Oleh: Toto Subandriyo
Menurut prediksi Kementerian Pertanian Amerika Serikat, tahun ini Indonesia akan mengimpor 1,75 juta ton beras. Volume impor beras sebesar itu akan menempatkan Indonesia pada urutan terbesar kedua importir beras di dunia. Urutan teratas ditempati Nigeria, sebuah negara rawan pangan di Afrika yang akan mengimpor beras sejumlah 1,9 juta ton.
Kenyataan ini hanyalah sebagian kecil dari ironi sebuah negara agraris besar bernama Indonesia yang menurut Sensus Pertanian 2003 jumlah rumah tangga petaninya mencapai 25,4 juta. Negeri ini memiliki panjang pesisir 95.181 kilometer dan luas perairannya 5,7 juta kilometer persegi, namun setiap tahun harus mengimpor 1,58 juta ton garam senilai Rp 900 miliar.
Setiap tahun devisa negeri ini terkuras tidak kurang dari Rp 50 triliun untuk impor bahan pangan. Saat ini rata-rata Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebuah kabupaten/kota di Indonesia besarnya kurang dari Rp 1 triliun per tahun. Jadi devisa sebesar itu dapat digunakan untuk membangun sebuah kabupaten/kota di Indonesia selama lebih dari 50 tahun. Ironis memang.
Kondisi seperti ini tidak dapat dilepaskan dari penyakit myopic yang diderita pemerintah: selalu memandang peran pangan dalam domain sempit. Mengabaikan pentingnya kemandirian pangan karena akses impor sangat mudah dilakukan. Hingga kini tercatat beberapa kebutuhan bahan pangan dalam negeri harus diimpor, mulai dari daging sapi, kedelai, beras, gula, hingga garam dapur.
Kenyataan ini menyadarkan kita betapa pekerjaan rumah di sektor pertanian dan ketahanan pangan negeri ini masih jauh dari selesai. Kecilnya alokasi anggaran pembangunan sektor pertanian hanyalah satu indikator dari kurangnya perhatian itu. Selebihnya adalah dampak salah urus negara di sektor pertanian serta kurangnya komitmen penentu kebijakan terhadap pembangunan pertanian.
Budayawan Jakob Sumardjo dalam sebuah artikelnya menulis bahwa bangsa ini telah membunuh para petaninya sejak adanya industri agrikultur pada 1830. Sumber hidup bangsa yang telah berabad-abad ini dimatikan oleh kaum penjajah pada abad ke-19, dilanjutkan bangsa sendiri setelah kemerdekaan.
Revolusioner
Beberapa hari terakhir beban hidup masyarakat makin berat dengan lonjakan harga pangan, mulai dari beras, daging sapi, telur, dan sayur-sayuran. Meroketnya berbagai harga pangan tersebut telah memicu lonjakan angka inflasi yang cukup signifikan dan melambungkan jumlah penduduk miskin.
Laporan Bank Dunia tentang Perkembangan Ekonomi Triwulan I-2011 menyebutkan bahwa harga komoditas pangan meningkat 13 persen. Studi Bank Pembangunan Asia April lalu mendapati bahwa kenaikan harga bahan pangan 10 persen di negara berkembang Asia akan menambah penduduk miskin 64 juta orang (dasar perhitungan garis kemiskinan US$ 1,25 per hari).
Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) juga mengumumkan bahwa indeks harga pangan (IHP) dunia terus naik. Pada Desember 2010, IHP dunia masih berada di posisi 223, namun pada Januari 2011 IHP tersebut sudah berada di posisi 231, dan pada Februari 2011 telah melejit di angka 236. Angka ini merupakan pencapaian tertinggi yang pernah terjadi sejak krisis pangan 2008.
Bagaimanapun pemerintah harus mengambil langkah revolusioner untuk menjaga kedaulatan pangan bangsa. Setidaknya ada empat tantangan ketahanan pangan yang dihadapi Indonesia saat ini dan ke depan. Pertama, perubahan iklim yang dipicu pemanasan global (global warming). Kondisi ini menyebabkan instabilitas pasokan bahan pangan. Perubahan suhu rata-rata yang terjadi akan menyebabkan banyaknya sistem fisik dan biologis alam yang berpengaruh secara signifikan terhadap penurunan produksi pangan.
Kedua, tingginya laju pertumbuhan jumlah penduduk. Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, saat ini jumlah penduduk Indonesia 237,56 juta orang. Laju pertumbuhan penduduk selama satu dekade 2000-2010 sebesar 1,49 persen, atau naik 0,04 persen dari kurun waktu 1990-2000.
Ledakan kelahiran (baby booming) tengah menghantui Indonesia. Kondisi itu ditandai dengan tingginya angka fertilitas nasional sebesar 2,6 dan pertumbuhan penduduk 1,49 persen per tahun. Konsekuensinya, beban pemerintah untuk memenuhi kebutuhan kesehatan, pendidikan, lapangan pekerjaan, sandang, perumahan, dan pangan, akan semakin berat.
Ketiga, masifnya konversi lahan pertanian ke nonpertanian. Menurut catatan Badan Pertanahan Nasional, hingga 2004 konversi lahan irigasi mencapai 3,099 juta hektare. Jika diasumsikan setiap hektare lahan terkonversi dapat ditanami padi dua kali per tahun dengan produktivitas 4 ton/ha gabah kering giling (GKG), dalam setahun potensi produksi padi yang hilang tidak kurang dari 24 juta ton GKG.
Ditinjau dari ketahanan pangan nasional, masifnya konversi lahan pertanian dan pemilikan lahan yang semakin sempit merupakan bahasa lain dari hilangnya basis produksi terpenting bagi petani. Masifnya konversi lahan pertanian ke nonpertanian akan berdampak secara permanen terhadap produksi pangan nasional.
Keempat, makin terintegrasinya pasar dalam negeri dengan pasar global. Geliat perdagangan komoditas pangan global akan langsung mengimbas pasar domestik. Kegagalan produksi di negara-negara produsen pangan di dunia terjadi karena faktor perubahan iklim serta meroketnya harga minyak mentah di pasaran dunia.
Dan hal inhi telah membuat kebijakan pangan mereka berubah total. Mereka cenderung memprioritaskan pengamanan cadangan pangan di dalam negeri untuk memperkuat ketahanan pangan, alih-alih menjual ke pasar internasional. Akibatnya, harga komoditas pangan di pasar dunia semakin meroket dan berimbas pada kenaikan harga pangan dalam negeri.
Berbagai tantangan tersebut hanya dapat kita selesaikan dengan memperkokoh kedaulatan dan ketahanan pangan yang bertumpu pada produksi dalam negeri. Hal ini sejalan dengan penegasan FAO, bahwa negara dengan penduduk lebih dari 100 juta jiwa seperti Indonesia tidak akan pernah dapat menyejahterakan rakyatnya selama pemenuhan kebutuhan pangannya selalu diimpor.
URL Source: http://www.sinarharapan.co.id/content/read/ironi-kedaulatan-pangan/
Toto Subandriyo
*Penulis adalah peminat masalah sosial-ekonomi; alumnus IPB dan Magister Manajemen Unsoed
Menurut prediksi Kementerian Pertanian Amerika Serikat, tahun ini Indonesia akan mengimpor 1,75 juta ton beras. Volume impor beras sebesar itu akan menempatkan Indonesia pada urutan terbesar kedua importir beras di dunia. Urutan teratas ditempati Nigeria, sebuah negara rawan pangan di Afrika yang akan mengimpor beras sejumlah 1,9 juta ton.
Kenyataan ini hanyalah sebagian kecil dari ironi sebuah negara agraris besar bernama Indonesia yang menurut Sensus Pertanian 2003 jumlah rumah tangga petaninya mencapai 25,4 juta. Negeri ini memiliki panjang pesisir 95.181 kilometer dan luas perairannya 5,7 juta kilometer persegi, namun setiap tahun harus mengimpor 1,58 juta ton garam senilai Rp 900 miliar.
Setiap tahun devisa negeri ini terkuras tidak kurang dari Rp 50 triliun untuk impor bahan pangan. Saat ini rata-rata Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebuah kabupaten/kota di Indonesia besarnya kurang dari Rp 1 triliun per tahun. Jadi devisa sebesar itu dapat digunakan untuk membangun sebuah kabupaten/kota di Indonesia selama lebih dari 50 tahun. Ironis memang.
Kondisi seperti ini tidak dapat dilepaskan dari penyakit myopic yang diderita pemerintah: selalu memandang peran pangan dalam domain sempit. Mengabaikan pentingnya kemandirian pangan karena akses impor sangat mudah dilakukan. Hingga kini tercatat beberapa kebutuhan bahan pangan dalam negeri harus diimpor, mulai dari daging sapi, kedelai, beras, gula, hingga garam dapur.
Kenyataan ini menyadarkan kita betapa pekerjaan rumah di sektor pertanian dan ketahanan pangan negeri ini masih jauh dari selesai. Kecilnya alokasi anggaran pembangunan sektor pertanian hanyalah satu indikator dari kurangnya perhatian itu. Selebihnya adalah dampak salah urus negara di sektor pertanian serta kurangnya komitmen penentu kebijakan terhadap pembangunan pertanian.
Budayawan Jakob Sumardjo dalam sebuah artikelnya menulis bahwa bangsa ini telah membunuh para petaninya sejak adanya industri agrikultur pada 1830. Sumber hidup bangsa yang telah berabad-abad ini dimatikan oleh kaum penjajah pada abad ke-19, dilanjutkan bangsa sendiri setelah kemerdekaan.
Revolusioner
Beberapa hari terakhir beban hidup masyarakat makin berat dengan lonjakan harga pangan, mulai dari beras, daging sapi, telur, dan sayur-sayuran. Meroketnya berbagai harga pangan tersebut telah memicu lonjakan angka inflasi yang cukup signifikan dan melambungkan jumlah penduduk miskin.
Laporan Bank Dunia tentang Perkembangan Ekonomi Triwulan I-2011 menyebutkan bahwa harga komoditas pangan meningkat 13 persen. Studi Bank Pembangunan Asia April lalu mendapati bahwa kenaikan harga bahan pangan 10 persen di negara berkembang Asia akan menambah penduduk miskin 64 juta orang (dasar perhitungan garis kemiskinan US$ 1,25 per hari).
Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) juga mengumumkan bahwa indeks harga pangan (IHP) dunia terus naik. Pada Desember 2010, IHP dunia masih berada di posisi 223, namun pada Januari 2011 IHP tersebut sudah berada di posisi 231, dan pada Februari 2011 telah melejit di angka 236. Angka ini merupakan pencapaian tertinggi yang pernah terjadi sejak krisis pangan 2008.
Bagaimanapun pemerintah harus mengambil langkah revolusioner untuk menjaga kedaulatan pangan bangsa. Setidaknya ada empat tantangan ketahanan pangan yang dihadapi Indonesia saat ini dan ke depan. Pertama, perubahan iklim yang dipicu pemanasan global (global warming). Kondisi ini menyebabkan instabilitas pasokan bahan pangan. Perubahan suhu rata-rata yang terjadi akan menyebabkan banyaknya sistem fisik dan biologis alam yang berpengaruh secara signifikan terhadap penurunan produksi pangan.
Kedua, tingginya laju pertumbuhan jumlah penduduk. Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, saat ini jumlah penduduk Indonesia 237,56 juta orang. Laju pertumbuhan penduduk selama satu dekade 2000-2010 sebesar 1,49 persen, atau naik 0,04 persen dari kurun waktu 1990-2000.
Ledakan kelahiran (baby booming) tengah menghantui Indonesia. Kondisi itu ditandai dengan tingginya angka fertilitas nasional sebesar 2,6 dan pertumbuhan penduduk 1,49 persen per tahun. Konsekuensinya, beban pemerintah untuk memenuhi kebutuhan kesehatan, pendidikan, lapangan pekerjaan, sandang, perumahan, dan pangan, akan semakin berat.
Ketiga, masifnya konversi lahan pertanian ke nonpertanian. Menurut catatan Badan Pertanahan Nasional, hingga 2004 konversi lahan irigasi mencapai 3,099 juta hektare. Jika diasumsikan setiap hektare lahan terkonversi dapat ditanami padi dua kali per tahun dengan produktivitas 4 ton/ha gabah kering giling (GKG), dalam setahun potensi produksi padi yang hilang tidak kurang dari 24 juta ton GKG.
Ditinjau dari ketahanan pangan nasional, masifnya konversi lahan pertanian dan pemilikan lahan yang semakin sempit merupakan bahasa lain dari hilangnya basis produksi terpenting bagi petani. Masifnya konversi lahan pertanian ke nonpertanian akan berdampak secara permanen terhadap produksi pangan nasional.
Keempat, makin terintegrasinya pasar dalam negeri dengan pasar global. Geliat perdagangan komoditas pangan global akan langsung mengimbas pasar domestik. Kegagalan produksi di negara-negara produsen pangan di dunia terjadi karena faktor perubahan iklim serta meroketnya harga minyak mentah di pasaran dunia.
Dan hal inhi telah membuat kebijakan pangan mereka berubah total. Mereka cenderung memprioritaskan pengamanan cadangan pangan di dalam negeri untuk memperkuat ketahanan pangan, alih-alih menjual ke pasar internasional. Akibatnya, harga komoditas pangan di pasar dunia semakin meroket dan berimbas pada kenaikan harga pangan dalam negeri.
Berbagai tantangan tersebut hanya dapat kita selesaikan dengan memperkokoh kedaulatan dan ketahanan pangan yang bertumpu pada produksi dalam negeri. Hal ini sejalan dengan penegasan FAO, bahwa negara dengan penduduk lebih dari 100 juta jiwa seperti Indonesia tidak akan pernah dapat menyejahterakan rakyatnya selama pemenuhan kebutuhan pangannya selalu diimpor.
URL Source: http://www.sinarharapan.co.id/content/read/ironi-kedaulatan-pangan/
Toto Subandriyo
*Penulis adalah peminat masalah sosial-ekonomi; alumnus IPB dan Magister Manajemen Unsoed
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya