Oleh: Zainal Arifin Mochtar
Tim Delapan akhirnya menyerahkan laporan akhir kepada Presiden, Selasa, (17/11). Dengan laporan setebal 31 halaman, tugas Tim Delapan telah selesai.
Mandat yang diperoleh untuk menyelesaikan persoalan Bibit-Chandra telah diselesaikan. Secara garis besar,laporan tersebut memuat beberapa butir utama yang kira-kira dapat terpetakan menjadi tujuh poin utama. Pertama, proses hukum terhadap Bibit-Chandra sebaiknya dihentikan karena adanya penanganan yang tidak tepat dan terlihat sangat dipaksakan.Kedua,dijatuhkannya sanksi terhadap pejabat- pejabat yang bertanggung jawab atas adanya upaya penegakan proses hukum yang dipaksakan.
Ketiga, melakukan reformasi institusional yang menyeluruh pada tubuh kepolisian dan kejaksaan. Keempat, melanjutkan reformasi institusional dan reposisi personel pada tubuh kepolisian,kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Kelima, memprioritaskan upaya untuk melakukan operasi pemberantasan makelar kasus (markus) dan mafia peradilan di semua lembaga penegakan hukum.
Keenam, mendorong upaya penuntasan perkara-perkara lainnya yang terkait dengan kasus korupsi Masaro, proses hukum terhadap Susno Duadji dan Lucas terkait dana Budi Sampoerna di Bank Century, serta kasus pengadaan SKRT Departemen Kehutanan.Ketujuh,Presiden disarankan untuk membentuk suatu komisi negara yang akan membuat program menyeluruh dengan arah dan tahapan-tahapan yang jelas untuk pembenahan lembagalembaga hukum. Tujuh poin ini tentu menarik.
Memetakan bahwa kasus yang diderita oleh Bibit-Chandra memang rekayasa. Karenanya, ada yang harus bertanggung jawab untuk hal tersebut.Lebih lanjut harus segera dilakukan perbaikan untuk mereformasi lembaga-lembaga yang gagal menunjukkan penegakan hukum substantif karena adanya markus.Terkhusus, makelar kasus harus segera diupayakan pemberantasannya.
Rekomendasi ke Aksi
Rekomendasi ini sudah menjadi dosis yang ”luar biasa”di tengah kewenangan Tim Delapan yang biasabiasa saja. Karena dalam rekomendasi ini berisi hal-hal yang menarik dengan tujuan pencapaian yang lebih luas dalam kelindan persoalan Bibit-Chandra. Tapi sejujurnya, rekomendasi Tim Delapan tetaplah rekomendasi. Tidak bisa dianggap self excecuted.Tidak mungkin dianggap sebagai pemuas keinginan rakyat Indonesia yang menginginkan penuntasan perkara Bibit-Chandra.
Hasil Tim Delapan hanya berbicara pada tingkat “apa yang seharusnya dicapai”. Rekomendasi ini dapat berubah menjadi batu pijakan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi jika “apa yang seharusnya dicapai” dapat dilengkapi dengan “bagaimana hal tersebut dicapai”, serta kemampuan dan kemauan untuk mencapainya. Secara detail, dari tujuh poin rekomendasi, sesungguhnya tidak semuanya harus menunggu tanggapan Presiden SBY. Selain penghentian perkara Bibit-Chandra, pemberian hukuman pada pejabat yang terlibat pada pemaksaan kasus Bibit-Chandra dan pembentukan komisi negara,praktis tidak perlu menunggu tanggapan SBY.
Untuk meneruskan perkara Masaro, SKRT, peran Susno dan Lucas dalam perkara uang Budi Sampoerna pada Bank Century.Pemberantasan perkara tidak membutuhkan tanggapan Presiden SBY atas rekomendasi. Perkara-perkara ini tetap saja harus berjalan tanpa perlu menunggu tanggapan Presiden SBY. KPK yang memang berpeluang menangani perkara ini harus bergerak cepat dan langsung.Tidak ada hubungan dengan harus menunggu tanggapan Presiden. Hal yang sama seharusnya dilakukan dalam upaya melakukan perlawanan atas markus.
Memberantas markus adalah wilayah yang pasti dan wajib dilakukan tanpa perlu menunggu penerimaan Presiden SBY. Seharusnya, hal-hal ini dilakukan dengan segera dan dilangsungkan tanpa perlu membuang waktu. Sisanya sudah tersedia kemungkinan langkah hukumnya.Misalnya langkah hukum penghentian perkara Bibit-Chandra,kemungkinan langkah hukumnya sudah tersedia. Secara hukum, ada empat pilihan langkah yang masih mungkin diambil. Pertama,rekomendasi untuk menghentikan penyidikan.
Ini tentu berarti memerintahkan kepolisian untuk melakukannya. Sebagai penyidik, merekalah yang dapat menghentikan penyidikan. Kedua, penghentian penuntutan.Hal ini dilakukan jika berkas sudah beralih dari kepolisian ke kejaksaan.Ada hak yang dimiliki kejaksaan untuk menghentikan penuntutan, misalnya saja jika dianggap bukan perkara pidana.Kemungkinan untuk yang ini juga kecil karena sama dengan mempertanyakan keprofesionalan kejaksaan dan kepolisian. Ketiga untuk men-deponeering perkara ini.Deponeeringadalah hak yang dimiliki oleh Jaksa Agung berdasarkan asas oportunitas yang dia miliki.
Pertimbangan dalam melakukan tindakan ini adalah bisa dikarenakan demi kepentingan umum. Bahkan, dalam melaksanakannya, Kejaksaan dapat meminta lembaga-lembaga yang terkait dalam perkara ini untuk memberikan pertimbangan. Bahkan Presiden dapat memberikan alasan demi kepentingan umum dalam rangka dilakukannya deponeering. Tentu bukan dalam kerangka intervensi, tetapi dalam kerangka menegaskan kepentingan umum. Keempat, abolisi.
Walau mungkin, tetapi langkah ini kelihatannya kurang tepat karena seakan-akan memberikan keputusan akhir pada Presiden, dan pada saat yang sama baik Bibit maupun Chandra tetap saja dianggap bersalah, hanya diabolisikan oleh Presiden. Dari keempat langkah yang tersedia, Presiden seharusnya mengambil salah satunya sebagai cara untuk menghentikan proses perkara atas Bibit-Chandra.Spektrum persoalan Bibit-Chandra sudah terbukti bukan lagi berdimensi pidana, tetapi lebih berbahasa politis, koruptif; berbau mafia peradilan, dan kalau mau disebut bertendensi “like or dislike”.
Presiden SBY harus melihat dengan jernih bahwa persoalan ini tentu tidak bisa dipandang remeh.Meski dapat menunda keputusan hingga seminggu,tetapi bukan berarti dapat berpikir untuk menghilangkan fakta temuan Tim Delapan. Hal yang sama hukuman atas pejabat yang merekayasa atau memaksakan perkara atas Bibit- Chandra. Ini memang membutuhkan tanggapan Presiden SBY atas perkara ini. Akhirnya memang harus menunggu.Tetapi, lagi-lagi keduanya membutuhkan kemampuan dan kemauan Presiden SBY. Hal tersebut membutuhkan kemauan dan kesungguhan untuk menuntaskan perkara ini tentunya dengan memihak pada melaksanakan strategi yang menyelesaikan.
Milestone
Kembali ke Tim Delapan,butirbutir ini sangat berpeluang menjadi batu pijakan proses reformasi jilid kedua yang kita harapkan, khususnya yang berkaitan dengan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Rekomendasi Tim Delapan harusnya menjadi poinpoin penting yang dapat jadi pijakan perbaikan.
Paling tidak telah menjadi cermin bahwa wajah penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di negeri lagi burukburuknya. Kita perlu segera berbenah dan melakukan sesuatu. Rekomendasi Tim Delapan memang telah menunjukkan pelembagaan dugaan-dugaan yang kita punyai selama ini.Tim Delapan telah membungkusnya menjadi fakta yang terekomendasi bahwa potret parah penegakan hukum kita memang sedang berada pada titik tertinggi.
Ada upaya yang harus dilakukan.Ada tindakan yang harus diambil. Sayangnya, rekomendasi Tim Delapan bisa menjadi milestone atau malah “mati muda”, sangat bergantung pada iktikad melaksanakan, baik untuk menunggu tindakan Presiden SBY maupun inisiatif untuk melakukan sesuatu perbaikan.Tentu kita semua mengharapkan penegakan hukum substantif.
Karenanya, semua memang menunggu iktikad untuk melakukan sesuatu, terutama dari Presiden SBY yang telah menunda hingga Senin depan. Kita semua menunggu karena memang ada yang harus dilakukan. Semoga mampu dan mau.Karena kita semua membutuhkan hal tersebut.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/285433/
Zainal Arifin Mochtar
Dosen Fakultas Hukum, Direktur PuKAT Korupsi FH UGM Yogyakarta
Tim Delapan akhirnya menyerahkan laporan akhir kepada Presiden, Selasa, (17/11). Dengan laporan setebal 31 halaman, tugas Tim Delapan telah selesai.
Mandat yang diperoleh untuk menyelesaikan persoalan Bibit-Chandra telah diselesaikan. Secara garis besar,laporan tersebut memuat beberapa butir utama yang kira-kira dapat terpetakan menjadi tujuh poin utama. Pertama, proses hukum terhadap Bibit-Chandra sebaiknya dihentikan karena adanya penanganan yang tidak tepat dan terlihat sangat dipaksakan.Kedua,dijatuhkannya sanksi terhadap pejabat- pejabat yang bertanggung jawab atas adanya upaya penegakan proses hukum yang dipaksakan.
Ketiga, melakukan reformasi institusional yang menyeluruh pada tubuh kepolisian dan kejaksaan. Keempat, melanjutkan reformasi institusional dan reposisi personel pada tubuh kepolisian,kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Kelima, memprioritaskan upaya untuk melakukan operasi pemberantasan makelar kasus (markus) dan mafia peradilan di semua lembaga penegakan hukum.
Keenam, mendorong upaya penuntasan perkara-perkara lainnya yang terkait dengan kasus korupsi Masaro, proses hukum terhadap Susno Duadji dan Lucas terkait dana Budi Sampoerna di Bank Century, serta kasus pengadaan SKRT Departemen Kehutanan.Ketujuh,Presiden disarankan untuk membentuk suatu komisi negara yang akan membuat program menyeluruh dengan arah dan tahapan-tahapan yang jelas untuk pembenahan lembagalembaga hukum. Tujuh poin ini tentu menarik.
Memetakan bahwa kasus yang diderita oleh Bibit-Chandra memang rekayasa. Karenanya, ada yang harus bertanggung jawab untuk hal tersebut.Lebih lanjut harus segera dilakukan perbaikan untuk mereformasi lembaga-lembaga yang gagal menunjukkan penegakan hukum substantif karena adanya markus.Terkhusus, makelar kasus harus segera diupayakan pemberantasannya.
Rekomendasi ke Aksi
Rekomendasi ini sudah menjadi dosis yang ”luar biasa”di tengah kewenangan Tim Delapan yang biasabiasa saja. Karena dalam rekomendasi ini berisi hal-hal yang menarik dengan tujuan pencapaian yang lebih luas dalam kelindan persoalan Bibit-Chandra. Tapi sejujurnya, rekomendasi Tim Delapan tetaplah rekomendasi. Tidak bisa dianggap self excecuted.Tidak mungkin dianggap sebagai pemuas keinginan rakyat Indonesia yang menginginkan penuntasan perkara Bibit-Chandra.
Hasil Tim Delapan hanya berbicara pada tingkat “apa yang seharusnya dicapai”. Rekomendasi ini dapat berubah menjadi batu pijakan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi jika “apa yang seharusnya dicapai” dapat dilengkapi dengan “bagaimana hal tersebut dicapai”, serta kemampuan dan kemauan untuk mencapainya. Secara detail, dari tujuh poin rekomendasi, sesungguhnya tidak semuanya harus menunggu tanggapan Presiden SBY. Selain penghentian perkara Bibit-Chandra, pemberian hukuman pada pejabat yang terlibat pada pemaksaan kasus Bibit-Chandra dan pembentukan komisi negara,praktis tidak perlu menunggu tanggapan SBY.
Untuk meneruskan perkara Masaro, SKRT, peran Susno dan Lucas dalam perkara uang Budi Sampoerna pada Bank Century.Pemberantasan perkara tidak membutuhkan tanggapan Presiden SBY atas rekomendasi. Perkara-perkara ini tetap saja harus berjalan tanpa perlu menunggu tanggapan Presiden SBY. KPK yang memang berpeluang menangani perkara ini harus bergerak cepat dan langsung.Tidak ada hubungan dengan harus menunggu tanggapan Presiden. Hal yang sama seharusnya dilakukan dalam upaya melakukan perlawanan atas markus.
Memberantas markus adalah wilayah yang pasti dan wajib dilakukan tanpa perlu menunggu penerimaan Presiden SBY. Seharusnya, hal-hal ini dilakukan dengan segera dan dilangsungkan tanpa perlu membuang waktu. Sisanya sudah tersedia kemungkinan langkah hukumnya.Misalnya langkah hukum penghentian perkara Bibit-Chandra,kemungkinan langkah hukumnya sudah tersedia. Secara hukum, ada empat pilihan langkah yang masih mungkin diambil. Pertama,rekomendasi untuk menghentikan penyidikan.
Ini tentu berarti memerintahkan kepolisian untuk melakukannya. Sebagai penyidik, merekalah yang dapat menghentikan penyidikan. Kedua, penghentian penuntutan.Hal ini dilakukan jika berkas sudah beralih dari kepolisian ke kejaksaan.Ada hak yang dimiliki kejaksaan untuk menghentikan penuntutan, misalnya saja jika dianggap bukan perkara pidana.Kemungkinan untuk yang ini juga kecil karena sama dengan mempertanyakan keprofesionalan kejaksaan dan kepolisian. Ketiga untuk men-deponeering perkara ini.Deponeeringadalah hak yang dimiliki oleh Jaksa Agung berdasarkan asas oportunitas yang dia miliki.
Pertimbangan dalam melakukan tindakan ini adalah bisa dikarenakan demi kepentingan umum. Bahkan, dalam melaksanakannya, Kejaksaan dapat meminta lembaga-lembaga yang terkait dalam perkara ini untuk memberikan pertimbangan. Bahkan Presiden dapat memberikan alasan demi kepentingan umum dalam rangka dilakukannya deponeering. Tentu bukan dalam kerangka intervensi, tetapi dalam kerangka menegaskan kepentingan umum. Keempat, abolisi.
Walau mungkin, tetapi langkah ini kelihatannya kurang tepat karena seakan-akan memberikan keputusan akhir pada Presiden, dan pada saat yang sama baik Bibit maupun Chandra tetap saja dianggap bersalah, hanya diabolisikan oleh Presiden. Dari keempat langkah yang tersedia, Presiden seharusnya mengambil salah satunya sebagai cara untuk menghentikan proses perkara atas Bibit-Chandra.Spektrum persoalan Bibit-Chandra sudah terbukti bukan lagi berdimensi pidana, tetapi lebih berbahasa politis, koruptif; berbau mafia peradilan, dan kalau mau disebut bertendensi “like or dislike”.
Presiden SBY harus melihat dengan jernih bahwa persoalan ini tentu tidak bisa dipandang remeh.Meski dapat menunda keputusan hingga seminggu,tetapi bukan berarti dapat berpikir untuk menghilangkan fakta temuan Tim Delapan. Hal yang sama hukuman atas pejabat yang merekayasa atau memaksakan perkara atas Bibit- Chandra. Ini memang membutuhkan tanggapan Presiden SBY atas perkara ini. Akhirnya memang harus menunggu.Tetapi, lagi-lagi keduanya membutuhkan kemampuan dan kemauan Presiden SBY. Hal tersebut membutuhkan kemauan dan kesungguhan untuk menuntaskan perkara ini tentunya dengan memihak pada melaksanakan strategi yang menyelesaikan.
Milestone
Kembali ke Tim Delapan,butirbutir ini sangat berpeluang menjadi batu pijakan proses reformasi jilid kedua yang kita harapkan, khususnya yang berkaitan dengan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Rekomendasi Tim Delapan harusnya menjadi poinpoin penting yang dapat jadi pijakan perbaikan.
Paling tidak telah menjadi cermin bahwa wajah penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di negeri lagi burukburuknya. Kita perlu segera berbenah dan melakukan sesuatu. Rekomendasi Tim Delapan memang telah menunjukkan pelembagaan dugaan-dugaan yang kita punyai selama ini.Tim Delapan telah membungkusnya menjadi fakta yang terekomendasi bahwa potret parah penegakan hukum kita memang sedang berada pada titik tertinggi.
Ada upaya yang harus dilakukan.Ada tindakan yang harus diambil. Sayangnya, rekomendasi Tim Delapan bisa menjadi milestone atau malah “mati muda”, sangat bergantung pada iktikad melaksanakan, baik untuk menunggu tindakan Presiden SBY maupun inisiatif untuk melakukan sesuatu perbaikan.Tentu kita semua mengharapkan penegakan hukum substantif.
Karenanya, semua memang menunggu iktikad untuk melakukan sesuatu, terutama dari Presiden SBY yang telah menunda hingga Senin depan. Kita semua menunggu karena memang ada yang harus dilakukan. Semoga mampu dan mau.Karena kita semua membutuhkan hal tersebut.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/285433/
Zainal Arifin Mochtar
Dosen Fakultas Hukum, Direktur PuKAT Korupsi FH UGM Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ya