Rabu, 04 Mei 2011

Ideologi dan Psikologi Gerakan Radikal

Tak ada kabar heboh di awal pekan ini kecuali kematian pemimpin Jaringan Al-Qaeda, Osama bin Laden yang dinyatakan resmi oleh Presiden Obama dalam pidato yang disiarkan luas media massa.



Osama diberitakan tewas dalam operasi militer di luar Islamabad,Pakistan.Warga Amerika berkumpul di luar Gedung Putih bersorak-sorai atas kematian Osama yang dinilai bertanggung jawab atas serangan terhadap World Trade Center (WTC) pada 2001. Presiden Obama berkata: “Justice has been done.”Apakah ke-matian Osama menandai akhir dari perang melawan terorisme? Data Pew Global Attitudes Project 2010 menunjukkan masih besarnya proporsi muslim di negara-negara mayoritas Islam yang percaya Osama bin Laden memperjuangkan aspirasi Islam.

Survei Pew menemukan muslim di Nigeria yang paling percaya Osama (48%), disusul Indonesia (25%), Mesir (19%), Pakistan (18%), Yordania (14%), dan Turki (3%). Survei nasional Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2009 juga menunjukkan proporsi muslim yang percaya terhadap Osama mencapai 20,2%, 28,5% tidak percaya, dan 51,3% tidak tahu/tidak jawab. Survei LSI 2010 menemukan 18,7% umat Islam di Tanah Air menilai serangan terhadap WTC sebagai jihad.Ketika ditanyakan, apakah mereka setuju terhadap aksi-aksi pemboman yang dilakukan Imam Samudera dan Noordin M Top, 15,9% responden setuju caracara barbar dan 25,2% tidak memiliki pendapat. Jadi kematian Osama bukanlah akhir dari perang melawan terorisme.

Terorisme sulit diberangus jika masih ada kelompok masyarakat yang mendukungnya, atau setidaknya menoleransi terorisme. Inilah mengapa Indonesia dikenal sebagai “safe haven” jaringan teroris. Bukan hanya itu, approval rating yang tinggi terhadap aksi-aksi teroris juga memudahkan perekrutan calon “pengantin” untuk aksi-aksi bom bunuh diri. Ini juga mempersulit aparat dalam mempersempit ruang gerak teroris.Persoalan makin rumit ketika tokoh-tokoh Islam tertentu melakukan politics of denial dengan menahbiskan ada konspirasi besar di balik perang melawan terorisme.

Framing Radikal

Bagaimana kita mendeteksi ideologi radikal yang rentan memunculkan aksi-aksi teror? Pada tingkat diagnosis, kaum radikal memiliki framing yang sama. Secara psikologi sosial, framing meliputi perasaan tidak adil atas perlakuan atas suatu kelompok, identitas kelompok yang mendefinisikan “kita” sebagai korban ketidakadilan. Perasaan tidak adil ini melahirkan deprivasi relatif (Gurr, 1968), yakni perasaan tertinggal dan lemah dibanding kelompok lain. Perasaan ini dirasakan bersama oleh suatu kolektivitas umat.

“Trauma Islam modern,” ungkap Daniel Pipes,“muncul dari disparitas antara kesuksesan abad pertengahan dan kegagalan masa kini,” yang menyebabkan “perasaan lemah dan tidak berguna yang mengakar dalam dunia Islam dewasa ini.” Perasaan nelangsa secara kolektif itu dialamatkan pada skenario atau plot jahat kaum Zionis dan Salibis. Di mata mereka, konspirasi untuk melemahkan umat Islam tak lagi beroperasi secara fisik melalui modus operandi penjajahan teritorial, tapi melalui penjajahan pikiran melalui apa yang mereka sebut ”perang pemikiran” (ghazwul fikr). Gejala ini juga beririsan dengan konsep deprivasi relatif yang berkaitan dengan persepsi tentang ada nilainilai prinsipiil dalam suatu masyarakat yang dilanggar atau tidak ditegakkan pihak berwenang terkait (Kriesi,1993).

Tetapi, banyak studi membuktikan bahwa deprivasi relatif saja tak cukup membuat seseorang terlibat dalam gerakan radikal. Efikasi penting menjelaskan soal psikologi radikalisme. Efikasi adalah perasaan individu bahwa dengan terlibat dalam gerakan bersama- sama dengan anggota yang lain dapat mengubah keadaan menjadi lebih baik; juga persepsi bahwa orang lain akan ikut serta, dan persepsi bahwa gerakan itu kemungkinan akan sukses (Mujani,2003).Ada optimisme di situ,yang merupakan energi psikologis pendorong suatu tindakan. Dalam tradisi Islam,ada nilainilai yang dipakai kaum radikal untuk menjustifikasi aksinya.

Pertama, pemahaman jihad sebagai ibadah puncak untuk mempertahankan Islam, dan muslim yang meninggal dalam berjihad akan masuk surga (syahid). Ada yang memahami jihad secara agak khusus,yakni perang fisik melawan kekuatan yang dipandang mengancam eksistensi Islam. Kedua, nilai yang tumbuh dari keyakinan bahwa pada akhirnya umat Islam akan menang dalam perjuangan menentang lawanlawannya (ya’lu wala yu’la alaih).

Di samping efikasi, alienasi psikologis atau perasaan terasing yang dialami seorang individu dari lingkungannya juga menjadi energi yang bisa melahirkan radikalisme. Ada pandangan bahwa Islam itu umat terbaik.Tapi, realitas berbicara lain.Akibatnya, perasaan tertinggal dibanding umat lain itu memunculkan perasaan rendah diri dan merasa di-perlakukan tidak adil. Studi LSI dan Lazuardi (Maret, 2010) menemukan, sebanyak 24,1% responden muslim Indonesia merasa umat Islam sekarang diperlakukan tidak adil oleh pihak lain.Hampir separuh dari responden bahkan meyakini banyak pihak yang menyebarkan virus negatif terhadap umat Islam, dan sepertiga dari mereka percaya kampanye internasional melawan terorisme hanyalah kedok untuk menyudutkan Islam.

Meski demikian, riset membuktikan bahwa di antara dua faktor psikologis, efikasi,maupun alienasi, yang punya hubungan positif secara signifikan terhadap gerakan radikal adalah alienasi. Karena itu,perang melawan terorisme sulit berakhir tanpa mewujudkan tata dunia yang lebih berkeadilan. Kematian Osama bin Laden takkan pernah menyurutkan langkah kaum radikal jika Barat, terutama Amerika Serikat, masih menerapkan standar ganda dalam menuntaskan konflik-konflik yang terkait dengan dunia Islam.Konflik Palestina-Israel, Perang Irak, dan sejenisnya menjadi test of history, apakah pemerintahan Obama mampu atau tidak menyelesaikan konflik yang selama ini dianggap sebagai simbol hipokrisi Barat.

Pemerintah Indonesia juga tak bisa tinggal diam. Selain harus terlibat dalam proses perdamaian dunia, pemerintah kita juga tak boleh mengandalkan pendekatan represif semata tanpa diikuti pendekatan preventif secara komprehensif untuk mencegah bibit-bibit terorisme berkembang biak di kalangan umat.●

BURHANUDDIN MUHTADI
Dosen FISIP UIN Jakarta dan Peneliti Lembaga Survei Indonesia

Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/396525/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...