Oleh: Prof Dr Jusuf
Dalam upaya penegakan hukum di Indonesia telah terjadi benturan antarlembaga penegak hukum.Benturan itu diawali dengan testimoni Antasari Azhar di hadapan penyidik Polri yang menyatakan adanya dugaan tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan petinggi KPK.
Dari data tersebut,Polri menindaklanjuti dengan melakukan penyidikan terhadap dugaan penyalahgunaan wewenang yang berujung pada penahanan yang bersangkutan. Tindakan penahanan terhadap oknum pimpinan KPK nonaktif tersebut yang dilaksanakan oleh Bareskrim Polri telah direspons masyarakat ke ranah politik melalui satu bentuk pressure group. Bentuknya antara lain dengan aksi unjuk rasa dan gerakan dukungan massa yang diidentikkan dengan gerakan mendukung KPK, tidak hanya secara fisik, tetapi juga melalui gerakan dunia maya (Facebookers) yang sampai saat ini telah mencapai 1 juta lebih.
Beberapa tokoh masyarakat, tanpa mengetahui substansi masalah hukumnya, ikut-ikutan mendukung tersangka dan menghujat Polri. Gerakan tersebut lebih dipacu secara sistematis oleh tayangan media televisi. Setiap hari tak ubahnya kita sedang menyaksikan sidang pengadilan melalui media massa dengan presenter televisi sebagai penanya/pewawancara dengan pihak lain sebagai objek wawancaranya (trial by the press). Melalui tayangan itu pula berkembang secara sistematis opini publik yang keliru seolah-olah “ada perseteruan” antara Polri dan KPK.
Selanjutnya, berkembang opini seolah-olah tindakan Polri menahan dua petinggi KPK tersebut sebagai tindakan mengadaada dan ”merekayasa”.Penjelasan Kapolri dalam beberapa konferensi pers ternyata tidak mampu mengubah persepsi yang keliru tersebut. Hal itu wajar karena dalam konferensi pers, tidak mungkin semua aspek teknis dibeberkan. Tindakan penangguhan penahanan terhadap dua pimpinan KPK nonaktif ternyata tidak menyurutkan gerakan unjuk rasa dan dikatakan bahwa penangguhan penahanan itu diberikan karena ada tekanan.
Kemudian kasus ini juga dikait-kaitkan dengan peranan Susno Duadji dalam kasus Bank Century. Desakan-desakan agar kasus Bank Century ditangani KPK terus dilancarkan oleh kelompok penekan (pressure group) dengan motif dan tujuan tidak hanya sekadar masalah proses penyidikannya, tetapi lebih jauh telah menjangkau tujuan politik secara nasional. Dengan demikian, jelas terlihat adanya pihak-pihak yang sengaja mengondisikan penggunaan kekuatan untuk memaksakan persepsinya dengan dalih mendukung pemberantasan korupsi.
Tidak disadari bahwa penggunaan kekuatan dalam bentuk tersebut memiliki kecenderungan tindakan korupsi karena melegitimasi persepsi dengan power dan tidak dengan kebenaran substantif. Lord Acton mengatakan: power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely.
Theory of The Truth
Wacana baru sistem peradilan di Indonesia dapat dimaknai dengan adanya shifting the theory of the truth dari Foucault (1972) yang berpandangan bahwa kebenaran pada dasarnya dapat dibuat dan dikondisikan, terutama oleh mereka yang memiliki power (man of desire). Pada umumnya, yang memiliki kekuasaan tersebut adalah pemerintah sebagai pihak penguasa. Namun, fenomena yang terjadi saat ini,man of desire berada di tangan media massa sebagai pihak yang secara tidak sengaja telah menggerakkan masyarakat sebagai pressure power.
Demikian pula, fenomena konflik antara KPK,Polri,dan Kejaksaan Agung telah membuat wacana baru dalam sistem peradilan,yaitu terjadinya perpindahan kekuasaan sistem peradilan dari kekuasaan negara (state) menjadi kekuasaan masyarakat.Perubahan ini antara lain disebabkan pertumbuhan yang pesat di bidang komunikasi dan teknologi. Opini masyarakat yang terbentuk dengan sangat cepat dan diciptakan melalui pemanfaatan kecanggihan sistem komunikasi modern dengan perantara media massa.
Pemilik media massa secara tidak langsung berperan sebagai man of desire yang dapat menciptakan dan mengondisikan kebenaran sesuai dengan keyakinannya.Pemberitaan dapat membentuk interpretasi masyarakat sehingga makna yang dihasilkan dapat berupa opini yang pada akhirnya terakumulasi menjadi sebuah pressure group. Gerakan pressure group yang dibentuk dari opini media massa telah berubah sebagai pengadilan yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat.
Hal ini menjadikan tatanan sistem pengadilan menjadi lawless yang membuat seolah instrumen hukum tidak berfungsi dan tidak berdaya menghadapi tekanan masyarakat.Rasionalitas ini akan memiliki implikasi negatif bagi sistem peradilan dan penegakan hukum di Indonesia pada masa mendatang karena pada hakikatnya hukum memiliki sebuah kepastian terhadap kebenaran dan keadilan dan bukan hasil bentukan terhadap opini masyarakat.
Fenomena Abolisi
Konflik antara KPK,Polri, dan Kejaksaan Agung merupakan hasil dari temuan terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh oknum aparat-aparat lembaga tersebut. Penyimpangan ini merupakan domain hukum yang harus diselesaikan melalui mekanisme hukum yang bermuara pada putusan pengadilan. Akan tetapi saat ini telah terjadi perubahan mengarah pada domain politik, yaitu terciptanya opini masyarakat yang tidak memercayai lembaga penegak hukum.
Opini masyarakat yang ”awam” hukum mudah diarahkan untuk turut serta mengadili lembaga hukum dan bahkan memaksa Presiden untuk ikut serta melakukan intervensi di bidang hukum. Ada beraneka saran dari berbagai pihak yang menginginkan Presiden melakukan intervensi hukum untuk menyelesaikan permasalahan yang melibatkan KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung. Pendapat saat ini yang sedang mengerucut adalah agar Presiden memberikan abolisi.
Abolisi pada hakikatnya merupakan hak Presiden untuk membatalkan tuntutan terhadap seseorang sebelum putusan hakim ditetapkan atau kewenangan kepala negara untuk menggugurkan hak penuntut umum untuk melakukan penuntutan serta akibat hukum yang timbul karena tuntutan tersebut.
Tindakan ini ditempuh Presiden dengan pertimbangan DPR sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945 Pasal 14 ayat (2) bahwa: (2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Tindakan itu menjadi sangat dilematis untuk kondisi saat ini karena apabila tindakan abolisi tersebut diambil, dapat diinterpretasikan bahwa Presiden telah mengintervensi sistem peradilan pidana dan akan dituduh sebagai melanggar hukum.
Alternatif Solusi
Alternatif solusi yang mungkin dapat diambil dapat disesuaikan pada tataran substansi masalahnya sehingga dapat dilakukan dengan memprioritaskan supremasi hukum. Di antaranya, memberikan kesempatan kepada aparat penegak hukum dalam hal ini kepolisian (penyidik) dan Kejaksaan Agung (penuntut) untuk melengkapi dan menuntaskan proses pidananya sesuai ketentuan KUHAP sampai pada proses pengadilan.
Bila setelah diupayakan secara maksimal dan profesional ternyata tidak memungkinkan untuk diteruskan prosesnya ke Pengadilan, kepada penyidik diberikan kesempatan menggunakan kewenangan profesionalnya selaku penyidik untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) sesuai KUHP.Demikian juga halnya terhadap Kejaksaan Agung yang memiliki wewenang menerbitkan surat keputusan penghentian penuntutan (SKPP).
Fenomena pengadilan media massa yang menggunakan masyarakat sebagai instrumen pengadilan jalanan membuat kondisi hukum menjadi tidak berdaya (lawless). Hal ini perlu diluruskan untuk mencegah terjadinya gangguan pada lembaga penegak hukum yang diberikan otoritas oleh negara. Implikasi terhadap gangguan tersebut akan merugikan keadilan dan kebenaran, yang menjadi harapan masyarakat itu sendiri.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/285441/
Prof Dr Jusuf
Profesional Lemhannas RI
Dalam upaya penegakan hukum di Indonesia telah terjadi benturan antarlembaga penegak hukum.Benturan itu diawali dengan testimoni Antasari Azhar di hadapan penyidik Polri yang menyatakan adanya dugaan tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan petinggi KPK.
Dari data tersebut,Polri menindaklanjuti dengan melakukan penyidikan terhadap dugaan penyalahgunaan wewenang yang berujung pada penahanan yang bersangkutan. Tindakan penahanan terhadap oknum pimpinan KPK nonaktif tersebut yang dilaksanakan oleh Bareskrim Polri telah direspons masyarakat ke ranah politik melalui satu bentuk pressure group. Bentuknya antara lain dengan aksi unjuk rasa dan gerakan dukungan massa yang diidentikkan dengan gerakan mendukung KPK, tidak hanya secara fisik, tetapi juga melalui gerakan dunia maya (Facebookers) yang sampai saat ini telah mencapai 1 juta lebih.
Beberapa tokoh masyarakat, tanpa mengetahui substansi masalah hukumnya, ikut-ikutan mendukung tersangka dan menghujat Polri. Gerakan tersebut lebih dipacu secara sistematis oleh tayangan media televisi. Setiap hari tak ubahnya kita sedang menyaksikan sidang pengadilan melalui media massa dengan presenter televisi sebagai penanya/pewawancara dengan pihak lain sebagai objek wawancaranya (trial by the press). Melalui tayangan itu pula berkembang secara sistematis opini publik yang keliru seolah-olah “ada perseteruan” antara Polri dan KPK.
Selanjutnya, berkembang opini seolah-olah tindakan Polri menahan dua petinggi KPK tersebut sebagai tindakan mengadaada dan ”merekayasa”.Penjelasan Kapolri dalam beberapa konferensi pers ternyata tidak mampu mengubah persepsi yang keliru tersebut. Hal itu wajar karena dalam konferensi pers, tidak mungkin semua aspek teknis dibeberkan. Tindakan penangguhan penahanan terhadap dua pimpinan KPK nonaktif ternyata tidak menyurutkan gerakan unjuk rasa dan dikatakan bahwa penangguhan penahanan itu diberikan karena ada tekanan.
Kemudian kasus ini juga dikait-kaitkan dengan peranan Susno Duadji dalam kasus Bank Century. Desakan-desakan agar kasus Bank Century ditangani KPK terus dilancarkan oleh kelompok penekan (pressure group) dengan motif dan tujuan tidak hanya sekadar masalah proses penyidikannya, tetapi lebih jauh telah menjangkau tujuan politik secara nasional. Dengan demikian, jelas terlihat adanya pihak-pihak yang sengaja mengondisikan penggunaan kekuatan untuk memaksakan persepsinya dengan dalih mendukung pemberantasan korupsi.
Tidak disadari bahwa penggunaan kekuatan dalam bentuk tersebut memiliki kecenderungan tindakan korupsi karena melegitimasi persepsi dengan power dan tidak dengan kebenaran substantif. Lord Acton mengatakan: power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely.
Theory of The Truth
Wacana baru sistem peradilan di Indonesia dapat dimaknai dengan adanya shifting the theory of the truth dari Foucault (1972) yang berpandangan bahwa kebenaran pada dasarnya dapat dibuat dan dikondisikan, terutama oleh mereka yang memiliki power (man of desire). Pada umumnya, yang memiliki kekuasaan tersebut adalah pemerintah sebagai pihak penguasa. Namun, fenomena yang terjadi saat ini,man of desire berada di tangan media massa sebagai pihak yang secara tidak sengaja telah menggerakkan masyarakat sebagai pressure power.
Demikian pula, fenomena konflik antara KPK,Polri,dan Kejaksaan Agung telah membuat wacana baru dalam sistem peradilan,yaitu terjadinya perpindahan kekuasaan sistem peradilan dari kekuasaan negara (state) menjadi kekuasaan masyarakat.Perubahan ini antara lain disebabkan pertumbuhan yang pesat di bidang komunikasi dan teknologi. Opini masyarakat yang terbentuk dengan sangat cepat dan diciptakan melalui pemanfaatan kecanggihan sistem komunikasi modern dengan perantara media massa.
Pemilik media massa secara tidak langsung berperan sebagai man of desire yang dapat menciptakan dan mengondisikan kebenaran sesuai dengan keyakinannya.Pemberitaan dapat membentuk interpretasi masyarakat sehingga makna yang dihasilkan dapat berupa opini yang pada akhirnya terakumulasi menjadi sebuah pressure group. Gerakan pressure group yang dibentuk dari opini media massa telah berubah sebagai pengadilan yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat.
Hal ini menjadikan tatanan sistem pengadilan menjadi lawless yang membuat seolah instrumen hukum tidak berfungsi dan tidak berdaya menghadapi tekanan masyarakat.Rasionalitas ini akan memiliki implikasi negatif bagi sistem peradilan dan penegakan hukum di Indonesia pada masa mendatang karena pada hakikatnya hukum memiliki sebuah kepastian terhadap kebenaran dan keadilan dan bukan hasil bentukan terhadap opini masyarakat.
Fenomena Abolisi
Konflik antara KPK,Polri, dan Kejaksaan Agung merupakan hasil dari temuan terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh oknum aparat-aparat lembaga tersebut. Penyimpangan ini merupakan domain hukum yang harus diselesaikan melalui mekanisme hukum yang bermuara pada putusan pengadilan. Akan tetapi saat ini telah terjadi perubahan mengarah pada domain politik, yaitu terciptanya opini masyarakat yang tidak memercayai lembaga penegak hukum.
Opini masyarakat yang ”awam” hukum mudah diarahkan untuk turut serta mengadili lembaga hukum dan bahkan memaksa Presiden untuk ikut serta melakukan intervensi di bidang hukum. Ada beraneka saran dari berbagai pihak yang menginginkan Presiden melakukan intervensi hukum untuk menyelesaikan permasalahan yang melibatkan KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung. Pendapat saat ini yang sedang mengerucut adalah agar Presiden memberikan abolisi.
Abolisi pada hakikatnya merupakan hak Presiden untuk membatalkan tuntutan terhadap seseorang sebelum putusan hakim ditetapkan atau kewenangan kepala negara untuk menggugurkan hak penuntut umum untuk melakukan penuntutan serta akibat hukum yang timbul karena tuntutan tersebut.
Tindakan ini ditempuh Presiden dengan pertimbangan DPR sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945 Pasal 14 ayat (2) bahwa: (2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Tindakan itu menjadi sangat dilematis untuk kondisi saat ini karena apabila tindakan abolisi tersebut diambil, dapat diinterpretasikan bahwa Presiden telah mengintervensi sistem peradilan pidana dan akan dituduh sebagai melanggar hukum.
Alternatif Solusi
Alternatif solusi yang mungkin dapat diambil dapat disesuaikan pada tataran substansi masalahnya sehingga dapat dilakukan dengan memprioritaskan supremasi hukum. Di antaranya, memberikan kesempatan kepada aparat penegak hukum dalam hal ini kepolisian (penyidik) dan Kejaksaan Agung (penuntut) untuk melengkapi dan menuntaskan proses pidananya sesuai ketentuan KUHAP sampai pada proses pengadilan.
Bila setelah diupayakan secara maksimal dan profesional ternyata tidak memungkinkan untuk diteruskan prosesnya ke Pengadilan, kepada penyidik diberikan kesempatan menggunakan kewenangan profesionalnya selaku penyidik untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) sesuai KUHP.Demikian juga halnya terhadap Kejaksaan Agung yang memiliki wewenang menerbitkan surat keputusan penghentian penuntutan (SKPP).
Fenomena pengadilan media massa yang menggunakan masyarakat sebagai instrumen pengadilan jalanan membuat kondisi hukum menjadi tidak berdaya (lawless). Hal ini perlu diluruskan untuk mencegah terjadinya gangguan pada lembaga penegak hukum yang diberikan otoritas oleh negara. Implikasi terhadap gangguan tersebut akan merugikan keadilan dan kebenaran, yang menjadi harapan masyarakat itu sendiri.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/285441/
Prof Dr Jusuf
Profesional Lemhannas RI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya