Indonesia lagi-lagi kehilangan seorang pahlawan devisa. Adalah Ruyati binti Sapubi (54), seorang tenaga kerja wanita (TKW) asal Indonesia, berpulang ke haribaan-Nya, Sabtu (18/6), di Arab Saudi. Memilukan, kematian seorang TKW kali ini bukan karena sakit, jatuh dari gedung bertingkat, atau kecelakaan lainnya. Tetapi, Ruyati harus menjalani hukum pancung setelah dinyatakan bersalah membunuh seorang perempuan Arab Saudi.
HUKUMAN mati yang dijatuhkan kepada Ruyati di Arab Saudi karena dianggap terbukti membunuh majikannya, Khairiya Hamed binti Majlad (64), sangat merobek hati. Khususnya pemerhati permasalahan TKW pembantu rumah tangga (PRT). Sejak Minggu siang (19/6), televisi swasta menyiarkan informasi ini dengan menghubungi pihak-pihak terkait. Dan, makin membuka mata masyarakat betapa besar pengorbanan seorang ibu untuk memberi yang terbaik (dalam hal kesejahteraan) bagi anggota keluarganya, terutama anak.
Diinformasikan, kepergian Ruyati sebagai TKW adalah dalam upaya membiayai salah seorang anaknya meneruskan pendidikan. Sesungguhnya keluarga tidak mengizinkan warga Sukatani, Bekasi, Jawa Barat, itu berangkat menjadi TKW mengingat usianya sudah lanjut. Ketika berangkat, usia yang sebenarnya 54 tahun dimudakan menjadi 45 tahun mengingat batasan umur yang diperlakukan bagi seorang TKW.
Seperti diberitakan di televisi, pada bulan pertama sejak keberangkatannya (Desember 2009), Ruyati sudah mengalami siksaan, beberapa kali dipukul. Pada 12 Januari 2010 kekerasan dialami lagi sampai Ruyati jatuh terguling-guling di tangga mengakibatkan kakinya patah. Oleh sang majikan, ia tidak dibawa ke dokter yang ahli menangani tulang patah. Dengan alasan, anak majikannya adalah seorang dokter. Selama sakit, pekerjaan sebagai PRT masih harus dijalani. Padahal, berdasarkan kontrak kerja, seharusnya Ruyati hanya merawat lansia.
Ia tidak ditempatkan di keluarga yang tercantum dalam kontrak kerja, melainkan di salah seorang adiknya. Seharusnya dia ditempatkan bersama dengan TKW lain bernama Warni, yang selalu memberi informasi kepada keluarga Ruyati di desa. Tulisan ini bukan hendak mencari kesalahan siapa, sehingga Ruyati mengalami nasib berbeda dari Darsem, melainkan ajakan kepada masyarakat luas agar peristiwa yang sama tak terulang.
Darsem adalah TKW asal Subang (Jabar) yang menanti saat-saat pemancungan dirinya karena membunuh majikan saat mempertahankan diri ketika akan dirudapaksa. Permintaan maaf kepada keluarga majikan yang dibunuh diterima, asal Darsem membayar Rp4,7 miliar. Jika Darsem masih berkesempatan lolos dari pancung, nasib Ruyati lain. Tiba-tiba saja masyarakat di Indonesia menerima berita pelaksanaan pancung sudah selesai.
Nasib Darsem berbeda dari Ruyati. Namun untuk bicara takdir masih menunggu beberapa pekan lagi. Jika kesetiakawanan masyarakat Indonesia tidak kuat, jika rasa kemanusiaan (nomor 2 dari bunyi Pancasila) sudah bebal, takdir Darsem mungkin sama dengan Ruyati. Sama-sama dipancung di tanah Arab Saudi.
Menurut informasi, untuk menyelamatkan Darsem, pengusaha di Arab Saudi sudah mengumpulkan Rp2,3 miliar, stasiun TVone lewat Peduli Darsem, dan BCA Pulogadung No. rek 2755 111 111 terkumpul sekitar Rp1 miliar. Rizal Ramli, mantan menteri perekonomian, mengatakan, asuransi TKI bisa untuk menebus nyawa. Sumber lain menyebutkan, dari 18 instansi terkait pengiriman TKI ke luar negeri bisa diambil dana agar Darsem lolos pancung. Masalahnya siapakah yang harus menjadi koordinator pengumpul uang itu.
Advokasi TKW Indonesia sering dihadapkan berbagai masalah di Arab Saudi dan Malaysia. Beberapa bulan lalu ada angin segar, karena sudah ada MoU antara pemerintah Arab Saudi dengan RI mengenai TKI. Pada intinya, akan ada perlindungan bagi para TKI (tentunya termasuk TKW) secara hukum. Belum selesai proses pelaksanaan MoU, sudah terjadi kasus Ruyati.
Rasanya kasus Ruyati dan Darsem menjadi jembatan masuk untuk dilakukan advokasi agar wanita Indonesia tidak bekerja sebagai PRT di Arab Saudi maupun di Malaysia.
Konsekuensi dari advokasi itu, pertama, Orsos juga menawarkan kesempatan perempuan mencari nafkah di negeri sendiri. Pelatihan kewirausahaan perlu dilakukan secara terus-menerus. Kerja sama dengan perusahaan yang berjaringan dengan Orsos akan sangat membantu untuk itu.
Kedua, membentuk koperasi (meski dalam skala kecil) untuk saling memasarkan produk industri rumah dan membantu permodalan. Melalui PKK atau kelompok pengajian, cara ini bisa ditempuh. Ketiga, dilakukan kampanye kerja paruh waktu menjadi pembantu di sekitar tempat tinggal. Keuntungannya, perempuan bisa pulang setiap hari serta dapat melaksanakan tugasnya sebagai ibu dan istri.
Keempat, sesama perempuan perlu saling membantu menambah wawasan dan pengetahuan. Bisa dengan cara memanfaatkan rumah pintar atau saling meminjamkan tabloid mingguan tentang kewanitaan, pengetahuan umum, dan agama.
Kelima, sesama perempuan perlu saling mengingatkan untuk bergaul secara positif. Artinya mengatur waktu setiap hari. Keluar rumah hanya jika ada hal positif yang harus dilakukan. Apakah untuk berniaga, arisan, pengajian, dan berbelanja. Tidak membiasakan diri untuk keluar rumah sekadar mengisi waktu.
Hanya sebatas janji barangkali hanya orang superbijak yang dapat menerima kematian Ruyati itu –apa pun penyebabnya– dengan alasan hidup dan mati telah ditentukan Allah SWT. Jika kita menyimak bagaimana tekad pemerintah, apalagi mengingat janji-janji yang dilontarkan, kita pantas mengusap dada. Mana upaya pemerintah melindungi warganya. Apakah janji-janji hanya pemanis, atau sekadar program di atas buku? Atau hanya omong kosong.
Ironi, karena beberapa hari lalu, persisnya Selasa (14/6), Presiden SBY dengan suara lantang dalam pidatonya di acara sesi ke-100 Konferensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) di Jenewa, Swiss, mengatakan, Indonesia telah mengambil langkah administratif dan hukum guna melindungi dan memberdayakan buruh migran. SBY juga menyebut, para buruh migran sebagai pahlawan devisa. Tapi apa kenyataannya. Belum lagi SBY kembali dari lawatannya ke beberapa negara, kabar sedih menyangkut TKW datang dari Arab Saudi. Mana perlindungan yang dijanjikan pemerintah? Adalah naif apabila presiden, para pembantunya, atau orang-orang di sekitarnya menganggap tak pantas mengait-ngaitkan peristiwa hukuman pancung yang dialami warga asal Sukatani, Bekasi, Jabar, itu dengan pidato SBY di markas PBB. Lalu apa yang dimaksud SBY dengan optimistis bahwa konvensi ILO bisa menyediakan panduan bagi negara penampung untuk melindungi para buruh migran yang bekerja di sektor domestik?
Siapa pun pantas ’’geger’’ atas kabar yang datang dari Arab Saudi tentang eksekusi mati dengan cara hukuman pancung yang harus dijalani Ruyati. Bukankah itu bertolak belakang dengan pidato SBY di Swiss yang mendapat standing ovation? Apa saja yang dilakukan menteri tenaga kerja dan transmigrasi, menteri luar negeri, menteri hukum dan HAM, badan yang ditugasi pemerintah mengurusi TKI, serta pihak Kedubes di Arab Saudi? Mengapa kabar eksekusi hukuman pancung itu datang begitu mendadak? Tidak salah apabila ada yang berpendapat kematian Ruyati bukti kegagalan pemerintah, kegagalan SBY melindungi hak asasi buruh migran Indonesia di luar negeri, seperti dituturkan Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarty. Mengapa selama ini tidak terdengar upaya pemerintah meminta keringanan hukuman bagi Ruyati?
Pemerintah Indonesia, Presiden SBY dan jajarannya, sepertinya harus mengakui baru bisa sebatas membuat program, mengumbar janji, tapi masih gagap dalam pelaksanaan. Padahal jika mau, Indonesia dapat belajar pada apa yang pernah dilakukan Filipina yang berhasil meminta keringanan vonis mati bagi warganya setelah melakukan pendekatan langsung kepada Raja Arab Saudi. Mana kehebatan diplomatik pemerintah Indonesia yang pernah dikenal di mancanegara? (*)
Sumber: http://180.235.150.118/read/opini/36440-duka-lara-ruyati-dan-darsem
HUKUMAN mati yang dijatuhkan kepada Ruyati di Arab Saudi karena dianggap terbukti membunuh majikannya, Khairiya Hamed binti Majlad (64), sangat merobek hati. Khususnya pemerhati permasalahan TKW pembantu rumah tangga (PRT). Sejak Minggu siang (19/6), televisi swasta menyiarkan informasi ini dengan menghubungi pihak-pihak terkait. Dan, makin membuka mata masyarakat betapa besar pengorbanan seorang ibu untuk memberi yang terbaik (dalam hal kesejahteraan) bagi anggota keluarganya, terutama anak.
Diinformasikan, kepergian Ruyati sebagai TKW adalah dalam upaya membiayai salah seorang anaknya meneruskan pendidikan. Sesungguhnya keluarga tidak mengizinkan warga Sukatani, Bekasi, Jawa Barat, itu berangkat menjadi TKW mengingat usianya sudah lanjut. Ketika berangkat, usia yang sebenarnya 54 tahun dimudakan menjadi 45 tahun mengingat batasan umur yang diperlakukan bagi seorang TKW.
Seperti diberitakan di televisi, pada bulan pertama sejak keberangkatannya (Desember 2009), Ruyati sudah mengalami siksaan, beberapa kali dipukul. Pada 12 Januari 2010 kekerasan dialami lagi sampai Ruyati jatuh terguling-guling di tangga mengakibatkan kakinya patah. Oleh sang majikan, ia tidak dibawa ke dokter yang ahli menangani tulang patah. Dengan alasan, anak majikannya adalah seorang dokter. Selama sakit, pekerjaan sebagai PRT masih harus dijalani. Padahal, berdasarkan kontrak kerja, seharusnya Ruyati hanya merawat lansia.
Ia tidak ditempatkan di keluarga yang tercantum dalam kontrak kerja, melainkan di salah seorang adiknya. Seharusnya dia ditempatkan bersama dengan TKW lain bernama Warni, yang selalu memberi informasi kepada keluarga Ruyati di desa. Tulisan ini bukan hendak mencari kesalahan siapa, sehingga Ruyati mengalami nasib berbeda dari Darsem, melainkan ajakan kepada masyarakat luas agar peristiwa yang sama tak terulang.
Darsem adalah TKW asal Subang (Jabar) yang menanti saat-saat pemancungan dirinya karena membunuh majikan saat mempertahankan diri ketika akan dirudapaksa. Permintaan maaf kepada keluarga majikan yang dibunuh diterima, asal Darsem membayar Rp4,7 miliar. Jika Darsem masih berkesempatan lolos dari pancung, nasib Ruyati lain. Tiba-tiba saja masyarakat di Indonesia menerima berita pelaksanaan pancung sudah selesai.
Nasib Darsem berbeda dari Ruyati. Namun untuk bicara takdir masih menunggu beberapa pekan lagi. Jika kesetiakawanan masyarakat Indonesia tidak kuat, jika rasa kemanusiaan (nomor 2 dari bunyi Pancasila) sudah bebal, takdir Darsem mungkin sama dengan Ruyati. Sama-sama dipancung di tanah Arab Saudi.
Menurut informasi, untuk menyelamatkan Darsem, pengusaha di Arab Saudi sudah mengumpulkan Rp2,3 miliar, stasiun TVone lewat Peduli Darsem, dan BCA Pulogadung No. rek 2755 111 111 terkumpul sekitar Rp1 miliar. Rizal Ramli, mantan menteri perekonomian, mengatakan, asuransi TKI bisa untuk menebus nyawa. Sumber lain menyebutkan, dari 18 instansi terkait pengiriman TKI ke luar negeri bisa diambil dana agar Darsem lolos pancung. Masalahnya siapakah yang harus menjadi koordinator pengumpul uang itu.
Advokasi TKW Indonesia sering dihadapkan berbagai masalah di Arab Saudi dan Malaysia. Beberapa bulan lalu ada angin segar, karena sudah ada MoU antara pemerintah Arab Saudi dengan RI mengenai TKI. Pada intinya, akan ada perlindungan bagi para TKI (tentunya termasuk TKW) secara hukum. Belum selesai proses pelaksanaan MoU, sudah terjadi kasus Ruyati.
Rasanya kasus Ruyati dan Darsem menjadi jembatan masuk untuk dilakukan advokasi agar wanita Indonesia tidak bekerja sebagai PRT di Arab Saudi maupun di Malaysia.
Konsekuensi dari advokasi itu, pertama, Orsos juga menawarkan kesempatan perempuan mencari nafkah di negeri sendiri. Pelatihan kewirausahaan perlu dilakukan secara terus-menerus. Kerja sama dengan perusahaan yang berjaringan dengan Orsos akan sangat membantu untuk itu.
Kedua, membentuk koperasi (meski dalam skala kecil) untuk saling memasarkan produk industri rumah dan membantu permodalan. Melalui PKK atau kelompok pengajian, cara ini bisa ditempuh. Ketiga, dilakukan kampanye kerja paruh waktu menjadi pembantu di sekitar tempat tinggal. Keuntungannya, perempuan bisa pulang setiap hari serta dapat melaksanakan tugasnya sebagai ibu dan istri.
Keempat, sesama perempuan perlu saling membantu menambah wawasan dan pengetahuan. Bisa dengan cara memanfaatkan rumah pintar atau saling meminjamkan tabloid mingguan tentang kewanitaan, pengetahuan umum, dan agama.
Kelima, sesama perempuan perlu saling mengingatkan untuk bergaul secara positif. Artinya mengatur waktu setiap hari. Keluar rumah hanya jika ada hal positif yang harus dilakukan. Apakah untuk berniaga, arisan, pengajian, dan berbelanja. Tidak membiasakan diri untuk keluar rumah sekadar mengisi waktu.
Hanya sebatas janji barangkali hanya orang superbijak yang dapat menerima kematian Ruyati itu –apa pun penyebabnya– dengan alasan hidup dan mati telah ditentukan Allah SWT. Jika kita menyimak bagaimana tekad pemerintah, apalagi mengingat janji-janji yang dilontarkan, kita pantas mengusap dada. Mana upaya pemerintah melindungi warganya. Apakah janji-janji hanya pemanis, atau sekadar program di atas buku? Atau hanya omong kosong.
Ironi, karena beberapa hari lalu, persisnya Selasa (14/6), Presiden SBY dengan suara lantang dalam pidatonya di acara sesi ke-100 Konferensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) di Jenewa, Swiss, mengatakan, Indonesia telah mengambil langkah administratif dan hukum guna melindungi dan memberdayakan buruh migran. SBY juga menyebut, para buruh migran sebagai pahlawan devisa. Tapi apa kenyataannya. Belum lagi SBY kembali dari lawatannya ke beberapa negara, kabar sedih menyangkut TKW datang dari Arab Saudi. Mana perlindungan yang dijanjikan pemerintah? Adalah naif apabila presiden, para pembantunya, atau orang-orang di sekitarnya menganggap tak pantas mengait-ngaitkan peristiwa hukuman pancung yang dialami warga asal Sukatani, Bekasi, Jabar, itu dengan pidato SBY di markas PBB. Lalu apa yang dimaksud SBY dengan optimistis bahwa konvensi ILO bisa menyediakan panduan bagi negara penampung untuk melindungi para buruh migran yang bekerja di sektor domestik?
Siapa pun pantas ’’geger’’ atas kabar yang datang dari Arab Saudi tentang eksekusi mati dengan cara hukuman pancung yang harus dijalani Ruyati. Bukankah itu bertolak belakang dengan pidato SBY di Swiss yang mendapat standing ovation? Apa saja yang dilakukan menteri tenaga kerja dan transmigrasi, menteri luar negeri, menteri hukum dan HAM, badan yang ditugasi pemerintah mengurusi TKI, serta pihak Kedubes di Arab Saudi? Mengapa kabar eksekusi hukuman pancung itu datang begitu mendadak? Tidak salah apabila ada yang berpendapat kematian Ruyati bukti kegagalan pemerintah, kegagalan SBY melindungi hak asasi buruh migran Indonesia di luar negeri, seperti dituturkan Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarty. Mengapa selama ini tidak terdengar upaya pemerintah meminta keringanan hukuman bagi Ruyati?
Pemerintah Indonesia, Presiden SBY dan jajarannya, sepertinya harus mengakui baru bisa sebatas membuat program, mengumbar janji, tapi masih gagap dalam pelaksanaan. Padahal jika mau, Indonesia dapat belajar pada apa yang pernah dilakukan Filipina yang berhasil meminta keringanan vonis mati bagi warganya setelah melakukan pendekatan langsung kepada Raja Arab Saudi. Mana kehebatan diplomatik pemerintah Indonesia yang pernah dikenal di mancanegara? (*)
Sumber: http://180.235.150.118/read/opini/36440-duka-lara-ruyati-dan-darsem
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya