Oleh: Alexander Irwan
PENGOTAK-ngOTAKAN ilmu pengetahuan sudah berawal pada abad ke-18 dan menjadi mapan sebelum Perang Dunia II (Immanuel Wallerstein, Lintas Batas Ilmu Sosial, LKiS, 1997). Pengotakan tersebut dimulai ketika ilmu eksak, kebenaran bisa diuji, memisahkan diri dengan filsafat, yang dianggap spekulatif, tidak bisa diuji kebenarannya. Ilmu itu pada gilirannya mengalami keretakan internal ke dalam macam-macam divisi karena adanya ketegangan antara pendekatan nomothetis, yang mengandalkan hukum-hukum universal, dan pendekatan ideosinkratis, keunikan-keunikan berdasarkan ruang dan waktu.
Sekat-sekat akademis ilmu-ilmu sosial tersebut mulai runtuh sesudah Perang Dunia Kedua. Dampaknya terlihat, misalnya, menjadi populernya disiplin, seperti politik ekonomi, studi kawasan dengan studi kawasan terkenal, seperti studi Amerika Latin, Asia Timur, multicultural studies, women studies, atau world system perspective. Pendekatan-pendekatan lintas batas ilmu pengetahuan tersebut bukan saja tidak mengakui ketersekatan ilmu, tetapi keterpisahan itu menjadi tidak relevan.
Pendekatan multidimensional
Kenapa saya membuka resensi buku Andrew Rosser, The Politics of Economic Liberalization in Indonesia: State, Market, and Power, dan buku Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-1992, dengan ulasan singkat mengenai masalah rontoknya sekat-sekat disiplin ilmu sosial setelah Perang Dunia II? Ulasan tersebut menjadi penting di sini karena pendekatan yang ditawarkan Rosser, pendekatan multidimensional yang bersifat historis, merupakan bagian dari proses keterbukaan pendekatan ilmiah tersebut. Pendekatan multidimensional biasanya tidak hanya mendobrak ketersekatan ilmu, tetapi juga tidak lagi menganut pengotakan gagasan, struktur, dan individu ke dalam pendekatan teoretis yang bertentangan. Karena diakui adanya pluralitas determinasi, maka tidak lagi dipersoalkan variabel mana yang lebih unggul sebagai determinan, karena tujuannya adalah memahami hubungan antarvariabel untuk mencapai pemahaman historis sebuah entitas dalam kekompleksannya.
Pada satu waktu dan tempat, variable A kelihatan menonjol, tetapi di lain tempat dan waktu peran variabel H lebih tampak. Menurut Rosser:
"The view taken here is that the New Order is best understood as a 'multidimensional' entity in that it responded, not just to instrumental, structural, or state-centered dynamics but to all three depending on the particular historical circumstances that prevailed" (Rosser, 2002, hlm 30). (Pendekatan yang diambil di sini adalah bahwa Orde Baru paling tepat kalau dipahami sebagai sebuah entitas "multidimensional" yang bereaksi tidak hanya terhadap dinamika-dinamika instrumental, struktural, atau berporos pada negara, tetapi terhadap ketiga-tiganya tergantung pada konteks kesejarahannya)
Dengan pendekatan historis multidimensional tersebut, Rosser memperlakukan Pendekatan Tingkah Laku, Pendekatan Kepentingan Negara, Pendekatan Pascanegara, dan Pendekatan Kelas sebagai kacamata-kacamata yang membantu mengungkap kekompleksan entitas Orde Baru dalam penyusunan kebijakan publik.
Determinasi gagasan
Dalam melihat penyusunan kebijakan publik di Indonesia, Mallarangeng dengan jelas juga memetakan posisi pendekatannya dibanding dengan berbagai pendekatan lain, seperti "Teori Koalisi Politik dan Kepentingan Ekonomi", "Teori Otonomi Negara", dan "Teori Pilihan Rasional". Akan tetapi, pendekatan Mallarangeng ternyata berseberangan dengan pendekatan multidimensional yang ditawarkan Rosser.
Kalau Rosser menggunakan pendekatan kepluralan determinasi untuk melihat kekompleksan entitas Orde Baru dalam penyusunan kebijakan politik dan ekonomi yang berkenaan dengan proses liberalisasi, Mallarangeng justru ingin memapankan "gagasan" sebagai determinan yang paling menentukan dalam penentuan kebijakan publik. Jadi, seperti jingle Coca Cola: di mana saja dan kapan saja, gagasan menjadi determinasi utama.
Menurut Mallarangeng, "... saya tidak ingin menyandarkan studi ini pada apa yang disebut sebagai faktor-faktor struktural -misalnya "logika" kapitalisme, mobilitas modal, dan kapitalisme global-dalam menjelaskan perubahan kebijakan... Saya menempatkan cendekiawan, penulis, pembentuk opini, aktivis, dan ekonom pada posisi yang lebih menentukan, sebagai pelaku yang menciptakan kondisi atau melahirkan tekanan bagi terjadinya perubahan kebijakan." (Mallarangeng, 2002, hlm 32) "... masih menjadi tanda tanya besar apakah dua negara (Brasil dan Argentina, tambahan penulis) dengan kondisi struktural yang sama akan mengambil kebijakan yang serupa... Dengan kata lain, jika berbagai prasyarat struktural sudah terpenuhi, kunci perbedaan arah kebijakan terletak pada gagasan dan cara gagasan itu disampaikan serta dirumuskan oleh para pengambil keputusan." (Mallarangeng, 2002, hlm 16-17)
Upaya Mallarangeng memapankan "gagasan" sebagai determinan utama yang paling berperan, mengingatkan penulis pada mendiang Terry Hopkins, yang merupakan teoretikus dan metodolog yang ada di belakang Immanuel Wallerstein dan perspektif sistem dunianya. Pada tahun 1989, dia mengatakan bahwa sampai saat itu masih banyak orang, bahkan termasuk yang menyatakan bahwa Marxisme sudah tidak relevan lagi, yang ternyata karyanya merupakan jawaban kepada Marx.
Ternyata diktum Terry masih juga berlaku, bahkan sampai di era milenium baru ini. Masih ingat perdebatan mengenai base and superstructure yang tak habis-habisnya, yaitu apakah hubungan produksi dan struktur kepemilikan modal itu mendeterminasi aktor dan gagasan, atau aktor dan gagasan itu bisa, pertama, bersifat independen dari struktur, dan kedua, apakah bisa mempengaruhi struktur ekonomi? Karya Rizal, diterbitkan tahun 2002, yang berargumen bahwa "gagasan" adalah determinan yang paling berperan dalam penyusunan dan perubahan kebijakan publik bisa dipandang sebagai jawaban terhadap kekakuan sebagian pendekatan Marxis yang dengan fanatik menganut determinasi struktur.
Kenapa Mallarangeng masih berupaya untuk mencari determinan utama yang paling berperan? Kalaupun mau memahami peran gagasan dalam penentuan kebijakan publik, upaya itu tidak perlu dilakukan dengan jalan memapankan gagasan sebagai determinan utama. Coba kita ikuti nalar Mallarangeng (hlm 24-25) dalam pembentukan "komunitas epistemis liberal" yang menduduki posisi yang sangat penting dalam argumennya. "Komunitas epistemis liberal" sendiri dipahami oleh Mallarangeng sebagai jaringan individu lintas negara, masyarakat, maupun kelas yang anggotanya bisa ditemukan di kantor pemerintah, universitas, media massa, dan lembaga penelitian kebijakan.
Kelompok ini mempunyai keyakinan atau kepercayaan bersama atas perlu dan cocoknya penerapan kebijakan-kebijakan liberal di Indonesia, dan dengan demikian menjadi "perantara" pengejawantahan "gagasan" liberal menjadi kebijakan. Kalaupun kita terima bahwa "komunitas epistemis liberal" ini mempunyai visi yang berbeda dengan kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik yang ada, sehingga mereka bukan sekadar wayang yang dikendalikan dan didikte oleh kepentingan kelas dan negara, itu tidak berarti bahwa "gagasan" kemudian menjadi determinan utama. Menjadi salah satu determinan sudah pasti. Tetapi, belum ada argumennya kenapa serta-merta gagasan menjadi determinan utama.
Gagasan, lembaga sosial, dan subyektivitas
Banyak studi yang sudah dilakukan mengenai peran gagasan, misalnya studi-studi yang berkenaan dengan masalah diskursus. Salah satunya dilakukan oleh Chris Weedon, Feminist Practice and Poststructuralist Theory, 1987, hlm 40-41, seorang feminis, yang bahkan sejak pertengahan dekade 1980-an sudah memperingatkan bahwa diskursus itu tidak hanya "beroperasi" di tingkat bahasa/gagasan, tapi juga pada tingkat proses dan lembaga sosial, serta pada tingkat subyektivitas. Weedon sama sekali tidak mempunyai tujuan untuk memapankan diskursus sebagai determinan utama. Untuk apa menyempitkan cakrawala pemikiran seperti itu? Yang ingin dia lihat adalah bagaimana diskursus beroperasi di tingkat bahasa/ gagasan, di tingkat proses dan lembaga sosial, dan di tingkat subyektivitas.
Jadi, kalau mau memakai pendekatan Weedon untuk membantu memahami subyektivitas Soeharto, misalnya, hal itu bisa dilakukan tanpa harus menempatkan gagasan Soeharto sebagai determinan utama dalam perumusan kebijakan publik di Indonesia. Tujuannya adalah memahami bagaimana gagasan Soeharto mengenai pengelolaan sumber daya ekonomi, politik, budaya, dan subyektivitas dirinya, berinteraksi dengan proses-proses dan lembaga-lembaga sosial yang ada untuk membentuk sebuah tatanan hubungan kekuasaan.
Ketika melakukan analisis berdasarkan pendekatan masing-masing, Mallarangeng yang berupaya memapankan gagasan sebagai determinan utama ternyata lebih konsisten dibanding dengan Rosser. Menurut Mallarangeng, proses deregulasi melemah setelah mencapai puncaknya pada tahun 1989, dan pada periode 1990-1992 terjadi ketidakpastian arah kebijakan ekonomi. Dia konsisten ketika menyebut bahwa melemahnya deregulasi tersebut disebabkan oleh "kegagalan intelektual", yaitu bahwa "koalisi liberal gagal menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sah dari para pengkritik mereka" (hlm 232), yaitu berkenaan dengan munculnya konglomerat (etnis Tionghoa) yang memperbesar kesenjangan ekonomi. Dengan cukup detail Mallarangeng kemudian menggambarkan bagaimana pertempuran gagasan deregulasi dan gagasan antideregulasi, dimotori oleh intelektual populis dan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), di wacana publik (219-232). Bahkan, dia mengungkapkan bagaimana Dorodjatun, sebagai bagian dari teknokrat kelompok "epistemis liberal", berkhianat dengan berbicara kepada publik bahwa kalau proses deregulasi berjalan terus, Indonesia akan terjerembab ke dalam perekonomian kapitalis liberal.
Akan tetapi, sebetulnya posisi yang diambil Dorodjatun itu tidaklah aneh, bahkan mungkin dia memang tidak pas untuk dimasukkan ke dalam kelompok "epistemis liberal". Meskipun dia dikenal sebagai generasi terakhir Mafia Berkeley, dia sebetulnya sudah menyimpang dari jalur liberalisme ekonomi yang dianut kelompok teknokrat tersebut.
Dalam sebuah diskusi Senat Mahasiswa di FISIP UI, dia secara bercanda mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia waktu itu berhenti mengirimkan ekonom mudanya ke Berkeley setelah melihat hasil dari generasi terakhirnya (maksudnya dirinya sendiri) menjadi melenceng. Maka, kalau dulu Hadi Soesastro mengajar pengantar ekonomi di FISIP UI memakai textbook Samuelson, Dorodjatun lebih menyukai textbook Todaro.
Kembali ke pendekatan Weedon, pertempuran di tingkat bahasa/gagasan dan di tingkat subyektivitas, sayang sekali Mallarangeng tidak sampai mengonstruksi subyektivitas seorang Dorodjatun, misalnya. Apabila Mallarangeng juga memperlakukan proses dan lembaga sosial sebagai variabel yang sejajar dengan gagasan, akan lebih dapat mengungkapkan multidimensionalitas pengambilan kebijakan di Indonesia. Tampaknya upaya untuk menjaga konsistensi pendekatannya bahwa gagasan adalah determinasi utama, menyebabkan kemunculan konglomerat etnis Tionghoa dan kepentingan bisnis keluarga Soeharto, keduanya berhubungan erat dengan logika modal dan negara yang mau dihindari sebagai determinan oleh Mallarangeng, diperlakukan sebagai anak tiri. Mereka diperkenalkan kepada para tamu, tetapi disuruh berdiri di pojok dan tidak diberi ruang untuk ikut ngerumpi. Pokoknya, pembaca sekadar diberi tahu bahwa ada kemunculan dominasi pengusaha etnis Tionghoa dan keluarga Soeharto, tetapi penentu utama arah kebijakan publik adalah tetap gagasan.
Penderitaan ganda
Pendekatan multidimensional Rosser ternyata kurang bisa terjaga konsistensinya. Singkatnya, pendekatan multi-dimensionalnya ternyata masih kurang multidimensi. Akibatnya, kekompleksan dampak proses liberalisasi di Indonesia juga tidak semua terungkap dengan baik.
Tidak seperti Mallarangeng, Rosser berpendapat bahwa proses liberalisasi di Indonesia bukanlah masalah unggulnya "rasionalitas ekonomi", yang menurut Mallarangeng adalah gagasan yang diwakili oleh kelompok teknokrat "epistemis liberal", atas gagasan kelompok kepentingan sosial dan politik. Menurut Rosser, hal itu merupakan masalah berhasil tidaknya koalisi kepentingan "mobile capitalists", lembaga internasional pemberi utang, penanam modal internasional di pasar modal, footloose manufacturing-perusahaan multinasional yang mudah pindah tempat, dan pendukungnya seperti IMF dan Bank Dunia, memenangkan perebutan kekuasaan dalam pengambilan kebijakan melawan koalisi kepentingan kalangan politiko-birokrat dan konglomerat yang antiliberalisasi. Kesimpulan yang ditarik oleh Rosser adalah:
"Indonesia is unlikely to converge on the neoliberal model. Whilst the crisis has clearly unleashed powerful structural pressures for reform, prospects for reform are limited by the fact that the country lacks one of the main prerequisites for the existence of liberal market: a strong domestic coalition of interests that supports market reform." (hlm ix-x) (Indonesia tampaknya tidak akan mengikuti model neoliberal. Sementara krisis dengan jelas telah menimbulkan tekanan-tekanan struktural yang sangat kuat untuk melakukan reformasi, prospek untuk reformasi dibatasi oleh kenyataan bahwa negara ini tidak memiliki prasyarat utama bagi keberadaan pasar liberal: sebuah koalisi kepentingan domestik yang kuat yang mendukung reformasi pasar).
Menurut Rosser (hlm 4), dengan keunggulan koalisi politiko-birokrat dan konglomerat, maka Indonesia bukannya sedang mengarah ke pasar liberal dan demokrasi liberal, tetapi justru sedang bergerak ke arah chaos, politik uang, dan kebangkitan kembali nasionalisme ekonomi.
Apa yang kurang dari pendekatan multidimensi Rosser? Memang betul bahwa koalisi kalangan mobile capitalists gagal merebut kekuasaan negara dari tangan aparat partai politik dan klien-klien bisnis mereka (hlm 195), tetapi itu tidak berarti bahwa langkah-langkah liberalisasi yang sudah berhasil digolkan di Indonesia tidak mempunyai dampak yang berarti.
Ambil saja satu contoh, yaitu dalam bidang liberalisasi, tarif impor yang dilakukan dalam konteks WTO, AFTA, dan APEC, yang juga didukung oleh tekanan-tekanan dari IMF. Dalam hal buruh misalnya, dengan diturunkannya berbagai tarif impor sampai ke titik minimal, bahkan maunya sampai ke titik nol, berbagai investor yang terbebani oleh biaya ekonomi tinggi dan berbagai ketidakpastian hukum-ini akibat koalisi politiko-birokrat dan konglomerat tetap berada di atas angin-dan politik di Indonesia, sudah merelokasi produksi mereka di negara Asia Tenggara lainnya.
Buat mereka, lebih murah berproduksi di negara Asia Tenggara lainnya kemudian mengimpor produknya ke Indonesia, dan ini menyebabkan meningkatnya pengangguran di Indonesia. Menguatnya gerakan buruh di Indonesia, yang berdampak pada kenaikan upah buruh, ternyata disertai dengan kegagalan negara untuk mewujudkan iklim investasi yang kompetitif. Demikian pula dengan nasib petani tebu dan pabrik gula yang menderita melihat gulanya kalah bersaing dengan gula impor yang bea masuknya diturunkan sampai mendekati nol persen. Di samping itu, para retailer kecil di daerah juga terancam dengan liberalisasi izin investasi modal asing yang menyebabkan retailer asing boleh beroperasi di tingkat provinsi dan kabupaten.
Apa yang hilang dari pendekatan multidimensi Rosser? Karena Rosser terlalu terfokus pada pengambilan keputusan di tingkat nasional, dia kurang memperhatikan dampak dari langkah-langkah liberalisasi yang sudah diambil selama ini terhadap kalangan marjinal. Gagalnya koalisi LSM, intelektual populis, dan kelompok-kelompok antiglobalisasi, misalnya, tidak ikut diperhitungkan. Apabila dimensi ini dimasukkan ke dalam analisisnya, kesimpulannya bisa jadi berbeda, yaitu bahwa Indonesia sekarang ini menanggung penderitaan ganda.
Pertama, Indonesia bergerak ke arah chaos, politik uang dan kebangkitan kembali nasionalisme ekonomi akibat terus berkuasanya koalisi politiko-birokrat dan konglomerat. Dan kedua, langkah-langkah liberalisasi yang sudah diambil bukannya berhasil meningkatkan efisiensi dan daya saing, tetapi justru merugikan kalangan buruh, petani, dan pengusaha kecil. Dengan demikian, Indonesia menderita akibat negatif dari terus berkuasanya koalisi politiko-birokrat dan konglomerat, dan menderita akibat negatif dari langkah-langkah liberalisasi yang diperjuangkan oleh koalisi mobile capitalists.
Kesimpulan
Kedua buku ini menawarkan dua pendekatan yang berbeda. Dengan membaca keduanya, kita bisa memperoleh gambaran yang konkret mengenai proses pengambilan keputusan dari kebijakan liberalisasi di Indonesia. Dengan membaca keduanya secara kritis, kita akan bisa terbantu untuk melihat apa yang harus dilakukan apabila Indonesia mau keluar dari penderitaan ganda yang sekarang sedang dialaminya.
URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0209/21/dikbud/dite33.htm
Alexander Irwan Sosiolog, tinggal di Jakarta
PENGOTAK-ngOTAKAN ilmu pengetahuan sudah berawal pada abad ke-18 dan menjadi mapan sebelum Perang Dunia II (Immanuel Wallerstein, Lintas Batas Ilmu Sosial, LKiS, 1997). Pengotakan tersebut dimulai ketika ilmu eksak, kebenaran bisa diuji, memisahkan diri dengan filsafat, yang dianggap spekulatif, tidak bisa diuji kebenarannya. Ilmu itu pada gilirannya mengalami keretakan internal ke dalam macam-macam divisi karena adanya ketegangan antara pendekatan nomothetis, yang mengandalkan hukum-hukum universal, dan pendekatan ideosinkratis, keunikan-keunikan berdasarkan ruang dan waktu.
Sekat-sekat akademis ilmu-ilmu sosial tersebut mulai runtuh sesudah Perang Dunia Kedua. Dampaknya terlihat, misalnya, menjadi populernya disiplin, seperti politik ekonomi, studi kawasan dengan studi kawasan terkenal, seperti studi Amerika Latin, Asia Timur, multicultural studies, women studies, atau world system perspective. Pendekatan-pendekatan lintas batas ilmu pengetahuan tersebut bukan saja tidak mengakui ketersekatan ilmu, tetapi keterpisahan itu menjadi tidak relevan.
Pendekatan multidimensional
Kenapa saya membuka resensi buku Andrew Rosser, The Politics of Economic Liberalization in Indonesia: State, Market, and Power, dan buku Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-1992, dengan ulasan singkat mengenai masalah rontoknya sekat-sekat disiplin ilmu sosial setelah Perang Dunia II? Ulasan tersebut menjadi penting di sini karena pendekatan yang ditawarkan Rosser, pendekatan multidimensional yang bersifat historis, merupakan bagian dari proses keterbukaan pendekatan ilmiah tersebut. Pendekatan multidimensional biasanya tidak hanya mendobrak ketersekatan ilmu, tetapi juga tidak lagi menganut pengotakan gagasan, struktur, dan individu ke dalam pendekatan teoretis yang bertentangan. Karena diakui adanya pluralitas determinasi, maka tidak lagi dipersoalkan variabel mana yang lebih unggul sebagai determinan, karena tujuannya adalah memahami hubungan antarvariabel untuk mencapai pemahaman historis sebuah entitas dalam kekompleksannya.
Pada satu waktu dan tempat, variable A kelihatan menonjol, tetapi di lain tempat dan waktu peran variabel H lebih tampak. Menurut Rosser:
"The view taken here is that the New Order is best understood as a 'multidimensional' entity in that it responded, not just to instrumental, structural, or state-centered dynamics but to all three depending on the particular historical circumstances that prevailed" (Rosser, 2002, hlm 30). (Pendekatan yang diambil di sini adalah bahwa Orde Baru paling tepat kalau dipahami sebagai sebuah entitas "multidimensional" yang bereaksi tidak hanya terhadap dinamika-dinamika instrumental, struktural, atau berporos pada negara, tetapi terhadap ketiga-tiganya tergantung pada konteks kesejarahannya)
Dengan pendekatan historis multidimensional tersebut, Rosser memperlakukan Pendekatan Tingkah Laku, Pendekatan Kepentingan Negara, Pendekatan Pascanegara, dan Pendekatan Kelas sebagai kacamata-kacamata yang membantu mengungkap kekompleksan entitas Orde Baru dalam penyusunan kebijakan publik.
Determinasi gagasan
Dalam melihat penyusunan kebijakan publik di Indonesia, Mallarangeng dengan jelas juga memetakan posisi pendekatannya dibanding dengan berbagai pendekatan lain, seperti "Teori Koalisi Politik dan Kepentingan Ekonomi", "Teori Otonomi Negara", dan "Teori Pilihan Rasional". Akan tetapi, pendekatan Mallarangeng ternyata berseberangan dengan pendekatan multidimensional yang ditawarkan Rosser.
Kalau Rosser menggunakan pendekatan kepluralan determinasi untuk melihat kekompleksan entitas Orde Baru dalam penyusunan kebijakan politik dan ekonomi yang berkenaan dengan proses liberalisasi, Mallarangeng justru ingin memapankan "gagasan" sebagai determinan yang paling menentukan dalam penentuan kebijakan publik. Jadi, seperti jingle Coca Cola: di mana saja dan kapan saja, gagasan menjadi determinasi utama.
Menurut Mallarangeng, "... saya tidak ingin menyandarkan studi ini pada apa yang disebut sebagai faktor-faktor struktural -misalnya "logika" kapitalisme, mobilitas modal, dan kapitalisme global-dalam menjelaskan perubahan kebijakan... Saya menempatkan cendekiawan, penulis, pembentuk opini, aktivis, dan ekonom pada posisi yang lebih menentukan, sebagai pelaku yang menciptakan kondisi atau melahirkan tekanan bagi terjadinya perubahan kebijakan." (Mallarangeng, 2002, hlm 32) "... masih menjadi tanda tanya besar apakah dua negara (Brasil dan Argentina, tambahan penulis) dengan kondisi struktural yang sama akan mengambil kebijakan yang serupa... Dengan kata lain, jika berbagai prasyarat struktural sudah terpenuhi, kunci perbedaan arah kebijakan terletak pada gagasan dan cara gagasan itu disampaikan serta dirumuskan oleh para pengambil keputusan." (Mallarangeng, 2002, hlm 16-17)
Upaya Mallarangeng memapankan "gagasan" sebagai determinan utama yang paling berperan, mengingatkan penulis pada mendiang Terry Hopkins, yang merupakan teoretikus dan metodolog yang ada di belakang Immanuel Wallerstein dan perspektif sistem dunianya. Pada tahun 1989, dia mengatakan bahwa sampai saat itu masih banyak orang, bahkan termasuk yang menyatakan bahwa Marxisme sudah tidak relevan lagi, yang ternyata karyanya merupakan jawaban kepada Marx.
Ternyata diktum Terry masih juga berlaku, bahkan sampai di era milenium baru ini. Masih ingat perdebatan mengenai base and superstructure yang tak habis-habisnya, yaitu apakah hubungan produksi dan struktur kepemilikan modal itu mendeterminasi aktor dan gagasan, atau aktor dan gagasan itu bisa, pertama, bersifat independen dari struktur, dan kedua, apakah bisa mempengaruhi struktur ekonomi? Karya Rizal, diterbitkan tahun 2002, yang berargumen bahwa "gagasan" adalah determinan yang paling berperan dalam penyusunan dan perubahan kebijakan publik bisa dipandang sebagai jawaban terhadap kekakuan sebagian pendekatan Marxis yang dengan fanatik menganut determinasi struktur.
Kenapa Mallarangeng masih berupaya untuk mencari determinan utama yang paling berperan? Kalaupun mau memahami peran gagasan dalam penentuan kebijakan publik, upaya itu tidak perlu dilakukan dengan jalan memapankan gagasan sebagai determinan utama. Coba kita ikuti nalar Mallarangeng (hlm 24-25) dalam pembentukan "komunitas epistemis liberal" yang menduduki posisi yang sangat penting dalam argumennya. "Komunitas epistemis liberal" sendiri dipahami oleh Mallarangeng sebagai jaringan individu lintas negara, masyarakat, maupun kelas yang anggotanya bisa ditemukan di kantor pemerintah, universitas, media massa, dan lembaga penelitian kebijakan.
Kelompok ini mempunyai keyakinan atau kepercayaan bersama atas perlu dan cocoknya penerapan kebijakan-kebijakan liberal di Indonesia, dan dengan demikian menjadi "perantara" pengejawantahan "gagasan" liberal menjadi kebijakan. Kalaupun kita terima bahwa "komunitas epistemis liberal" ini mempunyai visi yang berbeda dengan kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik yang ada, sehingga mereka bukan sekadar wayang yang dikendalikan dan didikte oleh kepentingan kelas dan negara, itu tidak berarti bahwa "gagasan" kemudian menjadi determinan utama. Menjadi salah satu determinan sudah pasti. Tetapi, belum ada argumennya kenapa serta-merta gagasan menjadi determinan utama.
Gagasan, lembaga sosial, dan subyektivitas
Banyak studi yang sudah dilakukan mengenai peran gagasan, misalnya studi-studi yang berkenaan dengan masalah diskursus. Salah satunya dilakukan oleh Chris Weedon, Feminist Practice and Poststructuralist Theory, 1987, hlm 40-41, seorang feminis, yang bahkan sejak pertengahan dekade 1980-an sudah memperingatkan bahwa diskursus itu tidak hanya "beroperasi" di tingkat bahasa/gagasan, tapi juga pada tingkat proses dan lembaga sosial, serta pada tingkat subyektivitas. Weedon sama sekali tidak mempunyai tujuan untuk memapankan diskursus sebagai determinan utama. Untuk apa menyempitkan cakrawala pemikiran seperti itu? Yang ingin dia lihat adalah bagaimana diskursus beroperasi di tingkat bahasa/ gagasan, di tingkat proses dan lembaga sosial, dan di tingkat subyektivitas.
Jadi, kalau mau memakai pendekatan Weedon untuk membantu memahami subyektivitas Soeharto, misalnya, hal itu bisa dilakukan tanpa harus menempatkan gagasan Soeharto sebagai determinan utama dalam perumusan kebijakan publik di Indonesia. Tujuannya adalah memahami bagaimana gagasan Soeharto mengenai pengelolaan sumber daya ekonomi, politik, budaya, dan subyektivitas dirinya, berinteraksi dengan proses-proses dan lembaga-lembaga sosial yang ada untuk membentuk sebuah tatanan hubungan kekuasaan.
Ketika melakukan analisis berdasarkan pendekatan masing-masing, Mallarangeng yang berupaya memapankan gagasan sebagai determinan utama ternyata lebih konsisten dibanding dengan Rosser. Menurut Mallarangeng, proses deregulasi melemah setelah mencapai puncaknya pada tahun 1989, dan pada periode 1990-1992 terjadi ketidakpastian arah kebijakan ekonomi. Dia konsisten ketika menyebut bahwa melemahnya deregulasi tersebut disebabkan oleh "kegagalan intelektual", yaitu bahwa "koalisi liberal gagal menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sah dari para pengkritik mereka" (hlm 232), yaitu berkenaan dengan munculnya konglomerat (etnis Tionghoa) yang memperbesar kesenjangan ekonomi. Dengan cukup detail Mallarangeng kemudian menggambarkan bagaimana pertempuran gagasan deregulasi dan gagasan antideregulasi, dimotori oleh intelektual populis dan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), di wacana publik (219-232). Bahkan, dia mengungkapkan bagaimana Dorodjatun, sebagai bagian dari teknokrat kelompok "epistemis liberal", berkhianat dengan berbicara kepada publik bahwa kalau proses deregulasi berjalan terus, Indonesia akan terjerembab ke dalam perekonomian kapitalis liberal.
Akan tetapi, sebetulnya posisi yang diambil Dorodjatun itu tidaklah aneh, bahkan mungkin dia memang tidak pas untuk dimasukkan ke dalam kelompok "epistemis liberal". Meskipun dia dikenal sebagai generasi terakhir Mafia Berkeley, dia sebetulnya sudah menyimpang dari jalur liberalisme ekonomi yang dianut kelompok teknokrat tersebut.
Dalam sebuah diskusi Senat Mahasiswa di FISIP UI, dia secara bercanda mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia waktu itu berhenti mengirimkan ekonom mudanya ke Berkeley setelah melihat hasil dari generasi terakhirnya (maksudnya dirinya sendiri) menjadi melenceng. Maka, kalau dulu Hadi Soesastro mengajar pengantar ekonomi di FISIP UI memakai textbook Samuelson, Dorodjatun lebih menyukai textbook Todaro.
Kembali ke pendekatan Weedon, pertempuran di tingkat bahasa/gagasan dan di tingkat subyektivitas, sayang sekali Mallarangeng tidak sampai mengonstruksi subyektivitas seorang Dorodjatun, misalnya. Apabila Mallarangeng juga memperlakukan proses dan lembaga sosial sebagai variabel yang sejajar dengan gagasan, akan lebih dapat mengungkapkan multidimensionalitas pengambilan kebijakan di Indonesia. Tampaknya upaya untuk menjaga konsistensi pendekatannya bahwa gagasan adalah determinasi utama, menyebabkan kemunculan konglomerat etnis Tionghoa dan kepentingan bisnis keluarga Soeharto, keduanya berhubungan erat dengan logika modal dan negara yang mau dihindari sebagai determinan oleh Mallarangeng, diperlakukan sebagai anak tiri. Mereka diperkenalkan kepada para tamu, tetapi disuruh berdiri di pojok dan tidak diberi ruang untuk ikut ngerumpi. Pokoknya, pembaca sekadar diberi tahu bahwa ada kemunculan dominasi pengusaha etnis Tionghoa dan keluarga Soeharto, tetapi penentu utama arah kebijakan publik adalah tetap gagasan.
Penderitaan ganda
Pendekatan multidimensional Rosser ternyata kurang bisa terjaga konsistensinya. Singkatnya, pendekatan multi-dimensionalnya ternyata masih kurang multidimensi. Akibatnya, kekompleksan dampak proses liberalisasi di Indonesia juga tidak semua terungkap dengan baik.
Tidak seperti Mallarangeng, Rosser berpendapat bahwa proses liberalisasi di Indonesia bukanlah masalah unggulnya "rasionalitas ekonomi", yang menurut Mallarangeng adalah gagasan yang diwakili oleh kelompok teknokrat "epistemis liberal", atas gagasan kelompok kepentingan sosial dan politik. Menurut Rosser, hal itu merupakan masalah berhasil tidaknya koalisi kepentingan "mobile capitalists", lembaga internasional pemberi utang, penanam modal internasional di pasar modal, footloose manufacturing-perusahaan multinasional yang mudah pindah tempat, dan pendukungnya seperti IMF dan Bank Dunia, memenangkan perebutan kekuasaan dalam pengambilan kebijakan melawan koalisi kepentingan kalangan politiko-birokrat dan konglomerat yang antiliberalisasi. Kesimpulan yang ditarik oleh Rosser adalah:
"Indonesia is unlikely to converge on the neoliberal model. Whilst the crisis has clearly unleashed powerful structural pressures for reform, prospects for reform are limited by the fact that the country lacks one of the main prerequisites for the existence of liberal market: a strong domestic coalition of interests that supports market reform." (hlm ix-x) (Indonesia tampaknya tidak akan mengikuti model neoliberal. Sementara krisis dengan jelas telah menimbulkan tekanan-tekanan struktural yang sangat kuat untuk melakukan reformasi, prospek untuk reformasi dibatasi oleh kenyataan bahwa negara ini tidak memiliki prasyarat utama bagi keberadaan pasar liberal: sebuah koalisi kepentingan domestik yang kuat yang mendukung reformasi pasar).
Menurut Rosser (hlm 4), dengan keunggulan koalisi politiko-birokrat dan konglomerat, maka Indonesia bukannya sedang mengarah ke pasar liberal dan demokrasi liberal, tetapi justru sedang bergerak ke arah chaos, politik uang, dan kebangkitan kembali nasionalisme ekonomi.
Apa yang kurang dari pendekatan multidimensi Rosser? Memang betul bahwa koalisi kalangan mobile capitalists gagal merebut kekuasaan negara dari tangan aparat partai politik dan klien-klien bisnis mereka (hlm 195), tetapi itu tidak berarti bahwa langkah-langkah liberalisasi yang sudah berhasil digolkan di Indonesia tidak mempunyai dampak yang berarti.
Ambil saja satu contoh, yaitu dalam bidang liberalisasi, tarif impor yang dilakukan dalam konteks WTO, AFTA, dan APEC, yang juga didukung oleh tekanan-tekanan dari IMF. Dalam hal buruh misalnya, dengan diturunkannya berbagai tarif impor sampai ke titik minimal, bahkan maunya sampai ke titik nol, berbagai investor yang terbebani oleh biaya ekonomi tinggi dan berbagai ketidakpastian hukum-ini akibat koalisi politiko-birokrat dan konglomerat tetap berada di atas angin-dan politik di Indonesia, sudah merelokasi produksi mereka di negara Asia Tenggara lainnya.
Buat mereka, lebih murah berproduksi di negara Asia Tenggara lainnya kemudian mengimpor produknya ke Indonesia, dan ini menyebabkan meningkatnya pengangguran di Indonesia. Menguatnya gerakan buruh di Indonesia, yang berdampak pada kenaikan upah buruh, ternyata disertai dengan kegagalan negara untuk mewujudkan iklim investasi yang kompetitif. Demikian pula dengan nasib petani tebu dan pabrik gula yang menderita melihat gulanya kalah bersaing dengan gula impor yang bea masuknya diturunkan sampai mendekati nol persen. Di samping itu, para retailer kecil di daerah juga terancam dengan liberalisasi izin investasi modal asing yang menyebabkan retailer asing boleh beroperasi di tingkat provinsi dan kabupaten.
Apa yang hilang dari pendekatan multidimensi Rosser? Karena Rosser terlalu terfokus pada pengambilan keputusan di tingkat nasional, dia kurang memperhatikan dampak dari langkah-langkah liberalisasi yang sudah diambil selama ini terhadap kalangan marjinal. Gagalnya koalisi LSM, intelektual populis, dan kelompok-kelompok antiglobalisasi, misalnya, tidak ikut diperhitungkan. Apabila dimensi ini dimasukkan ke dalam analisisnya, kesimpulannya bisa jadi berbeda, yaitu bahwa Indonesia sekarang ini menanggung penderitaan ganda.
Pertama, Indonesia bergerak ke arah chaos, politik uang dan kebangkitan kembali nasionalisme ekonomi akibat terus berkuasanya koalisi politiko-birokrat dan konglomerat. Dan kedua, langkah-langkah liberalisasi yang sudah diambil bukannya berhasil meningkatkan efisiensi dan daya saing, tetapi justru merugikan kalangan buruh, petani, dan pengusaha kecil. Dengan demikian, Indonesia menderita akibat negatif dari terus berkuasanya koalisi politiko-birokrat dan konglomerat, dan menderita akibat negatif dari langkah-langkah liberalisasi yang diperjuangkan oleh koalisi mobile capitalists.
Kesimpulan
Kedua buku ini menawarkan dua pendekatan yang berbeda. Dengan membaca keduanya, kita bisa memperoleh gambaran yang konkret mengenai proses pengambilan keputusan dari kebijakan liberalisasi di Indonesia. Dengan membaca keduanya secara kritis, kita akan bisa terbantu untuk melihat apa yang harus dilakukan apabila Indonesia mau keluar dari penderitaan ganda yang sekarang sedang dialaminya.
URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0209/21/dikbud/dite33.htm
Alexander Irwan Sosiolog, tinggal di Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya