeri pun sedang mengalami kepelikan politik, gerak-gerik China relatif lebih gesit dalam memengaruhi percaturan dunia. Pidato-pidato Perdana Menteri China sangat konsisten dan diplomatis.
Mereka memilih posisi sebagai pendukung negara-negara berkembang. Setidaknya di tataran retorika dan menurut interpretasi mereka. Realitanya mereka memang menaruh banyak uang di pelosok dunia untuk membangun konektivitas, walaupun titik beratnya tentu bagi hampir 2 miliar warga negara China.
Bukankah posisi pendukung perjuangan negara- negara berkembang adalah posisi Indonesia dulu? Di masa Perang Dingin (1945- 1990),pendahulu bangsa ini mengambil perumpamaan ”mengayuh diantara dua karang” untuk politik luar negeri Indonesia, laksana mengemudikan biduk kapal besar agar kokoh berdiri di tengah arus deras perubahan dunia.
Caranya: membuat blok sendiri yang disebut ”nonblok” karena tidak menginduk pada blok Timur (Soviet) atau blok Barat (Amerika).Sejumlah cara yang komprehensif diambil untuk menciptakan ”perairan” yang tenang di mana biduk Indonesia punya posisi jangkar yang kuat: lewat kerja sama Asia Afrika dan ASEAN.
Retorika Soekarno dan Soeharto misalnya, sangat kuat meneriakkan komitmen ini. Tak masalah untuk tetap bekerja sama dengan dua blok yang ada, karena dalam politik tak ada musuh sejati ataupun kawan sejati. Sebenarnya kondisi kini punya peluang lebih besar bagi Indonesia untuk ikut menentukan percaturan politik dunia.
Dibandingkan dulu, negara ini sudah lama merdeka, sudah diakui eksistensinya sampai ke G-20, sedang ditempel terus oleh lembaga-lembaga keuangan internasional karena peningkatan kelas menengahnya yang luar biasa, dan masih banyak sisi positif lain.Apalagi dengan populasi terbesar di ASEAN dan geopolitik sangat strategis.
Untuk apa bimbang? Mengapa membiarkan misi Indonesia sebagai pelindung hak-hak negara tertindas kepada China? Satu hal yang tidak dimiliki China adalah ideologi kemanusiaan yang adil dan beradab dan ketuhanan dalam bermasyarakat. Dengan ideologi ini sebenarnya Indonesia bisa lebih ”masuk” ke negara-negara lain,lebih dipercaya untuk bekerja sama.
Sayangnya, Indonesia justru tak berbekal cukup untuk dianggap setara oleh negara mitra. Bahkan secara retorik pun kita terlihat lemah. Doktrin Natalegawa sama sekali tak mendukung juga. Dalam politik yang mulai didominasi satu negara, prinsip bebas agar tidak didikte, tidak semata mengekor, dan tidak sampai dijajah dalam bentuk apa pun sebenarnya lebih mudah disuarakan.
Aktif dengan terus mencari jalan keluar dari masalah-masalah dunia, termasuk mengadvokasikan keadilan sosial bagi yang tertindas juga harusnya lebih terarah. Jadi silakan dilihat apakah posisi bimbang tadi akan mengarah pada posisi terseret oleh yang dianggap kawan.
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/412408/38/
Semoga tidak terinjak. DINNA WISNU
Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
Tahun ini genap 20 tahun kerja sama Indonesia- China setelah normalisasi hubungan pada 1991. Nyata bahwa China menangkap hal ini sebagai perayaan besar-besaran. Wajar.
Indonesia, sang negara berpenduduk terbesar di Asia Tenggara, yang dulu pernah ”hilang” karena ketegangan masa Perang Dingin, kini menggenggam erat tangannya dan mengikat beragam kerja sama berskala miliar dolar.Cakupan kerja samanya pun luar biasa, mulai dari perdagangan, pembangunan infrastruktur, real estate, suplai hasil bumi, sampai sewa lahan untuk kelapa sawit, dan produk pertanian lain.
Tak heran, kedekatan ini dibingkai dalam kerangka kerja sama luar negeri yang strategis dan komprehensif. Tahun ini pula genap satu tahun ada pembingkaian kerja sama dengan Amerika Serikat, negara yang belum pernah putus hubungan dengan Indonesia sejak merdeka dulu.
Komitmen ini ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sewaktu Presiden Barack Obama berkunjung. Cakupan kerja samanya jauh lebih sempit, sehingga bingkainya pun bukan strategis, melainkan komprehensif saja.
Bentuknya berupa program peace corps alias misi pengajaran oleh orang orang Amerika ke pelosok-pelosok, kerja sama pertahanan, perbankan yang mengucurkan kredit ke 11 bank di Indonesia untuk mendorong perdagangan bilateral dan program perbaikan mutu pendidikan tinggi.
Kemudian perlindungan iklim, termasuk pembentukan climate change center yang menyusun program prioritas termasuk pengurangan emisi dari lahan gambut. Skala programprogramnya relatif kecil, ratusan juta dolar saja.
Yang menarik, Daniel Novotky (2010) dalam bukunya yang mengupas politik luar negeri Indonesia mengatakan, para elite politik di Indonesia sedang ”torn between China and US” - sedang terpecah fokus antara China dan AS.
Terpecah karena di satu sisi hampir semua pengambil kebijakan yang diwawancarai masih relatif positif memandang hubungan dengan AS, tetapi di lain sisi mulai secara lebih positif bicara tentang China,walaupun belum bisa dikatakan sepenuhnya jatuh hati. Hal ini menarik untuk Novotky karena umumnya elite politik negeri ini biasanya lebih fasih bicara tentang sisi-sisi negatif China.
Kita tentu masih ingat sentimen anti (keturunan) China yang menggemparkan pada 1998-an. Analisis keterpecahan Novotky ini sebenarnya masih sopan, karena dalam realitanya Indonesia justru dalam posisi ”bimbang”––artinya ada aspek kognitif yang terlibat di sini.Paham ada China yang makin berpengaruh,tetapi belum bisa mengambil posisi.
Kalau ditilik dari kampanye pemerintah tentang ”zero enemy and thousand friends”, tak ada musuh hanya kawan saja, makin jelas saja kebimbangannya, bukan? Di satu sisi ada kenaikan peran China yang begitu mendalam, bahkan sebenarnya tidak hanya di Indonesia, melainkan juga di ASEAN, tetapi kita tak bisa menempatkan diri bagaimana posisi kita terhadap China, atau terhadap negara-negara yang sedang bersitegang dengan China.
Kalau dicek dari doktrin menteri luar negeri kita,Marty Natalegawa: dynamic equilibrium (perimbangan yang dinamis), penekanannya pada peranan Indonesia sebagai pencari keseimbangan dalam berbagai kerja sama.Tujuannya: mencarikan solusi menguntungkan alias win-win bagi pihak-pihak yang terlibat.
Tapi, apa dasar pencarian solusi menguntungkan ini? Kalau ada dominasi, di mana posisi Indonesia? Pertarungan yang terjadi kini memang tidak (atau belum?) dalam bentuk pelibatan senjata yang ofensif.Tapi,ketegangan perebutan pengaruh sebenarnya sangat nyata. China dan AS sudah saling unjuk kecaman dan ancaman.
Saling unjuk kemampuan. Karena AS posisinya sedang tidak diuntungkan secara ekonomi, dan di dalam negeri pun sedang mengalami kepelikan politik, gerak-gerik China relatif lebih gesit dalam memengaruhi percaturan dunia. Pidato-pidato Perdana Menteri China sangat konsisten dan diplomatis.
Mereka memilih posisi sebagai pendukung negara-negara berkembang. Setidaknya di tataran retorika dan menurut interpretasi mereka. Realitanya mereka memang menaruh banyak uang di pelosok dunia untuk membangun konektivitas, walaupun titik beratnya tentu bagi hampir 2 miliar warga negara China.
Bukankah posisi pendukung perjuangan negara- negara berkembang adalah posisi Indonesia dulu? Di masa Perang Dingin (1945- 1990),pendahulu bangsa ini mengambil perumpamaan ”mengayuh diantara dua karang” untuk politik luar negeri Indonesia, laksana mengemudikan biduk kapal besar agar kokoh berdiri di tengah arus deras perubahan dunia.
Caranya: membuat blok sendiri yang disebut ”nonblok” karena tidak menginduk pada blok Timur (Soviet) atau blok Barat (Amerika).Sejumlah cara yang komprehensif diambil untuk menciptakan ”perairan” yang tenang di mana biduk Indonesia punya posisi jangkar yang kuat: lewat kerja sama Asia Afrika dan ASEAN.
Retorika Soekarno dan Soeharto misalnya, sangat kuat meneriakkan komitmen ini. Tak masalah untuk tetap bekerja sama dengan dua blok yang ada, karena dalam politik tak ada musuh sejati ataupun kawan sejati. Sebenarnya kondisi kini punya peluang lebih besar bagi Indonesia untuk ikut menentukan percaturan politik dunia.
Dibandingkan dulu, negara ini sudah lama merdeka, sudah diakui eksistensinya sampai ke G-20, sedang ditempel terus oleh lembaga-lembaga keuangan internasional karena peningkatan kelas menengahnya yang luar biasa, dan masih banyak sisi positif lain.Apalagi dengan populasi terbesar di ASEAN dan geopolitik sangat strategis.
Untuk apa bimbang? Mengapa membiarkan misi Indonesia sebagai pelindung hak-hak negara tertindas kepada China? Satu hal yang tidak dimiliki China adalah ideologi kemanusiaan yang adil dan beradab dan ketuhanan dalam bermasyarakat. Dengan ideologi ini sebenarnya Indonesia bisa lebih ”masuk” ke negara-negara lain,lebih dipercaya untuk bekerja sama.
Sayangnya, Indonesia justru tak berbekal cukup untuk dianggap setara oleh negara mitra. Bahkan secara retorik pun kita terlihat lemah. Doktrin Natalegawa sama sekali tak mendukung juga. Dalam politik yang mulai didominasi satu negara, prinsip bebas agar tidak didikte, tidak semata mengekor, dan tidak sampai dijajah dalam bentuk apa pun sebenarnya lebih mudah disuarakan.
Aktif dengan terus mencari jalan keluar dari masalah-masalah dunia, termasuk mengadvokasikan keadilan sosial bagi yang tertindas juga harusnya lebih terarah. Jadi silakan dilihat apakah posisi bimbang tadi akan mengarah pada posisi terseret oleh yang dianggap kawan.
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/412408/38/
Semoga tidak terinjak. DINNA WISNU
Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya