Oleh: Maswadi Rauf
Sudah beberapa minggu ini perseteruan hukum antarlembaga penegak hukum mendominasi pemberitaan media massa dan pembicaraan di dalam masyarakat.
Perseteruan tersebut telah menjadi masalah nasional yang diketahui oleh hampir semua warga masyarakat di Indonesia. Telah berkembang opini di dalam masyarakat kita bahwa konflik hukum antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Negara RI (Polri) bersama Kejaksaan Agung (Kejagung) disebabkan oleh adanya keinginan pihak tertentu untuk melemahkan KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi terdepan di Indonesia.
Opini ini juga menganggap bahwa Polri dan Kejagung hanyalah pelaksana dari keinginan tersebut. Oleh karena itu,muncul anggapan bahwa tindakan hukum yang dilakukan terhadap tiga mantan pimpinan KPK (Antasari, Bibit, dan Chandra) adalah rekayasa hukum untuk mengebiri KPK.Telah terlihat sejumlah bukti hukum yang menunjukkan adanya pemaksaan untuk memerkarakan ketiga orang tersebut.
Bangsa Indonesia telah terlibat dalam perdebatan hukum yang hebat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Di samping opini publik tersebut, telah muncul pula opini tandingan yang membela Polri dan Kejagung dalam menindak ketiga mantan pimpinan KPK tersebut. Kelompok ini beranggapan bahwa Polri dan Kejagung telah menjalankan tugas secara benar dengan menangkap dan menyeret ketiga orang tersebut ke pengadilan berdasarkan bukti-bukti hukum yang jelas dan kuat.
Mereka beranggapan bahwa ketiga orang tersebut memang terlibat dalam tindakan kriminal sehingga wajar bila dijatuhi hukuman. Langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membentuk Tim 8 kelihatannya tidak banyak membantu karena rekomendasi yang dihasilkan tim tersebut tidak segera menghasilkan keputusan.
Presiden SBY masih menunggu sampai Senin atau Selasa pekan ini untuk membuat keputusan setelah menerima masukan dari Polri dan Kejagung sebagai pihakpihak yang terlibat dalam perseteruan tersebut. Memang agak aneh bila Presiden SBY mempersilakan kedua instansi tersebut untuk mempelajari rekomendasi tersebut dan memberikan pendapat mereka kepada Presiden karena kedua instansi tersebut adalah instansi yang akan terkena oleh keputusan Presiden.
Polarisasi Politik
Perseteruan hukum tersebut ternyata telah meluas ke bidang politik. Hal ini sebenarnya bukanlah hal yang aneh karena hukum terkait erat dengan politik. Masalah korupsi sering kali berhubungan erat dengan politik karena yang melakukan korupsi adalah para pejabat politik dan pejabat pemerintah (termasuk polisi dan tentara).
Di samping itu, tidak jarang korupsi dilakukan oleh pejabat politik dan pejabat pemerintah dalam rangka mengumpulkan dana untuk kepentingan partai politik mereka atau kepentingan mereka sendiri. Kasus hukum KPK melawan Polri dan Kejagung telah menghasilkan polarisasi politik. Dukungan politik terhadap KPK berupa demonstrasi yang meluas dalam beberapa minggu terakhir ini telah mendorong pihak yang mendukung Polri dan Kejagung untuk mengadakan aksi serupa.
Aksi unjuk rasa terjadi di beberapa kota seperti Jakarta dan Medan yang menuntut diabaikannya rekomendasi Tim 8 dan meneruskan proses pengadilan bagi mantan pimpinan KPK tersebut. Melakukan unjuk rasa adalah hak setiap warga negara dalam demokrasi. Oleh karena itu demonstrasi yang dilakukan oleh siapa saja tidak perlu dipertanyakan motivasi dan tujuannya.
Namun merekayasa demonstrasi untuk kepentingan politik pihak yang melakukan rekayasa adalah sebuah tindakan yang berbahaya. Seharusnya demonstrasi dilakukan karena para demonstran merasa terlanggar kepentingannya sehingga mereka melakukan unjuk rasa terhadap pemerintah sebagai institusi pembuat keputusan politik. Oleh karena itu tidak wajar bila demonstrasi dilakukan tidak untuk kepentingan yang berdemo, tapi untuk kepentingan pihak yang menjadi sponsor demo.
Demo seperti ini dijadikan alat politik oleh perekayasa demo yang tidak terkait dengan kepentingan pendemo atau kepentingan rakyat banyak. Memang sulit untuk membuktikan demo yang mana yang merupakan rekayasa: apakah demo yang mendukung KPK atau demo yang anti-KPK? Biarlah masyarakat yang menilai sendiri yang dapat pula berkembang menjadi opini publik.
Terlepas dari direkayasa atau tidak, mengadakan demo tandingan adalah tindakan politik yang berbahaya karena konflik hukum dapat berubah menjadi konflik politik horizontal karena keterlibatan massa dalam perseteruan hukum antarlembaga-lembaga penegak hukum.Demo tandingan akan berakibat pada pelibatan warga masyarakat secara massal dalam konflik politik yang akan memperkeruh keadaan politik di Indonesia.
Citra Politik Pemerintah
Perseteruan hukum yang tidak kunjung selesai berakibat buruk bagi citra politik pemerintahan Presiden SBY.Sudah banyak sekali komentar yang mengatakan bahwa seharusnya Presiden SBY membuat keputusan yang cepat dan tegas dalam kasus perseteruan hukum tersebut.Apalagi Tim 8 telah menyerahkan rekomendasinya. Presiden SBY dapat membuat keputusan apa saja yang dianggap terbaik agar debat publik yang intensif itu bisa berhenti karena hal itu memang merupakan kewenangan Presiden seperti yang telah dilakukannya tadi malam.
Presiden SBY bisa memutuskan untuk mengikuti rekomendasi Tim 8 atau mengabaikannya dengan membuat keputusan yang berbeda dengan memberikan penjelasan kepada masyarakat. Perkembangan politik memang sudah semakin memburuk karena di luar negeri juga berkembang persepsi bahwa yang terjadi di Indonesia sekarang ini adalah pertarungan antara tokoh-tokoh politik yang antikorupsi melawan tokoh-tokoh yang ingin melemahkan pemberantasan korupsi.
Pandangan seperti ini bisa memperburuk citra Indonesia di mata internasional. Pengambilan keputusan yang lambat hanyalah akan memperkuat kesan bahwa Pemerintah Indonesia bersikap ragu-ragu untuk mengambil tindakan terhadap mereka yang menghambat usaha pemberantasan korupsi. Penundaan pengambilan keputusan oleh Presiden SBY juga menyebabkan beredarnya desas-desus yang memperburuk keadaan seperti keterkaitan kasus perseteruan KPK-Polri/Kejagung ini dengan kasus Bank Century yang memunculkan pendapat bahwa kasus Bank Century terkait dengan elite politik yang sekarang berkuasa.
Desasdesus ini dapat digunakan untuk memperkuat anggapan bahwa korupsi di Indonesia yang melibatkan pejabat-pejabat politik tetap berlangsung dan tidak pernah berhenti, malah semakin menghebat. Tidak dapat disangkal bahwa kasus hukum ini sangat mengganggu pencapaian target 100 hari pemerintahan pimpinan Presiden SBY.Debat publik dan opini publik yang berkembang mengakibatkan tersedotnya perhatian para penyelenggara negara dan terganggunya konsentrasi mereka dalam pencapaian target tersebut.
Rakyat banyak malah menganggap bahwa target 100 hari tidak lagi terlalu penting sekarang ini karena yang jauh lebih penting adalah menyelesaikan perseteruan KPK-Polri/Kejagung. Seharusnya penyelesaian kasus ini dijadikan target utama oleh pemerintah. Pemerintah dituntut untuk mampu menyelesaikan kasus hukum itu dengan tetap memberikan kekuasaan yang besar bagi KPK untuk memberantas korupsi di Indonesia.
Dukungan rakyat kepada KPK memang sudah tidak diragukan lagi. Mereka beranggapan bahwa korupsi adalah sumber malapetaka sehingga pemberantasan korupsi adalah prasyarat bagi keberhasilan pembangunan di Indonesia. Oleh karena itu keputusan yang diambil Presiden SBY harus menunjukkan niat dan tekad yang kuat untuk memberantas korupsi tanpa peduli siapa pun yang melakukannya.
Hanya dengan berpihak pada pemberantasan korupsi,yang antara lain dilakukan oleh KPK, Presiden SBY dapat memperbaiki citra politiknya. Ketidakjelasan dalam bersikap atau adanya kesan pengebirian terhadap KPK hanya akan memperburuk citra pemerintah di masa rakyat.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/286235/
Maswadi Rauf
Guru Besar
Ilmu Politik
Sudah beberapa minggu ini perseteruan hukum antarlembaga penegak hukum mendominasi pemberitaan media massa dan pembicaraan di dalam masyarakat.
Perseteruan tersebut telah menjadi masalah nasional yang diketahui oleh hampir semua warga masyarakat di Indonesia. Telah berkembang opini di dalam masyarakat kita bahwa konflik hukum antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Negara RI (Polri) bersama Kejaksaan Agung (Kejagung) disebabkan oleh adanya keinginan pihak tertentu untuk melemahkan KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi terdepan di Indonesia.
Opini ini juga menganggap bahwa Polri dan Kejagung hanyalah pelaksana dari keinginan tersebut. Oleh karena itu,muncul anggapan bahwa tindakan hukum yang dilakukan terhadap tiga mantan pimpinan KPK (Antasari, Bibit, dan Chandra) adalah rekayasa hukum untuk mengebiri KPK.Telah terlihat sejumlah bukti hukum yang menunjukkan adanya pemaksaan untuk memerkarakan ketiga orang tersebut.
Bangsa Indonesia telah terlibat dalam perdebatan hukum yang hebat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Di samping opini publik tersebut, telah muncul pula opini tandingan yang membela Polri dan Kejagung dalam menindak ketiga mantan pimpinan KPK tersebut. Kelompok ini beranggapan bahwa Polri dan Kejagung telah menjalankan tugas secara benar dengan menangkap dan menyeret ketiga orang tersebut ke pengadilan berdasarkan bukti-bukti hukum yang jelas dan kuat.
Mereka beranggapan bahwa ketiga orang tersebut memang terlibat dalam tindakan kriminal sehingga wajar bila dijatuhi hukuman. Langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membentuk Tim 8 kelihatannya tidak banyak membantu karena rekomendasi yang dihasilkan tim tersebut tidak segera menghasilkan keputusan.
Presiden SBY masih menunggu sampai Senin atau Selasa pekan ini untuk membuat keputusan setelah menerima masukan dari Polri dan Kejagung sebagai pihakpihak yang terlibat dalam perseteruan tersebut. Memang agak aneh bila Presiden SBY mempersilakan kedua instansi tersebut untuk mempelajari rekomendasi tersebut dan memberikan pendapat mereka kepada Presiden karena kedua instansi tersebut adalah instansi yang akan terkena oleh keputusan Presiden.
Polarisasi Politik
Perseteruan hukum tersebut ternyata telah meluas ke bidang politik. Hal ini sebenarnya bukanlah hal yang aneh karena hukum terkait erat dengan politik. Masalah korupsi sering kali berhubungan erat dengan politik karena yang melakukan korupsi adalah para pejabat politik dan pejabat pemerintah (termasuk polisi dan tentara).
Di samping itu, tidak jarang korupsi dilakukan oleh pejabat politik dan pejabat pemerintah dalam rangka mengumpulkan dana untuk kepentingan partai politik mereka atau kepentingan mereka sendiri. Kasus hukum KPK melawan Polri dan Kejagung telah menghasilkan polarisasi politik. Dukungan politik terhadap KPK berupa demonstrasi yang meluas dalam beberapa minggu terakhir ini telah mendorong pihak yang mendukung Polri dan Kejagung untuk mengadakan aksi serupa.
Aksi unjuk rasa terjadi di beberapa kota seperti Jakarta dan Medan yang menuntut diabaikannya rekomendasi Tim 8 dan meneruskan proses pengadilan bagi mantan pimpinan KPK tersebut. Melakukan unjuk rasa adalah hak setiap warga negara dalam demokrasi. Oleh karena itu demonstrasi yang dilakukan oleh siapa saja tidak perlu dipertanyakan motivasi dan tujuannya.
Namun merekayasa demonstrasi untuk kepentingan politik pihak yang melakukan rekayasa adalah sebuah tindakan yang berbahaya. Seharusnya demonstrasi dilakukan karena para demonstran merasa terlanggar kepentingannya sehingga mereka melakukan unjuk rasa terhadap pemerintah sebagai institusi pembuat keputusan politik. Oleh karena itu tidak wajar bila demonstrasi dilakukan tidak untuk kepentingan yang berdemo, tapi untuk kepentingan pihak yang menjadi sponsor demo.
Demo seperti ini dijadikan alat politik oleh perekayasa demo yang tidak terkait dengan kepentingan pendemo atau kepentingan rakyat banyak. Memang sulit untuk membuktikan demo yang mana yang merupakan rekayasa: apakah demo yang mendukung KPK atau demo yang anti-KPK? Biarlah masyarakat yang menilai sendiri yang dapat pula berkembang menjadi opini publik.
Terlepas dari direkayasa atau tidak, mengadakan demo tandingan adalah tindakan politik yang berbahaya karena konflik hukum dapat berubah menjadi konflik politik horizontal karena keterlibatan massa dalam perseteruan hukum antarlembaga-lembaga penegak hukum.Demo tandingan akan berakibat pada pelibatan warga masyarakat secara massal dalam konflik politik yang akan memperkeruh keadaan politik di Indonesia.
Citra Politik Pemerintah
Perseteruan hukum yang tidak kunjung selesai berakibat buruk bagi citra politik pemerintahan Presiden SBY.Sudah banyak sekali komentar yang mengatakan bahwa seharusnya Presiden SBY membuat keputusan yang cepat dan tegas dalam kasus perseteruan hukum tersebut.Apalagi Tim 8 telah menyerahkan rekomendasinya. Presiden SBY dapat membuat keputusan apa saja yang dianggap terbaik agar debat publik yang intensif itu bisa berhenti karena hal itu memang merupakan kewenangan Presiden seperti yang telah dilakukannya tadi malam.
Presiden SBY bisa memutuskan untuk mengikuti rekomendasi Tim 8 atau mengabaikannya dengan membuat keputusan yang berbeda dengan memberikan penjelasan kepada masyarakat. Perkembangan politik memang sudah semakin memburuk karena di luar negeri juga berkembang persepsi bahwa yang terjadi di Indonesia sekarang ini adalah pertarungan antara tokoh-tokoh politik yang antikorupsi melawan tokoh-tokoh yang ingin melemahkan pemberantasan korupsi.
Pandangan seperti ini bisa memperburuk citra Indonesia di mata internasional. Pengambilan keputusan yang lambat hanyalah akan memperkuat kesan bahwa Pemerintah Indonesia bersikap ragu-ragu untuk mengambil tindakan terhadap mereka yang menghambat usaha pemberantasan korupsi. Penundaan pengambilan keputusan oleh Presiden SBY juga menyebabkan beredarnya desas-desus yang memperburuk keadaan seperti keterkaitan kasus perseteruan KPK-Polri/Kejagung ini dengan kasus Bank Century yang memunculkan pendapat bahwa kasus Bank Century terkait dengan elite politik yang sekarang berkuasa.
Desasdesus ini dapat digunakan untuk memperkuat anggapan bahwa korupsi di Indonesia yang melibatkan pejabat-pejabat politik tetap berlangsung dan tidak pernah berhenti, malah semakin menghebat. Tidak dapat disangkal bahwa kasus hukum ini sangat mengganggu pencapaian target 100 hari pemerintahan pimpinan Presiden SBY.Debat publik dan opini publik yang berkembang mengakibatkan tersedotnya perhatian para penyelenggara negara dan terganggunya konsentrasi mereka dalam pencapaian target tersebut.
Rakyat banyak malah menganggap bahwa target 100 hari tidak lagi terlalu penting sekarang ini karena yang jauh lebih penting adalah menyelesaikan perseteruan KPK-Polri/Kejagung. Seharusnya penyelesaian kasus ini dijadikan target utama oleh pemerintah. Pemerintah dituntut untuk mampu menyelesaikan kasus hukum itu dengan tetap memberikan kekuasaan yang besar bagi KPK untuk memberantas korupsi di Indonesia.
Dukungan rakyat kepada KPK memang sudah tidak diragukan lagi. Mereka beranggapan bahwa korupsi adalah sumber malapetaka sehingga pemberantasan korupsi adalah prasyarat bagi keberhasilan pembangunan di Indonesia. Oleh karena itu keputusan yang diambil Presiden SBY harus menunjukkan niat dan tekad yang kuat untuk memberantas korupsi tanpa peduli siapa pun yang melakukannya.
Hanya dengan berpihak pada pemberantasan korupsi,yang antara lain dilakukan oleh KPK, Presiden SBY dapat memperbaiki citra politiknya. Ketidakjelasan dalam bersikap atau adanya kesan pengebirian terhadap KPK hanya akan memperburuk citra pemerintah di masa rakyat.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/286235/
Maswadi Rauf
Guru Besar
Ilmu Politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya