Oleh: Ivan A Hadar
Tadi malam Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) baru saja melakukan konferensi pers terkait tanggapan atas rekomendasi Tim 8 yang telah disampaikan kepada Presiden seminggu sebelumnya.
Namun dapat kita lihat dari laporan live beberapa televisi, ternyata para pakar dan juga anggota Tim 8,pengacara maupun Chandra M Hamzah masih harus mengira-ngira arti jawaban Presiden SBY tersebut.Tampaknya ini harus dibuat lebih konkret agar rakyat tak menebak-nebak. Sebelumnya Ketua Tim 8 Adnan Buyung Nasution pernah mensinyalir ada skenario besar untuk menghancurkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Skenario yang didukung oleh (oknum) petinggi penegak hukum,pengacara, dan koruptor ini, menurutnya, makin kentara setelah mendalami kasus Bibit-Chandra dan kasus Antasari Azhar. Indikasinya, demikian Buyung,tampak dari rekayasa pemidanaan wakil ketua nonaktif KPK,Chandra dan Bibit. Indikasi adanya skenario besar semakin nyata setelah kesaksian Wiliardi Wizar.
Meskipun dibantah Kapolri, eks Kepala Kepolisian Resor Jakarta Selatan itu menyatakan, ada upaya petinggi kepolisian untuk menyeret ketua nonaktif KPK Antasari Azhar dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen. Melihat perkembangan terakhir, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mestinya segera bertindak sesuai usulan Tim 8, selain menyelesaikan kasus Chandra-Bibit, juga melakukan reformasi Polri dan Kejaksaan Agung (Kejagung). “Diminta atau tidak, Presiden harus tergerak hatinya”,kata Buyung kepada beberapa media.Tanpa itu, program antikorupsi yang dicanangkan kabinet baru bisa dianggap sekadar retorika.
Surutnya Semangat Antikorupsi
Penerima Nobel Perdamaian Oscar Arias Sanchez (2005) pernah memperingatkan, “Skandal-skandal korupsi yang berkepanjangan itu mengecewakan hati rakyat. Perlawanan rakyat, atau bahkan kudeta,dapat saja muncul kembali di beberapa negara. Partai-partai politik yang merupakan benteng utama sistem demokrasi sedang digoyang oleh kebobrokannya.
Tatkala partai-partai politik ditinggalkan rakyat,demokrasi menghadapi risiko menjadi suatu sistem yang lumpuh.” Peringatan Sanchez itu rasanya sangat tepat dengan capaian pemberantasan korupsi di Indonesia. Meski rezim Soeharto yang melakukan megakorupsi berhasil ditumbangkan oleh gerakan Reformasi, korupsi masih menjadi “virus”perusak utama negeri ini. Menurut survei Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM (Juli 2009), 2005 adalah “tahun emas” realisasi komitmen Presiden SBY periode 2004–2009 dalam memberantas korupsi.
Tahun emas pemberantasan korupsi itu ditandai dengan keluarnya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi di pengujung Desember 2004. Saat itu terlihat semangat Presiden SBY yang luar biasa hingga keluar pernyataannya untuk memimpin sendiri secara langsung pemberantasan korupsi. Sayangnya, sejak 2007 semangat pemberantasan korupsi itu mengalami penurunan drastis yang bertahan hingga 2009.
Kian surutnya semangat pemberantasan korupsi oleh pemerintah ditengarai karena adanya tarik ulur kepentingan politik menjelang pemilihan umum.Kondisi tersebut terlihat kian membahayakan karena dalam menyusun kabinetnya,SBY tidak mendasarkan pada akuntabilitas, akseptabilitas, dan kapabilitas para calon menteri.
Gerakan Antikorupsi
Saat ini, tiga ancaman utama Indonesia adalah kemiskinan, kerusakan lingkungan, dan konflik SARA.Selain merupakan dampak langsung tatanan ekonomi-politik yang tidak adil dan bernuansa kekerasan, ancaman itu berkorelasi dengan perilaku koruptif (tidak saja) para elite bangsa. Per definisi, korupsi berasal dari kata Latin rumpere, berarti melanggar, khususnya melanggar tata cara berperilaku terpuji dan aturan birokrasi.
Seseorang dikatakan melakukan tindakan korupsi ketika, dalam melanggar aturan, dia sendiri, keluarga, kerabat, suku, dan kelompok sosial pilihannya memperoleh imbalan materiil maupun fasilitas. Deskripsi sederhana tentang korupsi itu sekaligus menunjuk berbagai kesulitan pemberantasannya, yang tak jarang bersifat dilematis. Pertama, untuk membuktikan telah terjadi korupsi dibutuhkan perangkat hukum yang terperinci.
Tanpa itu, terbuka lebar peluang penafsiran hukum yang pada gilirannya memperbesar godaan untuk, misalnya, menerapkan pungutan kepada masyarakat dengan seenaknya. Namun, pada saat sama, kian banyak aturan bisa berarti kian besar kekuasaan birokrasi sehingga kian besar peluang pungutan liar. Kedua, kian erat hubungan sosial sebuah masyarakat kian sulit membuktikan praktik korupsi.
Seorang pejabat yang memberi proyek kepada seorang pengusaha dengan memperoleh imbalan tertentu bisa dijerat dengan tuduhan korupsi. Namun, akan sulit dibuktikan bila imbalan atas jasanya itu diperoleh dalam bentuk sumbangan, hadiah, atau lowongan kerja bagi anaknya. Suap-menyuap untuk memperoleh kemudahan birokrasi dengan demikian tidak harus terjadi secara langsung dan terbuka.
Mungkin karena itu,ada ketentuan di Malaysia, pejabat pemerintah dilarang menerima hadiah apa pun dari masyarakat, apalagi dari pengusaha. Ketiga, dalam masyarakat dengan pola hubungan perkerabatan seperti masyarakat Indonesia, boleh jadi tidak realistis menuntut seorang pejabat agar berperilaku berjarak terhadap keluarga, kerabat, suku, dan seterusnya. Sang pejabat yang berperilaku berjarak akan dinilai tak bermoral karena melupakan akar rumput, kerabat, dan daerahnya.
Pemberantasan korupsi harus dilakukan simultan, lewat tindakan kuratif atau penegakan hukum, preventif, dan preservatif.Tindakan preventif dimaksudkan guna mencegah internalisasi sikap permisif atas tindak koruptif, sementara upaya preservatif guna memberi perlindungan dan kemampuan resistensi bagi individu atau elemen sosial yang sudah menyerap nilai-nilai antikorupsi. Tindakan kuratif yang urgen saat ini adalah membongkar kemungkinan adanya “skenario besar” pelemahan KPK.
Semoga rekomendasi Tim 8 bisa menggerakkan nurani SBY untuk berdiri paling depan dalam menangani hal ini. Sementara tindakan preventif dan preservatif akan terlaksana antara lain dengan melaksanakan pendidikan antikorupsi. Mengambil momentum saat ini, hal itu bisa menjadi wacana perubahan kurikulum di Tanah Air.Pengubahan kurikulum selain berkait dengan tuntutan agar lebih memberi penekanan pada penguatan daya nalar dan analisis, idealnya mempromosikan nilai-nilai kejujuran, toleransi, dan sikap tidak mudah menyerah demi kebaikan.
Nilai-nilai yang ditengarai kian tergerus oleh perilaku koruptif, konsumtif, dan permisif. Harapan kita,“kasus KPK”bisa menjadi momentum kebangkitan kembali nilai-nilai tersebut.Pendidikan dengan kurikulum demikian disepakati sebagai bentuk persiapan kehidupan.Filsuf kondang Jerman Peter Sloterdijk (1994) mengatakan, kebijakan masa depan suatu bangsa sebagian besar tergantung pada fungsi visioner dan profetik kaum terpelajarnya.
Untuk saat ini, dibutuhkan langkah proaktif Presiden SBY untuk memimpin gerakan antikorupsi secara holistis.Gerakan ini dipastikan didukung masyarakat luas.Tanpa itu, gerakan antikorupsi berkembang menjadi semata gerakan dari rakyat yang bisa menjadi bumerang bagi pemerintah.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/286234/
Ivan A Hadar
Wapemred Jurnal Sosdem,
Pemerhati Sosial-Ekonomi
Tadi malam Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) baru saja melakukan konferensi pers terkait tanggapan atas rekomendasi Tim 8 yang telah disampaikan kepada Presiden seminggu sebelumnya.
Namun dapat kita lihat dari laporan live beberapa televisi, ternyata para pakar dan juga anggota Tim 8,pengacara maupun Chandra M Hamzah masih harus mengira-ngira arti jawaban Presiden SBY tersebut.Tampaknya ini harus dibuat lebih konkret agar rakyat tak menebak-nebak. Sebelumnya Ketua Tim 8 Adnan Buyung Nasution pernah mensinyalir ada skenario besar untuk menghancurkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Skenario yang didukung oleh (oknum) petinggi penegak hukum,pengacara, dan koruptor ini, menurutnya, makin kentara setelah mendalami kasus Bibit-Chandra dan kasus Antasari Azhar. Indikasinya, demikian Buyung,tampak dari rekayasa pemidanaan wakil ketua nonaktif KPK,Chandra dan Bibit. Indikasi adanya skenario besar semakin nyata setelah kesaksian Wiliardi Wizar.
Meskipun dibantah Kapolri, eks Kepala Kepolisian Resor Jakarta Selatan itu menyatakan, ada upaya petinggi kepolisian untuk menyeret ketua nonaktif KPK Antasari Azhar dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen. Melihat perkembangan terakhir, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mestinya segera bertindak sesuai usulan Tim 8, selain menyelesaikan kasus Chandra-Bibit, juga melakukan reformasi Polri dan Kejaksaan Agung (Kejagung). “Diminta atau tidak, Presiden harus tergerak hatinya”,kata Buyung kepada beberapa media.Tanpa itu, program antikorupsi yang dicanangkan kabinet baru bisa dianggap sekadar retorika.
Surutnya Semangat Antikorupsi
Penerima Nobel Perdamaian Oscar Arias Sanchez (2005) pernah memperingatkan, “Skandal-skandal korupsi yang berkepanjangan itu mengecewakan hati rakyat. Perlawanan rakyat, atau bahkan kudeta,dapat saja muncul kembali di beberapa negara. Partai-partai politik yang merupakan benteng utama sistem demokrasi sedang digoyang oleh kebobrokannya.
Tatkala partai-partai politik ditinggalkan rakyat,demokrasi menghadapi risiko menjadi suatu sistem yang lumpuh.” Peringatan Sanchez itu rasanya sangat tepat dengan capaian pemberantasan korupsi di Indonesia. Meski rezim Soeharto yang melakukan megakorupsi berhasil ditumbangkan oleh gerakan Reformasi, korupsi masih menjadi “virus”perusak utama negeri ini. Menurut survei Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM (Juli 2009), 2005 adalah “tahun emas” realisasi komitmen Presiden SBY periode 2004–2009 dalam memberantas korupsi.
Tahun emas pemberantasan korupsi itu ditandai dengan keluarnya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi di pengujung Desember 2004. Saat itu terlihat semangat Presiden SBY yang luar biasa hingga keluar pernyataannya untuk memimpin sendiri secara langsung pemberantasan korupsi. Sayangnya, sejak 2007 semangat pemberantasan korupsi itu mengalami penurunan drastis yang bertahan hingga 2009.
Kian surutnya semangat pemberantasan korupsi oleh pemerintah ditengarai karena adanya tarik ulur kepentingan politik menjelang pemilihan umum.Kondisi tersebut terlihat kian membahayakan karena dalam menyusun kabinetnya,SBY tidak mendasarkan pada akuntabilitas, akseptabilitas, dan kapabilitas para calon menteri.
Gerakan Antikorupsi
Saat ini, tiga ancaman utama Indonesia adalah kemiskinan, kerusakan lingkungan, dan konflik SARA.Selain merupakan dampak langsung tatanan ekonomi-politik yang tidak adil dan bernuansa kekerasan, ancaman itu berkorelasi dengan perilaku koruptif (tidak saja) para elite bangsa. Per definisi, korupsi berasal dari kata Latin rumpere, berarti melanggar, khususnya melanggar tata cara berperilaku terpuji dan aturan birokrasi.
Seseorang dikatakan melakukan tindakan korupsi ketika, dalam melanggar aturan, dia sendiri, keluarga, kerabat, suku, dan kelompok sosial pilihannya memperoleh imbalan materiil maupun fasilitas. Deskripsi sederhana tentang korupsi itu sekaligus menunjuk berbagai kesulitan pemberantasannya, yang tak jarang bersifat dilematis. Pertama, untuk membuktikan telah terjadi korupsi dibutuhkan perangkat hukum yang terperinci.
Tanpa itu, terbuka lebar peluang penafsiran hukum yang pada gilirannya memperbesar godaan untuk, misalnya, menerapkan pungutan kepada masyarakat dengan seenaknya. Namun, pada saat sama, kian banyak aturan bisa berarti kian besar kekuasaan birokrasi sehingga kian besar peluang pungutan liar. Kedua, kian erat hubungan sosial sebuah masyarakat kian sulit membuktikan praktik korupsi.
Seorang pejabat yang memberi proyek kepada seorang pengusaha dengan memperoleh imbalan tertentu bisa dijerat dengan tuduhan korupsi. Namun, akan sulit dibuktikan bila imbalan atas jasanya itu diperoleh dalam bentuk sumbangan, hadiah, atau lowongan kerja bagi anaknya. Suap-menyuap untuk memperoleh kemudahan birokrasi dengan demikian tidak harus terjadi secara langsung dan terbuka.
Mungkin karena itu,ada ketentuan di Malaysia, pejabat pemerintah dilarang menerima hadiah apa pun dari masyarakat, apalagi dari pengusaha. Ketiga, dalam masyarakat dengan pola hubungan perkerabatan seperti masyarakat Indonesia, boleh jadi tidak realistis menuntut seorang pejabat agar berperilaku berjarak terhadap keluarga, kerabat, suku, dan seterusnya. Sang pejabat yang berperilaku berjarak akan dinilai tak bermoral karena melupakan akar rumput, kerabat, dan daerahnya.
Pemberantasan korupsi harus dilakukan simultan, lewat tindakan kuratif atau penegakan hukum, preventif, dan preservatif.Tindakan preventif dimaksudkan guna mencegah internalisasi sikap permisif atas tindak koruptif, sementara upaya preservatif guna memberi perlindungan dan kemampuan resistensi bagi individu atau elemen sosial yang sudah menyerap nilai-nilai antikorupsi. Tindakan kuratif yang urgen saat ini adalah membongkar kemungkinan adanya “skenario besar” pelemahan KPK.
Semoga rekomendasi Tim 8 bisa menggerakkan nurani SBY untuk berdiri paling depan dalam menangani hal ini. Sementara tindakan preventif dan preservatif akan terlaksana antara lain dengan melaksanakan pendidikan antikorupsi. Mengambil momentum saat ini, hal itu bisa menjadi wacana perubahan kurikulum di Tanah Air.Pengubahan kurikulum selain berkait dengan tuntutan agar lebih memberi penekanan pada penguatan daya nalar dan analisis, idealnya mempromosikan nilai-nilai kejujuran, toleransi, dan sikap tidak mudah menyerah demi kebaikan.
Nilai-nilai yang ditengarai kian tergerus oleh perilaku koruptif, konsumtif, dan permisif. Harapan kita,“kasus KPK”bisa menjadi momentum kebangkitan kembali nilai-nilai tersebut.Pendidikan dengan kurikulum demikian disepakati sebagai bentuk persiapan kehidupan.Filsuf kondang Jerman Peter Sloterdijk (1994) mengatakan, kebijakan masa depan suatu bangsa sebagian besar tergantung pada fungsi visioner dan profetik kaum terpelajarnya.
Untuk saat ini, dibutuhkan langkah proaktif Presiden SBY untuk memimpin gerakan antikorupsi secara holistis.Gerakan ini dipastikan didukung masyarakat luas.Tanpa itu, gerakan antikorupsi berkembang menjadi semata gerakan dari rakyat yang bisa menjadi bumerang bagi pemerintah.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/286234/
Ivan A Hadar
Wapemred Jurnal Sosdem,
Pemerhati Sosial-Ekonomi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya