Oleh: Faisal Basri
Wakil Presiden Boediono, Jumat lalu, mengutarakan bahwa untuk mencapai target pertumbuhan rata-rata 7 persen dalam lima tahun ke depan, dibutuhkan dana investasi hingga Rp 2.000 triliun (Kompas, 7 November 2009, halaman 15). Jika berdasarkan harga berlaku, angka tersebut tergolong konservatif.
Menurut versi Kadin Indonesia, sebagaimana tertuang di dalam Roadmap Pembangunan Ekonomi 2009-2014, dana investasi sebesar Rp 2.000 triliun hanya cukup untuk mengerek pertumbuhan tahun 2010. Adapun untuk menopang target pertumbuhan selama kurun waktu 2010-2014, kebutuhan dana rata-rata setahun untuk menggenjot investasi sekitar Rp 2.900 triliun.
Perbedaan versi pemerintah dan versi Kadin Indonesia bisa disebabkan oleh tiga faktor: (1) apakah perhitungan berdasarkan harga konstan (tak memperhitungkan kenaikan harga-harga) atau harga berlaku, (2) asumsi laju inflasi, dan (3) asumsi angka incremental capital output ratio (ICOR), yang mengukur berapa kebutuhan tambahan modal untuk menghasilkan tambahan satu unit produk domestik bruto.
Masih menurut penjelasan Wakil Presiden, pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya mampu mengisi sekitar 20 persen atau Rp 400 triliun. Sisanya, 80 persen atau Rp 1.600 triliun, dibutuhkan dana dari sektor usaha nasional (swasta dan BUMN) serta dana luar negeri. Menurut versi Kadin Indonesia, kemampuan APBN untuk belanja modal murni hanya sekitar 13 persen. Berarti ketergantungan terhadap modal swasta dalam negeri dan luar negeri lebih besar lagi.
Untuk menggambarkan betapa besar tantangan pendanaan ini, kita pakai saja kebutuhan dana untuk tahun 2010 sebesar Rp 2.000 triliun. APBN bisa menyumbang sekitar Rp 200 triliun. Dari ekspansi kredit perbankan sekitar 30 persen akan diperoleh dana sekitar Rp 450 triliun. Katakanlah jumlah yang sama kita bisa harapkan dari pasar modal. Dengan demikian, dari ketiga sumber ini terkumpul Rp 1.100 triliun.
Jika prospek usaha sangat cemerlang dan iklim bisnis membaik secara signifikan, dunia usaha akan lebih banyak menyisihkan keuntungan dan biaya penyusutan untuk investasi baru ataupun perluasan usaha. Dengan hitung-hitungan sangat optimistis, katakanlah dana internal perusahaan akan mencapai Rp 400 triliun.
Kebutuhan modal
Kebutuhan yang tersisa sebesar Rp 500 triliun untuk menggenapi Rp 2.000 triliun harus ditutupi oleh arus modal asing neto, baik dalam bentuk portofolio maupun penanaman modal asing langsung (PMAL). Dengan kurs Rp 10.000 per dollar AS, berarti kita membutuhkan arus modal masuk neto sekitar 50 miliar dollar AS. Angka sebesar itu selama ini tak pernah kita capai.
Kita memiliki potensi untuk mewujudkan target-target di atas. Dengan merapikan kebijakan moneter, akan ada celah untuk peningkatan ekspansi kredit. Jika diiringi pembenahan fiskal, terutama pengenyahan sumbat-sumbat yang mengganggu realisasi belanja modal pemerintah, peredaran ”darah” di dalam perekonomian akan lebih lancar.
Sumbangsih pasar modal juga masih bisa ditingkatkan. Beberapa BUMN besar bisa meraup dana segar dari initial public offering. Lewat serangkaian pembenahan di sektor logistik dan memerangi praktik ekonomi biaya tinggi, kita dapat menekan inefisiensi sehingga ICOR bisa turun.
Walaupun hanya sedikit, penurunan ICOR akan sangat berarti untuk mengurangi kebutuhan pembiayaan investasi. Dengan semakin cepat kita berbenah di dalam negeri, tuntutan pemenuhan dana dari luar negeri bisa dikurangi. Berkurangnya ketergantungan terhadap dana luar negeri akan memperkokoh daya tahan perekonomian dan kemandirian bangsa.
Tinggal kita berharap dari modal asing yang lebih berkualitas. Di pasar modal kita lebih banyak berharap dari investor institusional yang mementingkan faktor-faktor fundamental jangka panjang. Sementara itu, dalam hal PMAL, kita mendorong investor-investor yang bisa mempercepat pendalaman industri, penguatan kapabilitas teknologi, dan peningkatan nilai tambah.
Tahun 2010, arus PMAL diperkirakan bakal pulih. Krisis global telah mulai menggeser pandangan perusahaan-perusahaan multinasional. Mereka cenderung akan semakin melirik negara-negara yang memiliki pasar domestik yang relatif besar seperti Indonesia.
Kita mulai banyak dilirik investor asing dan emerging markets di Asia telah terbukti paling memiliki daya tahan dan paling cepat pulih. Asia telah menjelma sebagai ujung tombak utama pemulihan ekonomi dunia.
Semua celah peluang di atas akan kembali tersumbat apabila kepastian usaha tak terhadirkan. Risiko bisnis yang tinggi akan membuat investor urung menanamkan modal. Rekomendasi yang terhimpun dari Rembuk Nasional, akhir bulan Oktober lalu, kebanyakan adalah urusan hukum dan perundang-undangan. Hal ini menunjukkan betapa salah satu sumbatan paling serius adalah persoalan unsur-unsur dari institusi.
Institusi tak hanya persoalan undang-undang dan peraturan-peraturan tertulis, melainkan juga meliputi norma dan nilai, termasuk sense of justice dan sense of equity yang tertanam di dalam masyarakat. Jika penegakan hukum mencederai perasaan masyarakat dan mengikis keyakinan pengusaha, kita akan tetap di jalur lambat dengan pertumbuhan yang tidak berkualitas.
Betapa semakin mengedepan persoalan institusi ini di tengah turbulensi dan karut-marut perekonomian dunia tecermin dari terpilihnya dua cendekiawan yang mendalami institutional economics sebagai peraih Nobel di bidang ekonomi.
Kita berharap dan harus mendesakkan agar kemelut hukum bisa cepat berakhir. Kinilah momentum terbaik untuk membenahi institusi sampai ke akar-akarnya agar perjalanan ke depan tak lagi terantuk-antuk.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/09/02483587/pembengkokan.hukum.bis
Faisal Basri
Pengamat Ekonomi
Wakil Presiden Boediono, Jumat lalu, mengutarakan bahwa untuk mencapai target pertumbuhan rata-rata 7 persen dalam lima tahun ke depan, dibutuhkan dana investasi hingga Rp 2.000 triliun (Kompas, 7 November 2009, halaman 15). Jika berdasarkan harga berlaku, angka tersebut tergolong konservatif.
Menurut versi Kadin Indonesia, sebagaimana tertuang di dalam Roadmap Pembangunan Ekonomi 2009-2014, dana investasi sebesar Rp 2.000 triliun hanya cukup untuk mengerek pertumbuhan tahun 2010. Adapun untuk menopang target pertumbuhan selama kurun waktu 2010-2014, kebutuhan dana rata-rata setahun untuk menggenjot investasi sekitar Rp 2.900 triliun.
Perbedaan versi pemerintah dan versi Kadin Indonesia bisa disebabkan oleh tiga faktor: (1) apakah perhitungan berdasarkan harga konstan (tak memperhitungkan kenaikan harga-harga) atau harga berlaku, (2) asumsi laju inflasi, dan (3) asumsi angka incremental capital output ratio (ICOR), yang mengukur berapa kebutuhan tambahan modal untuk menghasilkan tambahan satu unit produk domestik bruto.
Masih menurut penjelasan Wakil Presiden, pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya mampu mengisi sekitar 20 persen atau Rp 400 triliun. Sisanya, 80 persen atau Rp 1.600 triliun, dibutuhkan dana dari sektor usaha nasional (swasta dan BUMN) serta dana luar negeri. Menurut versi Kadin Indonesia, kemampuan APBN untuk belanja modal murni hanya sekitar 13 persen. Berarti ketergantungan terhadap modal swasta dalam negeri dan luar negeri lebih besar lagi.
Untuk menggambarkan betapa besar tantangan pendanaan ini, kita pakai saja kebutuhan dana untuk tahun 2010 sebesar Rp 2.000 triliun. APBN bisa menyumbang sekitar Rp 200 triliun. Dari ekspansi kredit perbankan sekitar 30 persen akan diperoleh dana sekitar Rp 450 triliun. Katakanlah jumlah yang sama kita bisa harapkan dari pasar modal. Dengan demikian, dari ketiga sumber ini terkumpul Rp 1.100 triliun.
Jika prospek usaha sangat cemerlang dan iklim bisnis membaik secara signifikan, dunia usaha akan lebih banyak menyisihkan keuntungan dan biaya penyusutan untuk investasi baru ataupun perluasan usaha. Dengan hitung-hitungan sangat optimistis, katakanlah dana internal perusahaan akan mencapai Rp 400 triliun.
Kebutuhan modal
Kebutuhan yang tersisa sebesar Rp 500 triliun untuk menggenapi Rp 2.000 triliun harus ditutupi oleh arus modal asing neto, baik dalam bentuk portofolio maupun penanaman modal asing langsung (PMAL). Dengan kurs Rp 10.000 per dollar AS, berarti kita membutuhkan arus modal masuk neto sekitar 50 miliar dollar AS. Angka sebesar itu selama ini tak pernah kita capai.
Kita memiliki potensi untuk mewujudkan target-target di atas. Dengan merapikan kebijakan moneter, akan ada celah untuk peningkatan ekspansi kredit. Jika diiringi pembenahan fiskal, terutama pengenyahan sumbat-sumbat yang mengganggu realisasi belanja modal pemerintah, peredaran ”darah” di dalam perekonomian akan lebih lancar.
Sumbangsih pasar modal juga masih bisa ditingkatkan. Beberapa BUMN besar bisa meraup dana segar dari initial public offering. Lewat serangkaian pembenahan di sektor logistik dan memerangi praktik ekonomi biaya tinggi, kita dapat menekan inefisiensi sehingga ICOR bisa turun.
Walaupun hanya sedikit, penurunan ICOR akan sangat berarti untuk mengurangi kebutuhan pembiayaan investasi. Dengan semakin cepat kita berbenah di dalam negeri, tuntutan pemenuhan dana dari luar negeri bisa dikurangi. Berkurangnya ketergantungan terhadap dana luar negeri akan memperkokoh daya tahan perekonomian dan kemandirian bangsa.
Tinggal kita berharap dari modal asing yang lebih berkualitas. Di pasar modal kita lebih banyak berharap dari investor institusional yang mementingkan faktor-faktor fundamental jangka panjang. Sementara itu, dalam hal PMAL, kita mendorong investor-investor yang bisa mempercepat pendalaman industri, penguatan kapabilitas teknologi, dan peningkatan nilai tambah.
Tahun 2010, arus PMAL diperkirakan bakal pulih. Krisis global telah mulai menggeser pandangan perusahaan-perusahaan multinasional. Mereka cenderung akan semakin melirik negara-negara yang memiliki pasar domestik yang relatif besar seperti Indonesia.
Kita mulai banyak dilirik investor asing dan emerging markets di Asia telah terbukti paling memiliki daya tahan dan paling cepat pulih. Asia telah menjelma sebagai ujung tombak utama pemulihan ekonomi dunia.
Semua celah peluang di atas akan kembali tersumbat apabila kepastian usaha tak terhadirkan. Risiko bisnis yang tinggi akan membuat investor urung menanamkan modal. Rekomendasi yang terhimpun dari Rembuk Nasional, akhir bulan Oktober lalu, kebanyakan adalah urusan hukum dan perundang-undangan. Hal ini menunjukkan betapa salah satu sumbatan paling serius adalah persoalan unsur-unsur dari institusi.
Institusi tak hanya persoalan undang-undang dan peraturan-peraturan tertulis, melainkan juga meliputi norma dan nilai, termasuk sense of justice dan sense of equity yang tertanam di dalam masyarakat. Jika penegakan hukum mencederai perasaan masyarakat dan mengikis keyakinan pengusaha, kita akan tetap di jalur lambat dengan pertumbuhan yang tidak berkualitas.
Betapa semakin mengedepan persoalan institusi ini di tengah turbulensi dan karut-marut perekonomian dunia tecermin dari terpilihnya dua cendekiawan yang mendalami institutional economics sebagai peraih Nobel di bidang ekonomi.
Kita berharap dan harus mendesakkan agar kemelut hukum bisa cepat berakhir. Kinilah momentum terbaik untuk membenahi institusi sampai ke akar-akarnya agar perjalanan ke depan tak lagi terantuk-antuk.
URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/09/02483587/pembengkokan.hukum.bis
Faisal Basri
Pengamat Ekonomi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya