Oleh: Hendardi
Langkah yang tepat jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan pemberantasan mafia hukum dalam prioritas pertama dari 15 program pilihan 100 hari pemerintahannya.
Prioritas itu disampaikan Presiden Yudhoyono tanggal 5 November lalu menyusul ledakan kontroversi kasus Bibit dan Chandra—dua unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)—yang disangka melakukan pemerasan dan penyalahgunaan wewenang oleh Markas Besar (Mabes) Polri.
Operasi mafia
Banyak elemen masyarakat sudah muak dengan maraknya korupsi, suap, dan pemerasan yang melumuri penegak hukum dan pengadilan. Belakangan merebak konflik antara KPK yang dibentuk tahun 2002 dengan Mabes Polri dan Kejaksaan Agung sehingga Presiden mengakui keberadaan jaringan mafia dalam penegakan hukum.
Presiden menyebut mafia yang memetik keuntungan ilegal itu terdiri atas makelar kasus, suap-menyuap, pemerasan, jual-beli perkara, mengancam saksi, mengancam pihak-pihak lain, dan pungutan liar (pungli), yang merusak rasa keadilan dan mengakibatkan kerugian material bagi mereka yang menjadi korban.
Sebelumnya kita mengenal ”mafia peradilan” yang telah membusukkan lembaga-lembaga penegak hukum dan sistem peradilan pidana di Indonesia. Polisi, jaksa, dan hakim yang kotor adalah tiga ujung tombak yang menodai citra dan moralitas institusinya.
Meski demikian, masih banyak polisi, jaksa, dan hakim yang bersih, mematuhi hukum dan kode etik profesi. Namun, persoalan yang pokok adalah bahwa jaringan ”mafia peradilan” telah berakar kuat—puluhan tahun tertanam—yang beroperasi dalam sistem peradilan pidana, terutama melibatkan pimpinan institusi penegak hukum dan pengadilan.
Beberapa tahun lalu ada lelucon, katanya, ”banyak kasus korupsi tanpa koruptor”. Hal itu muncul dalam silang pendapat antara seorang anggota DPR dan mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh terkait ungkapan ”ustaz di kampung maling”. Atau ungkapan populer ”kasih uang habis perkara” (KUHP).
Maraknya korupsi, bahkan dugaan ”desentralisasi korupsi” yang menyebar jauh, juga menyulitkan proses perbaikan lembaga penegak hukum dan pengadilan. Karena itu, kesempatan memupuk kekayaan pribadi berkembang bersamaan dengan kesempatan penguatan ”mafia peradilan”, termasuk beroperasinya makelar kasus, pemerasan, jual-beli perkara, dan pungli. Beroperasinya jaringan ”mafia peradilan” itu diakui bersifat sistemik—setiap oknum tahu sama tahu—sehingga menyumbat keadilan. Presiden juga mengungkapkan, mafia hukum bisa terjadi di kepolisian, kejaksaan, pengadilan, KPK, departemen, instansi pajak, bea cukai, dan di daerah.
Pembasmian
Prioritas program pemerintah yang berniat membasmi mafia hukum patut disambut meski belum ada langkah-langkah nyata. Dari upaya itu, telah disiapkan baru PO Box 9948 Jakarta 10000 dengan kode GM yang dapat digunakan oleh mereka yang menjadi korban ”mafia peradilan”.
Momentum itu tak lepas dari kontroversi kasus Bibit-Chandra, termasuk dukungan yang kian besar dari berbagai daerah terhadap KPK. Boleh jadi, hal ini juga menjadi pelajaran berharga bagi Mabes Polri dan Kejagung.
Meski demikian, basmi atau ganyang mafia hukum membutuhkan langkah nyata dan berani dari pemerintah.
Pertama, dibutuhkan revisi UU Antikorupsi dengan memasukkan prinsip pembuktian terbalik agar mempermudah pemeriksaan kekayaan pribadi seorang pejabat dan petugas penegak hukum dan pengadilan.
Kedua, lembaga kepolisian, kejaksaan, dan KPK harus dibersihkan dari jaringan mafia hukum. Memang tak terelakkan kesan, KPK dibentuk dengan mengambil lahan kepolisian dan kejaksaan sehingga hubungan ketiga lembaga ini kurang harmonis. Sudah seharusnya mereka bekerja sama lebih efektif untuk memberantas korupsi.
Ketiga, mereka yang diduga terlibat praktik mafia hukum harus ditindak tanpa pandang bulu. Ini penting agar tak berkembang menjadi pertikaian antarlembaga. Untuk itu, pertama-tama yang bersangkutan harus didudukkan sebagai oknum yang menodai citra lembaga.
Keempat, mutlak dibutuhkan pengawasan atas operasi lembaga penegak hukum dan pengadilan. Sekarang sudah ada Komisi Yudisial (KY) yang mengawasi perilaku hakim; juga ada Komisi Kepolisian Nasional untuk menyoroti perilaku polisi; serta Komisi Kejaksaan untuk mengawasi kejaksaan. Karena itu, juga perlu dibentuk badan yang mengawasi perilaku KPK.
Di antara lembaga-lembaga itu, yang lebih aktif hanya KY. Berdasar riset KY yang dilakukan tahun 2006, hampir 90 persen hakim dinyatakan bermasalah terkait korupsi. Dan hingga kini Komisi Kepolisian Nasional dan Komisi Kejaksaan belum ada laporan riset terkait perilaku kedua lembaga penegak hukum itu.
Kelima, tak boleh diabaikan pentingnya partisipasi organisasi dan elemen di masyarakat dalam membasmi mafia hukum. Hal ini terlihat selama beberapa pekan ini, dengan meningkatnya dukungan kepada KPK dari facebookers yang diperkirakan sudah lebih dari satu juta.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/12/02284746/basmi.mafia.hukum
HENDARDI
Ketua Badan Pengurus Setara Institute
Langkah yang tepat jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan pemberantasan mafia hukum dalam prioritas pertama dari 15 program pilihan 100 hari pemerintahannya.
Prioritas itu disampaikan Presiden Yudhoyono tanggal 5 November lalu menyusul ledakan kontroversi kasus Bibit dan Chandra—dua unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)—yang disangka melakukan pemerasan dan penyalahgunaan wewenang oleh Markas Besar (Mabes) Polri.
Operasi mafia
Banyak elemen masyarakat sudah muak dengan maraknya korupsi, suap, dan pemerasan yang melumuri penegak hukum dan pengadilan. Belakangan merebak konflik antara KPK yang dibentuk tahun 2002 dengan Mabes Polri dan Kejaksaan Agung sehingga Presiden mengakui keberadaan jaringan mafia dalam penegakan hukum.
Presiden menyebut mafia yang memetik keuntungan ilegal itu terdiri atas makelar kasus, suap-menyuap, pemerasan, jual-beli perkara, mengancam saksi, mengancam pihak-pihak lain, dan pungutan liar (pungli), yang merusak rasa keadilan dan mengakibatkan kerugian material bagi mereka yang menjadi korban.
Sebelumnya kita mengenal ”mafia peradilan” yang telah membusukkan lembaga-lembaga penegak hukum dan sistem peradilan pidana di Indonesia. Polisi, jaksa, dan hakim yang kotor adalah tiga ujung tombak yang menodai citra dan moralitas institusinya.
Meski demikian, masih banyak polisi, jaksa, dan hakim yang bersih, mematuhi hukum dan kode etik profesi. Namun, persoalan yang pokok adalah bahwa jaringan ”mafia peradilan” telah berakar kuat—puluhan tahun tertanam—yang beroperasi dalam sistem peradilan pidana, terutama melibatkan pimpinan institusi penegak hukum dan pengadilan.
Beberapa tahun lalu ada lelucon, katanya, ”banyak kasus korupsi tanpa koruptor”. Hal itu muncul dalam silang pendapat antara seorang anggota DPR dan mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh terkait ungkapan ”ustaz di kampung maling”. Atau ungkapan populer ”kasih uang habis perkara” (KUHP).
Maraknya korupsi, bahkan dugaan ”desentralisasi korupsi” yang menyebar jauh, juga menyulitkan proses perbaikan lembaga penegak hukum dan pengadilan. Karena itu, kesempatan memupuk kekayaan pribadi berkembang bersamaan dengan kesempatan penguatan ”mafia peradilan”, termasuk beroperasinya makelar kasus, pemerasan, jual-beli perkara, dan pungli. Beroperasinya jaringan ”mafia peradilan” itu diakui bersifat sistemik—setiap oknum tahu sama tahu—sehingga menyumbat keadilan. Presiden juga mengungkapkan, mafia hukum bisa terjadi di kepolisian, kejaksaan, pengadilan, KPK, departemen, instansi pajak, bea cukai, dan di daerah.
Pembasmian
Prioritas program pemerintah yang berniat membasmi mafia hukum patut disambut meski belum ada langkah-langkah nyata. Dari upaya itu, telah disiapkan baru PO Box 9948 Jakarta 10000 dengan kode GM yang dapat digunakan oleh mereka yang menjadi korban ”mafia peradilan”.
Momentum itu tak lepas dari kontroversi kasus Bibit-Chandra, termasuk dukungan yang kian besar dari berbagai daerah terhadap KPK. Boleh jadi, hal ini juga menjadi pelajaran berharga bagi Mabes Polri dan Kejagung.
Meski demikian, basmi atau ganyang mafia hukum membutuhkan langkah nyata dan berani dari pemerintah.
Pertama, dibutuhkan revisi UU Antikorupsi dengan memasukkan prinsip pembuktian terbalik agar mempermudah pemeriksaan kekayaan pribadi seorang pejabat dan petugas penegak hukum dan pengadilan.
Kedua, lembaga kepolisian, kejaksaan, dan KPK harus dibersihkan dari jaringan mafia hukum. Memang tak terelakkan kesan, KPK dibentuk dengan mengambil lahan kepolisian dan kejaksaan sehingga hubungan ketiga lembaga ini kurang harmonis. Sudah seharusnya mereka bekerja sama lebih efektif untuk memberantas korupsi.
Ketiga, mereka yang diduga terlibat praktik mafia hukum harus ditindak tanpa pandang bulu. Ini penting agar tak berkembang menjadi pertikaian antarlembaga. Untuk itu, pertama-tama yang bersangkutan harus didudukkan sebagai oknum yang menodai citra lembaga.
Keempat, mutlak dibutuhkan pengawasan atas operasi lembaga penegak hukum dan pengadilan. Sekarang sudah ada Komisi Yudisial (KY) yang mengawasi perilaku hakim; juga ada Komisi Kepolisian Nasional untuk menyoroti perilaku polisi; serta Komisi Kejaksaan untuk mengawasi kejaksaan. Karena itu, juga perlu dibentuk badan yang mengawasi perilaku KPK.
Di antara lembaga-lembaga itu, yang lebih aktif hanya KY. Berdasar riset KY yang dilakukan tahun 2006, hampir 90 persen hakim dinyatakan bermasalah terkait korupsi. Dan hingga kini Komisi Kepolisian Nasional dan Komisi Kejaksaan belum ada laporan riset terkait perilaku kedua lembaga penegak hukum itu.
Kelima, tak boleh diabaikan pentingnya partisipasi organisasi dan elemen di masyarakat dalam membasmi mafia hukum. Hal ini terlihat selama beberapa pekan ini, dengan meningkatnya dukungan kepada KPK dari facebookers yang diperkirakan sudah lebih dari satu juta.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/12/02284746/basmi.mafia.hukum
HENDARDI
Ketua Badan Pengurus Setara Institute
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya