Oleh: Mukti Fajar ND
CSR yang selama ini dilakukan oleh korporasi, mendasarkan pada prinsip sukarela (voluntary) dan kedermawanan (philantrophy), dianggap tidak efektif. Demikian kegelisahan yang disampaikan Sekretaris Jenderal PBB dalam pertemuan Global Compact di Geneva, Swiss. Korporasi dianggap tidak mempunyai kepedulian terhadap persoalan sosial seperti lingkungan hidup, hak asasi manusia, dan community development.
Hal itu terbukti dengan meningkatnya krisis pemanasan global, ketimpangan ekonomi (extreme poverty), mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, serta persoalan sosial lainnya. Demikian pula di Indonesia, pengaturan kewajiban tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibilty/CSR) dalam Undang-Undang (UU) Perseroan Terbatas dan UU Penanaman Modal justru banyak ditentang banyak korporat.
Perdebatan klasik itu dikarenakan, pertama, mengenai hakikat korporasi dan, kedua, mengenai penegakan hukumnya.
Secara nature, korporasi didirikan untuk memaksimalisasi keuntungan, bukannya untuk melakukan perbuatan amal. Pendapat ini disampaikan Milton Friedman, seorang peraih nobel bidang ekonomi. "Satu-satunya tanggung jawab korporasi adalah kepada shareholder,… menyalurkan kekayaan korporasi kepada masyarakat justru merupakan tindakan amoral korporasi" (Joel Bakan, 2006). Artinya, CSR merupakan pengkhianatan terhadap hak pemegang saham.
Dengan konstruksi hukum perusahaan yang ada sekarang, memang sulit untuk mengubah perilaku mereka. Walaupun kita bisa saksikan, korporasi dilahirkan untuk menjadi spesies yang rakus, tamak, dan hanya memikirkan dirinya sendiri.
Status badan hukum yang disandang membuat dirinya tidak bisa mati (kecuali bangkrut) dan terus mengeksploitasi berbagai sumber daya yang ada hingga semuanya menjadi sampah dan sepah. Tanggung jawab terbatas pemegang saham (limited liability) memungkinkan korporasi untuk menangguk keuntungan tanpa batas. Namun ketika berhadapan dengan persoalan, mereka hanya bertanggung jawab sebatas modal. Masih ingat kisah tanggung jawab Lapindo Brantas Inc terhadap masyarakat Sidoarjo, Jawa Timur, kan? Bukti adanya kegagalan sistemik yang diciptakan hukum perusahaan dalam menciptakan ketidakadilan secara legal.
Korporasi yang dibentuk dalam sebuah wilayah hukum seharusnya mengabdi pada kepentingan masyarakat di mana hukum itu ada. Oleh karena itu, perlu dibongkar kembali (Gary von Stage, 1994). Pembentukan hukum korporasi yang baru harus memberikan ruang bagi terciptanya keadilan sosial. Aset yang dimiliki korporasi tidak hanya menjadi milik pribadi, tetapi harus digunakan untuk memberikan kemanfaatan umum, khususnya bagi kaum yang paling tidak beruntung (John Rawls, 1995).
Masyarakat mempunyai hak atas keuntungan yang didapat oleh korporasi karena masyarakat sesungguhnya "pemegang saham" bagi sebuah wilayah hukum yang dijadikan operasi korporasi. Perluasan tafsir atas Pasal 304 KUHP tentang "membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara..." dapat pula diterapkan sanksi pidana bagi korporasi yang mempunyai kekayaan berlebih tetapi menelantarkan masyarakat di sekitarnya dalam kesulitan.
Dengan paradigma tersebut, CSR akan mendapatkan tempat yang terhormat dalam hukum perusahaan.
Ruang lingkup isu-isu dalam CSR memang tidak bisa dibatasi hanya pada teritorial negara karena dampak negatif yang diakibatkan operasi korporat bersifat global, seperti lingkungan hidup dan hak asasi manusia. Persoalan penegakan hukum internasional mempunyai kelemahan karena tidak adanya struktur hukum sebagai otoritas yang dibangun untuk melaksanakannya.
Perjanjian internasional hanya berjalan efektif ketika semua negara sepakat di dalamnya. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sebagai organisasi raksasa yang diikuti hampir seluruh negara di dunia sampai hari ini berdalih hanya akan mengatur negara, bukan korporasi.
Alotnya pihak Amerika Serikat untuk menandatangani pengurangan emisi karbon, demi menekan pemanasan global dengan Uni Eropa, adalah bentuk pembelotan dan mungkin akan diikuti negara lain, yang akan dirugikan industrinya jika menandatangani kesepakatan tersebut.
Namun, bentuk soft law, seperti OECD Guidelines for Multinational Enterprises, yang digagas dalam World Summit on Sustainable Development on CSR dapat dijadikan rujukan (Calder & Culverwell, 2005).
Penerapan sertifikasi bagi korporasi yang memberikan produk yang ramah lingkungan, memerhatikan kehidupan yang layak bagi buruh, dan peduli terhadap community development adalah acuan bagi sebuah negara yang akan menerima kehadiran korporasi untuk beroperasi di wilayahnya.
Menolak kehadiran korporasi yang mempunyai daftar hitam adalah tindakan yang bijak dan baik untuk kemanusiaan daripada perhitungan keuntungan sesaat. Walau kadang sulit sebab korporasi lihai menyuap penjabat negara setempat untuk mendapat izin beroperasi.
URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0708/15/opini/3763353.htm
Mukti Fajar ND Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
CSR yang selama ini dilakukan oleh korporasi, mendasarkan pada prinsip sukarela (voluntary) dan kedermawanan (philantrophy), dianggap tidak efektif. Demikian kegelisahan yang disampaikan Sekretaris Jenderal PBB dalam pertemuan Global Compact di Geneva, Swiss. Korporasi dianggap tidak mempunyai kepedulian terhadap persoalan sosial seperti lingkungan hidup, hak asasi manusia, dan community development.
Hal itu terbukti dengan meningkatnya krisis pemanasan global, ketimpangan ekonomi (extreme poverty), mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, serta persoalan sosial lainnya. Demikian pula di Indonesia, pengaturan kewajiban tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibilty/CSR) dalam Undang-Undang (UU) Perseroan Terbatas dan UU Penanaman Modal justru banyak ditentang banyak korporat.
Perdebatan klasik itu dikarenakan, pertama, mengenai hakikat korporasi dan, kedua, mengenai penegakan hukumnya.
Secara nature, korporasi didirikan untuk memaksimalisasi keuntungan, bukannya untuk melakukan perbuatan amal. Pendapat ini disampaikan Milton Friedman, seorang peraih nobel bidang ekonomi. "Satu-satunya tanggung jawab korporasi adalah kepada shareholder,… menyalurkan kekayaan korporasi kepada masyarakat justru merupakan tindakan amoral korporasi" (Joel Bakan, 2006). Artinya, CSR merupakan pengkhianatan terhadap hak pemegang saham.
Dengan konstruksi hukum perusahaan yang ada sekarang, memang sulit untuk mengubah perilaku mereka. Walaupun kita bisa saksikan, korporasi dilahirkan untuk menjadi spesies yang rakus, tamak, dan hanya memikirkan dirinya sendiri.
Status badan hukum yang disandang membuat dirinya tidak bisa mati (kecuali bangkrut) dan terus mengeksploitasi berbagai sumber daya yang ada hingga semuanya menjadi sampah dan sepah. Tanggung jawab terbatas pemegang saham (limited liability) memungkinkan korporasi untuk menangguk keuntungan tanpa batas. Namun ketika berhadapan dengan persoalan, mereka hanya bertanggung jawab sebatas modal. Masih ingat kisah tanggung jawab Lapindo Brantas Inc terhadap masyarakat Sidoarjo, Jawa Timur, kan? Bukti adanya kegagalan sistemik yang diciptakan hukum perusahaan dalam menciptakan ketidakadilan secara legal.
Korporasi yang dibentuk dalam sebuah wilayah hukum seharusnya mengabdi pada kepentingan masyarakat di mana hukum itu ada. Oleh karena itu, perlu dibongkar kembali (Gary von Stage, 1994). Pembentukan hukum korporasi yang baru harus memberikan ruang bagi terciptanya keadilan sosial. Aset yang dimiliki korporasi tidak hanya menjadi milik pribadi, tetapi harus digunakan untuk memberikan kemanfaatan umum, khususnya bagi kaum yang paling tidak beruntung (John Rawls, 1995).
Masyarakat mempunyai hak atas keuntungan yang didapat oleh korporasi karena masyarakat sesungguhnya "pemegang saham" bagi sebuah wilayah hukum yang dijadikan operasi korporasi. Perluasan tafsir atas Pasal 304 KUHP tentang "membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara..." dapat pula diterapkan sanksi pidana bagi korporasi yang mempunyai kekayaan berlebih tetapi menelantarkan masyarakat di sekitarnya dalam kesulitan.
Dengan paradigma tersebut, CSR akan mendapatkan tempat yang terhormat dalam hukum perusahaan.
Ruang lingkup isu-isu dalam CSR memang tidak bisa dibatasi hanya pada teritorial negara karena dampak negatif yang diakibatkan operasi korporat bersifat global, seperti lingkungan hidup dan hak asasi manusia. Persoalan penegakan hukum internasional mempunyai kelemahan karena tidak adanya struktur hukum sebagai otoritas yang dibangun untuk melaksanakannya.
Perjanjian internasional hanya berjalan efektif ketika semua negara sepakat di dalamnya. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sebagai organisasi raksasa yang diikuti hampir seluruh negara di dunia sampai hari ini berdalih hanya akan mengatur negara, bukan korporasi.
Alotnya pihak Amerika Serikat untuk menandatangani pengurangan emisi karbon, demi menekan pemanasan global dengan Uni Eropa, adalah bentuk pembelotan dan mungkin akan diikuti negara lain, yang akan dirugikan industrinya jika menandatangani kesepakatan tersebut.
Namun, bentuk soft law, seperti OECD Guidelines for Multinational Enterprises, yang digagas dalam World Summit on Sustainable Development on CSR dapat dijadikan rujukan (Calder & Culverwell, 2005).
Penerapan sertifikasi bagi korporasi yang memberikan produk yang ramah lingkungan, memerhatikan kehidupan yang layak bagi buruh, dan peduli terhadap community development adalah acuan bagi sebuah negara yang akan menerima kehadiran korporasi untuk beroperasi di wilayahnya.
Menolak kehadiran korporasi yang mempunyai daftar hitam adalah tindakan yang bijak dan baik untuk kemanusiaan daripada perhitungan keuntungan sesaat. Walau kadang sulit sebab korporasi lihai menyuap penjabat negara setempat untuk mendapat izin beroperasi.
URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0708/15/opini/3763353.htm
Mukti Fajar ND Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya