RUU Intelijen yang diinisiasi DPR RI memunculkan debat publik terutama tentang kewenangan khusus yang diusulkan dimiliki dinas-dinas intelijen. Debat tersebut menyiratkan munculnya kecurigaan publik tentang ada keinginan negara untuk kembali memperkuat karakter represif dan agresif dari dinas-dinas intelijen.
Dan mengabaikan tuntutan masyarakat sipil untuk lebih mengedepankan prinsip demokrasi, HAM,transparansi, dan akuntabilitas politik dalam menyelenggarakan intelijen negara. Di balik kecemasan tersebut, inisiasi RUU Intelijen negara ini patut diapresiasi mengingat sejak Proklamasi 1945,Indonesia belum pernah memiliki regulasi politik setingkat UU yang mengatur penyelenggaraan intelijen negara.
DPR RI menginisiasi RUU Intelijen Negara yang terdiri atas 10 bab dan 46 pasal. Jika dianalisis lebih dalam, RUU Intelijen Negara sangat menitikberatkan pada pengaturan tentang komunitas intelijen negara. Sebanyak 32% pasal yang ada dalam RUU Intelijen Negara mengatur dinas-dinas intelijen yang menjadi penyelenggara intelijen negara.
Dua Interpretasi
Ada dua interpretasi yang dapat diangkat dengan melihat proporsi yang pengaturan RUU Intelijen Negara. Pertama, RUU Intelijen Negara lebih mementingkan pengaturan internal organisasi dinas-dinas intelijen.Pengaturan internal dilakukan dengan menegaskan kembali hakikat, fungsi, asas, tugas,wewenang, dan susunan organisasi dinasdinas intelijen.
Draf RUU Intelijen Negara memberikan perhatian besar tentang pembentukan komunitas intelijen negara ini.Pasal 9 (ayat 1) Draf RUU Intelijen Negara menetapkan anggota komunitas intelijen negara terdiri atas Badan Intelijen Negara, Badan Intelijen Tentara Nasional Indonesia, Badan Intelijen Kepolisian Republik Indonesia, Intelijen Kejaksaan Republik Indonesia, Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan , dan unsur intelijen pada departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen, dan/atau pemerintahan daerah.
Kedua, RUU Intelijen Negara telah mengadopsi kebutuhan untuk membentuk kerangka kerja demokratik bagi intelijen negara. Dari 46 pasal yang ditawarkan dalam Draf RUU Intelijen Negara, ada sembilan pasal (19,7%) yang berkaitan dengan kerangka kerja demokratik, yaitu Pasal 2, Pasal 17, Pasal 19, Pasal 27, Pasal 33, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 43.
Sebagai rancangan regulasi politik pertama di bidang intelijen negara,RUU ini menyediakan dasar yang memadai untuk mencari keseimbangan antara kebutuhan untuk membentuk kerangka kerja demokratik dan kebutuhan negara untuk menguatkan kapasitas dinasdinas intelijen.
Kewenangan Khusus
Dalam RUU Intelijen, penguatan kapasitas dinas-dinas intelijen dilakukan dengan memberikan kewenangan khusus untuk melindungi organisasi, fasilitas, pegawai, agen, serta metode kerja lembaga intelijen.Kewenangan khusus ini diberikan negara sehingga memungkinkan beberapa kegiatan intelijen dikeluarkan dari ruang publik.
Kewenangan khusus tersebut terutama tampak dari usulan agar BIN dalam aktivitasnya memiliki kewenangan khusus melakukan intersepsi komunikasi, pemeriksaan aliran dana yang diduga kuat untuk membiayai terorisme, dan pemeriksaan intensif.
Dalam rangka penguatan kerangka kerja demokrasi, pemberian kewenangan khusus tersebut tetap harus dapat merujuk pada prinsip-prinsip HAM dan kebebasan sipil yang menjadi fondasi tegaknya negara demokrasi.Kewenangan khusus tersebut harus diimbangi dengan mekanisme otorisasi dan pengawasan yang ketat bagi setiap anggota intelijen yang diberi mandat untuk melakukan kewenangan khusus.
Otorisasi tersebut harus diatur secara rinci sehingga mencakup (1) jenis kewenangan yang diberikan; (2) batasan kewenangan; (3) jenis aktivitas intelijen yang akan dilakukan; (4) sasaran operasi intelijen; (5) batas waktu operasi intelijen; dan (6) mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban.
Otorisasi ini diberikan bukan hanya ditujukan untuk membatasi pelaksanaan kewenangan khusus, melainkan juga untuk melindungi anggota intelijen dengan cara memberikan kepastian hukum dan kejelasan mekanisme prosedural untuk melakukan kewenangan khusus.
UU Intelijen Negara mutlak dibutuhkan untuk mencari perimbangan antara kebutuhan penguatan kapasitas dinasdinas intelijen dan kebutuhan untuk mengadopsi kerangka kerja demokratik. Tanpa ada UU Intelijen Negara, dinas-dinas intelijen tidak akan memiliki legitimasi politik untuk melakukan kegiatannya.
Tanpa UU Intelijen Negara, kerangka kerja demokratik tidak akan dijadikan rujukan untuk memperkuat akuntabilitas politik intelijen Indonesia.
● ANDI WIDJAJANTO Dosen Pascasarjana Intelijen Strategis, Universitas Indonesia
Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/410860/
Dan mengabaikan tuntutan masyarakat sipil untuk lebih mengedepankan prinsip demokrasi, HAM,transparansi, dan akuntabilitas politik dalam menyelenggarakan intelijen negara. Di balik kecemasan tersebut, inisiasi RUU Intelijen negara ini patut diapresiasi mengingat sejak Proklamasi 1945,Indonesia belum pernah memiliki regulasi politik setingkat UU yang mengatur penyelenggaraan intelijen negara.
DPR RI menginisiasi RUU Intelijen Negara yang terdiri atas 10 bab dan 46 pasal. Jika dianalisis lebih dalam, RUU Intelijen Negara sangat menitikberatkan pada pengaturan tentang komunitas intelijen negara. Sebanyak 32% pasal yang ada dalam RUU Intelijen Negara mengatur dinas-dinas intelijen yang menjadi penyelenggara intelijen negara.
Dua Interpretasi
Ada dua interpretasi yang dapat diangkat dengan melihat proporsi yang pengaturan RUU Intelijen Negara. Pertama, RUU Intelijen Negara lebih mementingkan pengaturan internal organisasi dinas-dinas intelijen.Pengaturan internal dilakukan dengan menegaskan kembali hakikat, fungsi, asas, tugas,wewenang, dan susunan organisasi dinasdinas intelijen.
Draf RUU Intelijen Negara memberikan perhatian besar tentang pembentukan komunitas intelijen negara ini.Pasal 9 (ayat 1) Draf RUU Intelijen Negara menetapkan anggota komunitas intelijen negara terdiri atas Badan Intelijen Negara, Badan Intelijen Tentara Nasional Indonesia, Badan Intelijen Kepolisian Republik Indonesia, Intelijen Kejaksaan Republik Indonesia, Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan , dan unsur intelijen pada departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen, dan/atau pemerintahan daerah.
Kedua, RUU Intelijen Negara telah mengadopsi kebutuhan untuk membentuk kerangka kerja demokratik bagi intelijen negara. Dari 46 pasal yang ditawarkan dalam Draf RUU Intelijen Negara, ada sembilan pasal (19,7%) yang berkaitan dengan kerangka kerja demokratik, yaitu Pasal 2, Pasal 17, Pasal 19, Pasal 27, Pasal 33, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 43.
Sebagai rancangan regulasi politik pertama di bidang intelijen negara,RUU ini menyediakan dasar yang memadai untuk mencari keseimbangan antara kebutuhan untuk membentuk kerangka kerja demokratik dan kebutuhan negara untuk menguatkan kapasitas dinasdinas intelijen.
Kewenangan Khusus
Dalam RUU Intelijen, penguatan kapasitas dinas-dinas intelijen dilakukan dengan memberikan kewenangan khusus untuk melindungi organisasi, fasilitas, pegawai, agen, serta metode kerja lembaga intelijen.Kewenangan khusus ini diberikan negara sehingga memungkinkan beberapa kegiatan intelijen dikeluarkan dari ruang publik.
Kewenangan khusus tersebut terutama tampak dari usulan agar BIN dalam aktivitasnya memiliki kewenangan khusus melakukan intersepsi komunikasi, pemeriksaan aliran dana yang diduga kuat untuk membiayai terorisme, dan pemeriksaan intensif.
Dalam rangka penguatan kerangka kerja demokrasi, pemberian kewenangan khusus tersebut tetap harus dapat merujuk pada prinsip-prinsip HAM dan kebebasan sipil yang menjadi fondasi tegaknya negara demokrasi.Kewenangan khusus tersebut harus diimbangi dengan mekanisme otorisasi dan pengawasan yang ketat bagi setiap anggota intelijen yang diberi mandat untuk melakukan kewenangan khusus.
Otorisasi tersebut harus diatur secara rinci sehingga mencakup (1) jenis kewenangan yang diberikan; (2) batasan kewenangan; (3) jenis aktivitas intelijen yang akan dilakukan; (4) sasaran operasi intelijen; (5) batas waktu operasi intelijen; dan (6) mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban.
Otorisasi ini diberikan bukan hanya ditujukan untuk membatasi pelaksanaan kewenangan khusus, melainkan juga untuk melindungi anggota intelijen dengan cara memberikan kepastian hukum dan kejelasan mekanisme prosedural untuk melakukan kewenangan khusus.
UU Intelijen Negara mutlak dibutuhkan untuk mencari perimbangan antara kebutuhan penguatan kapasitas dinasdinas intelijen dan kebutuhan untuk mengadopsi kerangka kerja demokratik. Tanpa ada UU Intelijen Negara, dinas-dinas intelijen tidak akan memiliki legitimasi politik untuk melakukan kegiatannya.
Tanpa UU Intelijen Negara, kerangka kerja demokratik tidak akan dijadikan rujukan untuk memperkuat akuntabilitas politik intelijen Indonesia.
● ANDI WIDJAJANTO Dosen Pascasarjana Intelijen Strategis, Universitas Indonesia
Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/410860/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya