Selasa, 24 Mei 2011

Pilu di Tengah Kebangkitan Hukum

Reformasi, entah merupakan sebuah improvisasi politik atau tidak, lahir bersamaan dengan perayaan Kebangkitan Nasional, 13 tahun lalu. Karena itu, tak berlebihan bila semangat reformasi sejatinya bukan sekadar beralih dari tatanan Orde Baru yang bercita rasa feodal ke tatanan baru yang bercita rasa transformatif, tetapi juga bangkit dari keterpurukan.



Moralitas ini berintikan kerinduan terhadap akuntabilitas penyelenggaraan urusan pemerintahan, termasuk urusan penegakan hukum. Terus terang ini pilihan berkelas, karena cerdas dan visible.

Moralitas inilah yang mengantarkan negara-negara Eropa menggenggam kebanggaan, menggapai kesejahteraan,dan mendemonstrasikan keadilan distributif. Hebatnya mereka tahu bahwa birokrasi yang tak akuntabel, baik dari sisi hukum maupun etika adalah pabrik korupsi.

Akuntabilitas

Mengagumkan kedua hal itu dilaksanakan secara nyata, tegas, dan bersamaan dalam menata tatanan birokrasi.Cara ini memang khas konstitusionalisme organik klasik. Oleh eksponen-eksponen ini, perubahan revolusioner atau evolusioner selalu bermakna tunggal; adanya kerinduan mempromosikan “akuntabilitas” baik legal maupun etika berpemerintahan.

Supaya bergema oleh eksponen- eksponen konstitusionalis klasik, kerinduan itu diwujudkan dengan cara menciptakan skema tambahan penyelenggaraan pemerintahan, tanpa mesti mengubah UUD. Penambahan skema prosedural penyelenggaraan pemerintahan dianggap sebagai langkah mutlak.

Sementara konstitusi positif diyakini sebagai fondasi terbaik dalam menyediakan skema normatif tentang kelembagaan negara. Cara pandang ini dianut sebagian eksponen konstitusionalisme Orde Baru, khususnya yang dominan.Karena dominasinya, konstitusionalis fungsional tak berdaya.

Akibatnya, rancangan Ketetapan MPRS tentang tambahan penjelasan UUD 1945 melayang, dan melayang pula rancangan Ketetapan MPRS tentang Piagam Hak Asasi Manusia, serta terkuburnya RUU tentang Peradilan Tata Usaha Negara.Adnan Buyung Nasution, Ismail Suny, dan Abdul Haris Nasution sekadar sebagai contoh harus meninggalkan gelanggang MPR sebelum waktunya.

Tak heran bila eksponeneksponen 1998 mengambil haluan khas konstitusionalis fungsional ketika kebangkitan itu datang.Presiden harus meletakkan jabatan, UUD harus diubah, skema penyelenggaraan Negara harus lebih akuntabel. Selain itu, jangkauan kewenangan juga harus dibuat jelas, harga diri anak bangsa harus dijamin dan dilindungi,dan KKN mesti dikerangkeng, serta pemuliaan hukum.

Intinya harus ada akuntabilitas dalam berbangsa dan bernegara.Dimensi etis pun dikembangkan dan diharapkan merasuk masuk ke relung hati, dan menjadi tabiat penyelenggara negara.

Tak Putus Harapan

Semangat untuk terus menghidupkan akuntabilitas dalam berpemerintahan dan penegakan hukum di era reformasi ini memang terus digelorakan. Tetapi, seperti merangkai angin,tak ada yang tak bisa mengelak bahwa hari-hari ini korupsi dan kolusi, dengan segala variannya, masih begitu mudah ditemukan.

Hingarbingar pemberantasan korupsi ternyata hanya menghasilkan indeks persepsi korupsi (IPK) republik tercinta ini berada pada level dua “terbaik”, di kawasan Asia-Tenggara. Mungkin memang pantas dibanggakan, tetapi level IPK ini juga jelas maknanya.

Maknanya adalah masih begitu tertatih- tatihnya akselerasi akuntabilitas di negeri ini.Seperti di alam feodalisme Orde Baru,semangat tempur melawan korupsi kini bagai ikan di tepi kematian. Tak heran bila suarasuara khas orang merana nan pilu begitu mudah dijumpai di hampir setiap sudut negeri ini, tatkala mereka diajak berbincang, sungguhpun alakadarnya, tentang pemberantasan korupsi.

Pasti bukan kerjaan mafia hukum, melainkan sungguh membingungkan membaca fenomena tak kunjung jelasnya persetujuan presiden untuk pemeriksaan sejumlah kepala daerah,yang disangka melakukan tindak pidana korupsi.Memang tidak membingungkan, tetapi sungguh sulit memahami rencana aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi yang mulai terwacanakan beberapa pekan ini.

Sama membingungkannya dengan menanti buah penuntasan kasus pajak, yang konon bertali-temali,seperti digelisahkan Bang Buyung beberapa waktu lalu. DPR yang tatkala UUD 1945 diubah, dirindukan menjadi organ terdepan dalam mempromosikan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan, tak disangka justru menjadi tempat curahan cemoohan publik.

Kasus dugaan suap di Kementerian Negara Pemuda dan Olah Raga, tentu bukan yang pertama, adalah nyanyian paling merdu hari-hari ini. Ironisnya belum lagi tuntas ceritanya, muncul nyanyian baru yang cukup memilukan. Betapa tidak, sejak November 2010 soal ini telah diberitahukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD kepada Ketua Dewan Pembina Demokrat (22 Mei).

Memang kasus ini pasti berakhir, entah memakan korban atau tidak, tetapi soal ini telanjur memunculkan multimakna di relung relung opini publik. Menyebalkan, konstitusionalisme Orde Reformasi dengan semangat bangkitnya akuntabilitas belum juga menghasilkan tatanan peradilan yang pantas dibanggakan.

Peradilan umum masih juga menakutkan, karena belum sepenuhnya imun dari hal-ihwal berbau uang dan penetrasi politik.Integritas hakim pun masih belum setara dengan integritas Mahfud MD dan Bismar Siregar misalnya. Sungguh memilukan konstitusionalisme fungsional, yang turut diproyeksikan oleh, ambil misalnya Mohammad Hatta, salah satu arsitek bangsa ini yang harum namanya, dan anggun perangainya ini, masih saja terasa bagai fatamorgana.

Kerinduannya terhadap tanggung jawab penyelenggara pemerintahan, yang terekam dalam buku lahirnya UUD 1945, RM AB Kusumah, seorang pengajar berdedikasi dari FH UI, juga sama, fatamorgana. Menggelikan, susah betul mengusahakan akuntabilitas dengan cara menegakkan hukum, khususnya pemberantasan korupsi selurus-lurusnya, secepat-cepatnya,dan setegastegasnya.

Susah betul mempromosikan etika ke segenap sudut kehidupan pemerintahan, politik, dan hukum di negeri ini.Kecuali mengatakan,anakanak bangsa ini masih akan terus merintih pilu,tak ada lagi kata tepat untuk semuanya ini. Namun, demi bangsa, sepilu apa pun rasanya semua itu, harapan untuk bangkit harus terus digelorakan.

● MARGARITO KAMIS Doktor Hukum Tata Negara, Staf Pengajar FH Universitas Khairun, Ternate

Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/401013/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...