Rabu, 11 November 2009

Bertepuk Tanganlah Para Pelanggar Hukum

Oleh: Rudy Satrio Mukantardjo


MENCERMATI konflik antara lembaga kepolisian bersama kejaksaan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang telah sedemikian luas disaksikan masyarakat, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan.


Pertama, kasus ini awalnya melibatkan individu-individu, tetapi belakangan melibatkan lembaga.Individu pelanggar hukum berlindung di bawah atap lembaga atau menjadikan lembaga sebagai sarana untuk melindunginya. Bahkan, kemudian, individuindividu pelanggar hukum telah menyeret lembaga untuk berkonflik dengan lembaga lain. Individu pelanggar hukum bermaksud membenarkan tindakannya, mengamankan posisinya atau sarana tunggangan melawan pihak lain.

Hal ini mengakibatkan masyarakat memersepsikan bahwa konflik terjadi antarlembaga, bukan pada persoalan penegakan hukum bagi individu-individu yang terlibat pelanggaran atau pemicu konflik. Kedua,aparat tidak memahami posisinya sebagai penegak hukum. Lembaga-lembaga yang berkonflik adalah lembaga yang oleh undang-undang dinobatkan sebagai penegak hukum sehingga aparatnya disebut sebagai aparat penegak hukum.

Hal ini tentu membawa konsekuensi. Saya mengambil contoh lembaga kepolisian dan aparat polisinya yang oleh Satjipto Rahardjo diposisikan sebagai hukum yang hidup. Sebab,melalui polisilah janji-janji dan tujuan-tujuan hukum untuk mengamankan dan melindungi masyarakat menjadi kenyataan. Hal tersebut tecermin dari perincian tugas pokok kepolisian sebagaimana diatur Pasal 13 dan 14 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 13 menyebut, tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah (1) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; (2) menegakkan hukum; serta (3) memberikan perlindungan, pengayoman,dan pelayanan kepada masyarakat. Adapun Pasal 14 menyebutkan beberapa penjelasan detail mengenai pelaksanaan tugas-tugas pokok tersebut. Apabila memperhatikan perincian itu, maka mencapai dan memelihara ketertiban merupakan tugas pokok kepolisian.

Pencapaian tugas pokok tersebut hanya boleh dijalankan dengan mengikuti dan mematuhi berbagai pembatasan tertentu. Salah satu pembatas itu adalah hukum. Polisi diberi tugas untuk menciptakan dan memelihara ketertiban dalam kerangka hukum yang berlaku. Kenapa kerangka hukum yang berlaku dijadikan sebagai batas pelaksanaan tugas pokok dan kewenangan kepolisian? Ada beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai jawaban.

Pertama, sebagai pemberi landasan hukum pelaksanaan tugas pokok dan kewenangan kepolisian. Kedua, sebagai dasar pembenar pelaksanaan tugas pokok dan kewenangan kepolisian. Ketiga, sebagai perlindungan hukum bagi kepolisian saat melaksanakan tugas pokok dan kewenangan dari sangkaan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia (HAM).

Keempat, lantaran sifat dan hakikat pelaksanaan tugas pokok dan kewenangan kepolisian berindikasi pada pengurangan atau mungkin penghilangan HAM seseorang,hukum memberikan batas-batas agar HAM seseorang tidak terlanggar dan tidak terjadi tindakan penyalahgunaan kewenangan atau kesewenang-wenangan.

Kepolisian di dalam sistem hukum kita (sistem peradilan pidana) merupakan aparat penegak hukum, mendampingi aparat penegak hukum lain (kejaksaan, kehakiman, dan lembaga pemasyarakatan). Apa makna suatu lembaga atau individu dinobatkan sebagai aparat penegak hukum?

Sangat menarik memperhatikan Pasal 19 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ayat (1) Pasal 19 menyebutkan, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi HAM.

Adapun ayat (2) menyatakan, dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),Kepolisian Negara Republik Indonesia mengutamakan tindakan pencegahan. Di sini dapat disarikan beberapa hal terkait cara bertindak Polri yang harus berdasarkan norma hukum. Pertama, aparat penegak hukum bukan aparat penegak undang-undang.

Dipergunakannya istilah hukum, bukan undangundang, bermakna bahwa yang ditegakkan oleh kepolisian (polisi) dan oleh aparat penegak hukum lainnya bukanlah undang-undang (hukum yang tertulis) semata,melainkan hukum (mencakup hukum tertulis dan tidak tertulis).Ini berarti, kepolisian (polisi) dituntut tidak hanya menegakkan undangundang atau hukum yang dibuat oleh lembaga legislatif,melainkan juga hukum tidak tertulis.

Kedua, sebagai konsekuensi penyebutan sebagai aparat penegak hukum,polisi tidak hanya melihat dirinya mempunyai kewenangan sebagaimana diamanatkan undangundang. Polisi juga harus memperhatikan dan melindungi hak–hak dan kepentingan hukum yang dimiliki para pencari keadilan,yaitu pihak korban (keluarga korban).Begitu pula polisi harus memperhatikan hak-hak dan kepentingan hukum tersangka pelaku tindak pidana.

Tindakan itu harus dilaksanakan oleh aparat penegak hukum sepenuhnya, tidak sebagian-sebagian. Sebagai contoh, aparat kepolisian melakukan perbuatan–tindakan penangkapan, maka keseluruhan tata cara yang telah diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana harus dipenuhi atau dilaksanakan. Mulai dari tata cara penangkapan hingga pemenuhan hak-hak yang dimiliki oleh orang yang ditangkap.

Dengan kata lain, sebagai konsekuensi aparat penegak hukum, polisi tidak boleh hanya menegakkan hukum yang berlaku bagi korban, melainkan juga hukum bagi tersangka pelaku tindak pidana. Aparat penegak hukum tidak dapat milah-milah dan milih-milih, mana bukti yang sekiranya menguatkan satu pihak dan melemahkan pihak lain. Inilah pelaksanaan konkret asas praduga tidak bersalah.

Ketiga, lembaga penegak hukum yang berkonflik telah memunculkan karakteristik khas atau aslinya, yaitu hanya berprinsip mengutamakan kepentingan lembaga dan cara melindungi aparatnya dibandingkan kepentingan penegakan hukum dan kepentingan nasional. Lantaran tiap lembaga lebih mementingkan kepentingan lembaganya,posisi para pelanggar hukum yang telah menjadi pemicu konflik antarpenegak hukum justru diuntungkan.

Perhatian dan tenaga para penegak hukum terkuras untuk semata- mata mengurusi persoalan konflik antarlembaga. Perhatian mereka lepas dari para pelanggar hukum pemicu konflik. Karena itu,konflik ini harus diselesaikan secara bersama-sama antarlembaga penegak hukum. Mereka seharusnya tidak mencari jalan keluar sendiri-sendiri, yang pada akhirnya malah menemukan jalan sesat.(*)
URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/282757/38/



RUDY SATRIYO MUKANTARDJO
Dosen Hukum Pidana FHUI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ya

Lowongan Kepala Afdeling

Kepala Afdeling PT Union Sampoerna Triputra Persada                          Requirements Berusia antara 25 - 35 tahun Pendidik...