Tuesday, 31 May 2011
Di tengah prahara yang tengah melanda Partai Demokrat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengungkapkan keresahannya kepada publik,terkait dengan merebaknya berbagai “fitnah yang sangat keterlaluan”.
SBY juga menyinggung aspek “pembunuhan karakter” dilakukan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dewasa ini. Dengan gaya pidatonya yang khas, SBY juga menyeru,“Janganlah negeri ini jadi tanah dan lautan fitnah.” (Detik.com,30/5). Apa yang dilakukan oleh SBY, bagaimanapun, merupakan bagian dari gaya komunikasi politiknya yang khas. Sesungguhnya tidak banyak berubah dari gaya SBY dalam berkomunikasi sejak kehadirannya di pentas politik nasional, terutama sejak 2004.
Apa yang disampaikan oleh SBY ratarata berisi imbauan yang normatif, terkait dengan upayanya merespons hal-hal yang perlu diantisipasi lebih lanjut. Berbagai kalangan kritis yang tak begitu suka dengan gaya komunikasinya menilai apa yang dilakukan SBY kerap berlebihan, sebagai pengejawantahan dari politik pencitraan.
Realitas Pascapencitraan
Wacana politik pencitraan itu sendiri marak belakangan ini dan, mau tidak mau, menyinggung eksistensi para tokoh politik, termasuk dan terutama SBY. Kompetisi demokrasi elektoral membutuhkan teknik pencitraan yang canggih untuk menggaet dukungan. Harus diakui bahwa SBY merupakan salah satu politisi yang memiliki disiplin sangat tinggi dalam hal pencitraan. Ia tidak salah, tetapi harus siap menerima kritik dari berbagai kalangan, baik oposisi politik maupun elemen civil society, termasuk para tokoh agama. SBY merupakan presiden yang,dalam berpenampilan,belajar pada gaya-gaya presiden sebelumnya, khususnya Soekarno dan Soeharto.Namun tetap saja, SBY adalah SBY dengan gayanya sendiri.
Dia kuat dalam menggalang dukungan elektoral, terbukti dengan kemenangannya dalam dua kali pilpres.Legitimasi elektoralnya kuat.Tetapi politik sehari-hari melebihi konteks legitimasi politik elektoral itu. Dia semakindihadapkanpadarealitas pascapencitraan. Berbeda dengan periode pertama, tantangan komunikasi politik SBY berbeda dengan kini, baik dalam isu-isu politik maupun variasi aktoraktornya. Dulu, ada faktor Jusuf Kalla (JK).JK terkesan lebih lincah dan tampil ke depan dalam menghadapi situasi kritis.Tetapi kini,gaya komunikasi politik Boediono sebagai wakil presiden seolah berkebalikan total dengan gaya JK. Diam dan kalem adalah juga cara politisi berkomunikasi.
Tetapi gaya komunikasi seperti itu, di tengah dinamika politik yang serbacepat,menjadi tidak efektif. Dalam konteks itu, konsekuensinya SBY banyak tampil ke depan, menangkal isu-isu yang dipandang tidak menguntungkan pemerintah dan Partai Demokrat. Publik akan langsung menilai apa yang dikatakan SBY dalam pidatopidato tanpa teksnya, merespons isu-isu kritis. SBY, baik sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, maupun petinggi partai, sudah demikian menyatu.Kesaninimengemuka, menyusul kebiasaannya merespons isu-isu itu di berbagai tempat, apakah di Istana,di bandara,atau di Cikeas.
Beban Politik
Karena sosoknya semakin terpusat dalam lingkaran arus komunikasi politik, SBY semakin menanggung banyak beban politik. Beban itu bertambah berat manakala soliditas internal Partai Demokrat bermasalah. Tidak mengherankan jika mencuatnya kasus Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin benar-benar menjadi ujian serius bagi SBY dan semua elite politik partai itu. Drama-drama politik belum hendak usai saat ini, tetapi diperkirakan akan terus menghangat, khususnya mendekati tahun kompetisi politik 2014.
Bagaimanapun SBY tetap turut menjadi aktor penting dalam menentukan sejarah masa depan kepemimpinan nasional ke depan.Karenanya, dia tetap menjadi faktor politik penting, jika pun popularitas politiknya menurun. Setiap presiden ingin masa pemerintahannya tidak berlalu begitu saja tanpa kesan.Kesankesan yang baik dari pemerintahan SBY, risikonya, akan segera tenggelam oleh hiruk-pikuk politik, manakala konflikkonflik politik semakin tak menentu. SBY berada dalam situasi yang tentu saja tidak hampa politik. Karenanya, dapat dipahami manakala SBY pun sering berkomentar tentang hal-hal yang berkenaan dengan politik praktis.
Tahun-Tahun Menentukan
Ketatnya kompetisi politik membuat tidak saja SBY dan Partai Demokrat, tetapi juga kekuatan-kekuatan politik lain. mengukur diri dan menyusun strategi yang tepat untuk menang.Namun para pendekar politik dihadapkan pada situasi itu. Setidaknya untuk SBY dan Partai Demokrat, saat ini merupakan tahun-tahun yang menentukan bagi masa depan politiknya. Sudah menjadi bahan analisis banyak pengamat bahwa faktor SBY sebagai magnet politik Partai Demokrat tergolong luar biasa.Tetapi setelah lengser dari posisinya sebagai presiden kelak, magnet politiknya diuji kembali: apakah semakin menguat atau melemah?
Tentu rumusnya ialah manakala publik lebih banyak bepersepsi pemerintah berhasil, magnetnya semakin kuat.Tetapi persepsi keberhasilan itu fluktuatif.Surveisurvei yang dilakukan beberapa lembaga belakangan cenderung mencatat kemerosotan popularitas. Ini merupakan sinyal yang harus dijawab dengan cerdas oleh SBY dan Partai Demokrat dalam waktu yang relatif pendek.●
M ALFAN ALFIAN
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
Sumber:http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/402478/
MEDIA KOMUNIKASI KOMUNITAS ALUMNI POLITEKNIK NEGERI LAMPUNG JURUSAN BUDIDAYA TANAMAN PERKEBUNAN.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Lowongan Kepala Afdeling
Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...
-
INCASI RAYA Group Kami perusahaan swasta nasional dengan areal 250.000 ha dengan alamat kantor pusat di Jl. Raya By Pass Km 6 Lubuk Begalung...
-
PT. Kirana Megatara ( subsidiary company of Triputra Group ) yang lokasi head office -nya berada di kawasan Lingkar Mega Kuningan, Jakart...
-
DIBUTUHKAN SEGERA ASISTEN WATER MANAGEMENT SYSTEM (WMS) Kualifikasi: Pria, Usia Maks 35 thn untuk yang sudah berpengalaman,...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya